Isya’ pada malam itu berbaris rapi di belakang Nabi Muhammad para sahabat, masuk di antaranya adalah Umar Bin Khattab. Tapi ada yang tak biasa pada shalat jama’ah itu, terdengar suara gesekan tulang-tulang sendi, hingga terdengar suara-suara yang memilukan; krek, krek , krek saat ruku’ dan sujud dari arah depan, arah imam, arah Kanjeng Nabi Muhammad.
Selesai shalat para sahabat saling pandang, dari tatapan matanya seolah mereka punya firasat yang sama; Nabi sedang sakit. Maka, selesai shalat itu mereka bergerombol mengelilingi Nabi. Umar waktu itu memberanikan diri bertanya pada beliau; wahai Nabi, apakah engkau sedang sakit?
“Tidak,” jawab Nabi.
Sekali lagi Umar bertanya; Wahai Nabi apakah engkau sedang sakit?
“Tidak,” tukas Nabi.
Tapi wahai Rasulullah, Umar melanjutkan, saat shalat tadi kami mendengar ada bunyi sendi yang saling bergesekan dari badanmu.
“Tidak, aku tidak sedang sakit,” Nabi meyakinkan
Para sahabat dan termasuk juga Umar tak henti-hentinya memastikan Nabi dalam keadaan sehat dengan bertanya keadaan beliau, namun jawaban yang keluar dari Nabi tetaplah sama; tidak, beliau tidak sakit. Para sahabat tak putus asa, mereka terus bertanya pada Nabi apakah beliau sedang sakit atau tidak, karena telinga mereka telah menjadi saksi atas suara gemeratak tulang ketika Nabi menggerakkan badan saat shalat tadi. Mereka khawatir sekali terjadi sesuatu pada Nabi, pada Rasulullah, yang mereka cintai.
Terdesak oleh pertanyaan sahabat yang tak berkesudahan itu, akhirnya dalam keadaan yang sangat terpaksa Nabi mau “mengaku” dengan membuka bajunya. Perlahan Nabi membuka kain yang membalut perutnya. Dan para sahabat melihat ada batu-batu kecil dalam kain itu. Umarpun sontak bertanya:
“Wahai Nabi, untuk apakah engkau membalut perutmu dengan batu?”
“Aku lapar, dan aku tak memiliki apa-apa untuk dimakan”
Dengan suara bergetar karena sedih Umar berkata: Wahai Rasulullah, sehina itukah engkau memandang kami? Apakah engkau mengira jika engkau berkata lapar, kami tidak akan memberikan makanan yang paling lezat. Wahai Rasulullah, Umar kembali merendahkan suaranya, kami semua ya Rasullah, sahabatmu ini, hidup dalam kemakmuran.
“Tidak Umar” Nabi menjawab pertanyaan Umar yang beruntun itu.”Karena aku tahu bahwa kalian tidak hanya akan memberikan makanan lezat padaku, tapi juga harta bahkan juga nyawa kalian untukku sebagai rasa cinta. Tapi Umar, bagaimanakah nantinya aku akan menghadap Tuhan dan caraku untuk menyembunyikan malu, jika sebagai pemimpin aku hanya menjadi beban pada orang yang aku pimpin.”
Mendengar jawaban nabi tersebut Umar dan sahabat terdiam, segala macam kecintaan yang diberikan pada junjungan Nabi Muhammad memang sudah pada tempatnya. Sudah selayaknya, dan itulah mengapa risalah yang ia bawa bisa sampai pada kita hingga dengan saat ini. Akhlaknya yang mulia.
Dengan segala kekuatan yang dimilikinya sebagai seorang kepala negara, panglima tertinggi, pemegang otoritas agama, Nabi Muhammad hanya cukup berucap satu kata untuk memenuhi perutnya dengan makanan lezat. Dan apa yang diinginkan pasti akan tersedia. Namun tidak, Nabi Muhammad tidak melakukan itu. Nabi Muhammad sedang mengajarkan pada kita cara untuk berpuasa, imsak, menahan “nafsu” diri.
Nabi yang agung itu mengajarkan cara menahan diri untuk tidak mengambil barang sedikitpun dari kekuasaan yang dimilikinya hanya untuk kepentingan dirinya sendiri. Nabi mengajarkan tentang bagaimana berpuasa yang indah, yaitu menahan diri untuk tidak memanfaatkan apa yang menjadi amanahnya hanya untuk kelangsungan hidupnya.
Salam bagimu Wahai Rasulullah. Kami selalu berkata “kami mencintaimu”, namun Wahai Rasulullah, kami masih juga tertatih-tatih untuk bisa mencintai dengan sungguh-sungguh dengan meneladani akhlakmu.