Siapa yang tidak pernah menonton film Hollywood? Sadar tidak sadar, film Hollywood sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari cara orang modern mencari hiburan. Namun di tengah gebyarnya layar bioskop yang kita tonton, masih menyisakan permasalahan stereotip terhadap ras dan agama. Dalam hal ini, etnis Arab dan Islam.
Dan upaya untuk melawan stereotip itu terus dilakukan. Yang terkini, Rami Malek, penerima piala Oscar atas akting briliannya memerankan Freddie Mercury di film Bohemian Rhapsody, tidak sepakat untuk memerankan tokoh teroris Arab dan berideologi Muslim di film James Bond yang akan datang, Bond 25.
Meski Malek sendiri bukan seorang Muslim, dia menyadari kalau mengambil peran ini akan makin melekatkan citra buruk etnis Arab dan Islam di mata penonton Hollywood secara luas.
Menurut Malek, “Kita tidak bisa mengidentifikasi tokoh ini ke aksi teror yang mencerminkan ideologi atau agama tertentu, dan saya tidak mau menghibur dengan cara seperti itu. Jika karena alasan itu (Arab) aku dipilih, anda bisa mencoret nama saya.” (https://www.independent.co.uk/arts-entertainment/films/news/bond-25-rami-malek-villain-arabic-daniel-craig-007-cast-a8985646.html)
Pelekatan stereotip semacam ini sudah terjadi dalam waktu yang lama. Di masa awal kemunculan industri film tahun 1930an, Amerika masih sangat terobsesi dengan eksotisme Timur. Dunia Timur dibayangkan sebagai wilayah yang misterius, belum banyak terjelajahi, masih dipenuhi orang indigenous dan barbar dengan aneka satwa liar. Sehingga banyak film yang menceritakan tentang petualangan dan penjelajahan ‘dunia baru’. Ambil contoh salah satunya, film King Kong yang menceritakan sekelompok petualang berburu satwa liar unuk dipamerkan di Amerika.
Dunia Timur Tengah pun tidak luput dari citra semacam itu. Di era 30-an, dunia Arab digambarkan secara eksotis sebagai wilayah padang pasir dan masyarakat yang terbelakang dan inferior. Sampai sekarang citra ini masih tampak pada beberapa film.
Setidaknya yang penulis ingat di film Transformer Revenge of the Fallen, ketika Sam Witwicky (diperankan oleh Shia le Boeuf) melintas di perbatasan Mesir, mereka dihadang oleh tentara penjaga perbatasan dengan tampang galak. Sam memberitahu bahwa mereka berasal dari Amerika, sikap si tentara berubah 180 derajat, memandang warga Amerika dengan rasa kagum. “Oh you American?! New York? Go Yankees!.” Ucapnya dengan gembira.
Selain itu, yang muncul adalah citra para syekh dan sultan dengan istana megah, bergelimang harta dan harem-harem yang selalu melayani hasrat sang sultan. Etnis Arab dan Muslim pada akhirnya tidak terelakkan dari citra semacam ini.
Eksotisme dunia Timur mulai bergeser ke arah antagonis seiring dengan geopolitik yang berkembang di periode selanjutnya. Selain Uni Soviet yang jadi ‘musuh abadi’ Amerika, Timur Tengah dan Islam tidak luput dari citra negatif seiring dengan situasi politik yang berkembang. Mulai dari perang Arab-Israel, insiden penyanderaan staf kedutaan Amerika Serikat di Revolusi Islam Iran tahun 1979, dan Perang Teluk, makin melekatkan dunia Timur Tengah dengan citra mengancam Amerika secara politik.
Terlebih setelah peristiwa runtuhnya gedung WTC, atau yang lebih dikenal dengan 9/11 dengan Osama bin Laden sebagai musuh nasional Amerika Serikat. Citra dunia Timur Tengah dan Muslim makin terdesak. Ratusan film Hollywood selama 50 tahun terakhir telah mengaitkan Islam dengan perang suci dan terorisme, sambil menggambarkan Muslim sebagai orang asing yang mengancam.
Menurut Edward Said di karyanya, Orientalisme, melekatkan simbol ‘villain’ yang identik dengan Arab atau ideologi Islamisme sebenarnya upaya kontrol yang dilakukan dari kacamata Amerika Serikat – atau Barat pada umumnya. Ada upaya pemaksaan kontrol dari kacamata Barat terhadap Timur Tengah secara kebudayaan dan politik.
Urusan ini menunjukkan stereotip rasial dan agama masih saja jadi objek pertarungan citra di layar lebar. Mana yang lebih masuk akal, apakah Malek dipilih jadi villain teroris karena murni aktingnya, atau justru karena identitas ke-Arab-annya? Pertanyaan ini berkelindan juga dengan praktik whitewashing di Hollywood, yaitu ketika aktor kulit putih lebih dipiih untuk memerankan tokoh yang bukan dari budayanya.
Hollywood toh sebenarnya sudah bersaha untuk melakukan pendekatan yang lebih halus dalam mengurangi whitewashing dan menampilkan citra dunia Timur Tengah dan Islam di layar bioskop. Menurut esai Evelyn Elsultany, (https://theconversation.com/how-the-new-aladdin-stacks-up-against-a-century-of-hollywood-stereotyping-115608) Disney mengundang Community Advisory Council, yang terdiri dari akademisi kajian Timur Tengah dan Islam untuk memberi masukan positif kepada film Aladdin.
Tapi di sisi lain, yang dilakukan Disney masih cukup jauh dari problem mendasar, karena hanya bersifat dekoratif saja. Menjadikan eksotisme sebagai upaya menutupi masalah utama sama halnya menutupi lantai kotor dengan karpet baru. Selain itu, urusan komersil masih menjadi pertimbangan utama.
Representasi tokoh non-kulit putih dari aktor kalangan etnis Arab atau Muslim mudah saja ditempatkan dalam film sebagai representasi, tapi bagi produser itu perjudian. Rumah produksi tidak akan semudah itu memberi jatah kepada aktor atau aktris baru yang – belum tentu juga bisa langsung disukai penonton, yang berpengaruh pada pemasukan film.
Dengan menguatnya ultra-nasionalisme dan politik identitas di kancah global, pertarungan citra Timur Tengah dan Islam di dalam layar bioskop bisa jadi perwujudan dari gejolak yang ada di luarnya. Islam dan Muslim selalu ada di tengah arena pertarungan makna dari wacana-wacana kelompok yang ada di luarnya. Sehingga peran dari Muslim sendiri juga penting untuk mengimbangi wacana di luar arena gedung bioskop.
Tidak bisa hanya asal keras menuding, masyarakat Muslim sangat perlu merepresentasikan dirinya sendiri sebagai masyarakat yang pintar, mampu mendialogkan perbedaan dan kesalahpahaman dengan wawasan luas. Usaha kecil seperti yang dilakukan Rami Malek bisa percuma jika Muslim masih suka merespon segala isu dengan emosi dan darah tinggi.