Perseteruan Indonesia dan Belanda harusnya dianggap selesai dengan disahkannya perjanjian Linggarjati pada 25 Maret 1947. Salah satu butir keputusannya adalah Belanda akan meninggalkan Indonesia selambatnya hingga 1 Januari 1949.
Namun, ketika Perjanjian itu baru berjalan beberapa bulan, Belanda sudah tidak tahan. Van Mook dan gerombolannya ingkar janji. Gencatan senjata dibatalkan sepihak, dan hanya sehari setelah awal bulan Ramadhan pada tahun 1947, yakni 20 Juli 1947. Sementara itu, tanggal 21 Juli 1947 menjadi awal bagi Agresi Milter Belanda (AMB) I yang berlangsung hingga bulan Agustus di tahun itu. Pertempuran menyala kembali dan korban jiwa gugur menjadi-jadi.
Kita Akan Menang, Kita Harus Menang
Sub judul itu merupakan kutipan pidato Bung Karno dalam menanggapi pengkhianatan Belanda. Pidato itu tersiar melalui jaringan radio pada tanggal 22 Juli 1947.
Belanda sudah melakukan dua kesalahan besar: pertama, mengkhianati perjanjian dan kedua, menyerang orang-orang yang berpuasa. Oleh karena itu, Presiden Sukarno tampak sangat yakin bahwa kemenangan akan berada di pihak Indonesia.
“Tuhan akan menunjukkan jalan menuju keamanan dan kemerdekaan di bulan suci Muhammad (Ramadan) ini. Kita akan menang, kita harus menang.” Itulah pernyataan Soekarno yang dimuat oleh harian De Graafschapper dengan tajuk Radiorede van Soekarno edisi 22 Juli 1947.
Harian lain, Deventer juga menulis pada artikel berjudul Soekarno Spreekt edisi 22 Juli 1947 bahwa dalam pidatonya itu, Sukarno meminta kepada segenap rakyat Indonesia dan dunia untuk dapat meyakini bahwa Bangsa Indonesia berada pada pihak yang benar. Sukarno juga berharap agar dengan demikian bangsa-bangsa lainnya, terutama yang telah merasakan kemerdekaan lebih dahulu, dapat membawa masalah pengkhianatan Belanda itu ke PBB.
Sebagai bangsa yang dikhianati, lebih-lebih pada bulan suci Ramadhan, merupakan modal besar bagi Sukarno untuk memercayai bahwa Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa, beserta perjuangan bangsa yang baru lahir itu untuk mempertahankan kemerdekaannya.
Seruan dan keyakinan Sukarno itu juga semakin kuat maknanya dengan kesigapan Jenderal Sudirman, selaku pemimpin Tentara Republik Indonesia (TRI), dalam berkomitmen melancarkan perlawanan hingga titik darah paling akhir.
Dari Turki Hingga Mesir, Dukungan Terus Mengalir
Media-media asing sebagai representasi dari negara-negara sahabat Indonesia dan rakyat-rakyat mereka menunjukkan dukungan terhadap perjuangan Indonesia. Mereka juga menyiarkan bentuk-bentuk kutukan terhadap kelakuan busuk Van Mook dan negaranya. Kutukan itu menghiasi judul-judul berita, seperti yang ditulis oleh De Waarheid edisi 24 Juli 1947 dengan, “Moge God de Nederlanders Straffen!” (semoga Tuhan menghukum Belanda).
Tindakan Belanda menyerang Indonesia, ketika sebagian besar rakyatnya baru tiga hari menjalankan ibadah puasa, ternyata mendulang simpati dunia. Mereka disebut-sebut oleh media asing itu telah menyerang orang-orang yang tidak berdaya, setidakya begitu yang dikutip De Waarheid dari sebuah majalah Turki bernama Son Posta.
Masih dalam pemberitaan De Waarheid, salah satu surat kabar tertua yang berbasis di Amerika, The New York Times, juga mengeluarkan pernyataan bahwa Belanda telah dengan sadar dan menyengaja agresinya itu, padahal masih ada cara lain untuk dapat menghindariya. Di samping itu, barangkali yang paling dikhawatirkan oleh media Barat saat itu adalah juga kemarahan umat Islam di seluruh dunia yang sulit dibendung.
Kedekatan emosional yang terbangun antara Turki dan Indonesia sebagai akibat dari kesamaan identias agama menjadikan perhatian media Turki terhadap masalah ini juga serius. Selain Son Posta, koran Arnhemsche edisi 24 Juli 1947 juga mengabarkan bahwa majalah Turki yang bernama Jumhuriyet turut memberikan tanggapan. Majalah Turki itu memandang bahwa Belanda telah benar-benar salah memilih tanggal dalam melakukan serangan.
Masih menurut Jumhuriyet, kesalahan fatal Belanda dalam memilih waktu penyerangan mengakibatkan akan mengundang kesedihan yang teramat dalam bagi seluruh umat Islam dan dengan demikian akan menjadi peristiwa yang senantiasa dikenang. Lebih lanjut, seperti keyakinan Sukarno di dalam pidatonya, media itu juga percaya bahwa kemenangan telah ditakdirkan bagi rakyat Indonesia.
Pernyataan yang lebih berani dilontarkan oleh media Mesir. Harian Eindhovensch edisi 29 Juli 1947 yang melansir bahwa media-media di Mesir, seperti Al-Ikhwanul Muslimin dan Al-Misri, ramai-ramai meminta kepada, bukan hanya pemerintah Mesir, namun juga seluruh bangsa Arab agar memutuskan hubungan diplomatik dan kerja sama apapun dengan Belanda. Majalah Al-Misri juga mengingatkan bangsa Arab terhadap tugas utama mereka untuk membawa masalah Indonesia ke sidang PBB.
Senada dengan media-media di Mesir, Raja Farouk, pemerintah Mesir saat itu juga menunjukkan simpati dan aktif menghimpun dukungan dari seluruh rakyat Mesir. Surat kabar Eindhovensh pada edisi yang sama juga mengungkapkan bahwa Sang Raja selalu mengajak jamaah yang hadir dalam shalat-shalat jamaah yang dipimpinnya untuk berdoa bagi Indonesia.
Akhirnya, bulan Ramadhan memang memiliki sejarah panjang dalam membersamai perjuangan dan kemenangan bagi bangsa Indonesia. Hal itu juga inheren dengan keyakinan founding fathers, para pejuang, dan segenap masyarakat Indonesia pada waktu itu kepada kekuatan di luar dirinya, Allah Yang Maha Kuasa. Dan semangat itulah yang harus terus diwariskan kepada generasi-generasi penerus bangsa ini. (AN)