Madinah adalah salah satu mahkota Islam yang bersinar sepanjang sejarah. Sejak dimulainya peradaban Islam, ia menjadi hulu dari aliran ilmu. Menjadi pangkal dari setiap gerakan. Dan simbol dari keragaman yang hidup dan terus berkembang dengan caranya yang khas.
Sejarah bergulir, begitu pun manusianya. Kepemimpinan berganti warna dari satu menuju lainnya, menjaga roda takdir yang telah Allah tetapkan jauh sebelum kesadaran menjadi sumber kehidupan. Hari ini Madinah dipayungi sebuah sistem kenegaraan yang berbentuk kerajaan sambil tetap memilih Al-Qur’an dan hadis sebagai sumber dalam setiap pengelolaannya.
Madinah tetaplah Madinah, selalu meninggalkan kesan berbeda pada setiap mata yang menjejaknya. Bagi mahasiswa, terkhusus mahasiswa indonesia, madinah terasa hampir seramah lingkungan rumah. Apalagi, ketika Bulan Ramadhan mulai masuk dan mengambil bagian.
Rasanya akan sangat aneh dan tak masuk akal jika ada yang kelaparan di kota ini selama bulan Ramadhan. Pasalnya, makanan, terlepas menu ataupun jenisnya, dibagikan hampir di setiap titik keramaian. Di tepi jalan, di gerbang depan masjid, di sekitar asrama, di pedestrian tempat orang ramai berlalu-lalang. Bahkan ada yang mengetuk pintu dari satu kamar ke kamar lain hanya untuk membagikan makanan. Itu belum dihitung dengan masjid-masjid yang menyediakan hidangan berbuka, makan malam atau sahurnya.
Muhsinin (baca: para dermawan) yang gencar mengirim orang-orangnya untuk membagikan beras, minyak, gula dan kebutuhan rumah tangga lainnya bagi mahasiswa, terutama yang telah berkeluarga, sangat mudah ditemui di banyak tempat. Ramadhan di Madinah, mungkin hampir sama dengan kota-kota berpenduduk mayoritas muslim lainnya di dunia, selalu punya cara untuk “mengenyangkan” lahir dan batin para penduduknya.
Namun tahun ini, sudah kali kedua euforia Ramadhan dibingkai dalam suasana pandemi covid-19 yang melanda dunia. Tak terkecuali Madinah. Dari sini, banyak hal-hal yang sebenarnya bisa diceritakan. Dan sebagai salah satu Lulusan Corona yang diwisuda lewat sebuah video singkat di media sosial, rasanya sangat disayangkan jika momen Ramadhan terakhir sebagai mahasiswa strata satu di kota cahaya ini hanya dibiarkan berlalu begitu saja. Tak perlu dibahas semuanya. Kita hanya akan memilih segelintir hal yang terasa cukup unik mengingat hal itu hanya terjadi baru-baru ini, sebagai sambutan untuk bulan suci dan pandemi yang datang bergandengan tangan dalam satu momen inti.
Vaksin
Salah satu hal yang membuat Ramadhan-pandemi tahun ini berbeda dengan sebelumnya adalah vaksin. Ya, mengingat sudah lebih dari satu tahun dan akhirnya vaksin sudah mulai dikembangkan dan kelihatannya juga sudah siap digunakan tahun ini. Saudi menjadi salah satu negara yang paling serius menyikapi vaksin dan pandemi. Karena, tentu saja, sebagai tuan rumah umat muslim dunia dalam ibadah haji dan umroh setiap tahunnya, pandemi di Kerajaan Alu Suud generasi ketiga ini menjadi sangat krusial untuk ditangani.
Hal yang menarik adalah, pada awalnya baik penduduk asli maupun pendatang di negeri ini, secara umum tak terlalu mengindahkan himbauan untuk mengambil vaksin. Hal ini terlihat dari data yang dilansir oleh laman ourworldindata.org, dimana jumlah vaksin yang diberikan dari 6 Januari 2021 hingga pertengahan bulan maret hanya mencapai 2.08 juta dosis dari keseluruhan populasi saudi yang saat ini menyentuh angka 35,2 juta jiwa. Namun, hanya dalam waktu kurang dari sebulan setelah itu, angka pemberian vaksin meningkat hingga menembus 7 juta dosis. Atau lebih dari dua kali lipat dari yang telah diberikan sebelumnya. Lantas apa yang membuat kami, para penduduk maupun ekspatriat, begitu semangat mengantri berjam-jam untuk mendapatkan vaksin? Saya pribadi sebagai mahasiswa hanya mampu memikirkan satu alasan utama. Haramain (dua kota Haram: Mekkah dan Madinah).
Seperti yang kita tahu, Ramadhan tahun ini dimulai pada pertengahan April. Dan gelombang keimanan umat berikut semangat ibadah mereka juga kian naik seiring mendekatnya bulan suci. Entah untuk shalat berjamaah di Masjid Nabawi atau Masjidil Haram, beriktikaf, atau berziarah dan umroh. Tak seperti tahun sebelumnya, yang bahkan Masjid Nabawi saja ditutup untuk umum pada bulan Ramadhan, tahun ini kedua situs suci dibuka oleh pihak kerajaan. Tapi, apa jadinya jika kesempatan yang terbuka dan semangat yang kuat ini tiba-tiba dihadapkan pada instruksi resmi kerajaan bahwa “Hanya mereka yang telah diberi vaksin yang diijinkan menginjakkan kaki di Masjid Nabawi ataupun Masjid al-Haram.” Alhasil, sekian juta orang dalam waktu singkat berbondong-bondong menyerbu aplikasi untuk mem-booking pemberian vaksin di setiap kota. Kami sendiri mahasiswa bahkan kesulitan untuk memesannya, karena durasi pemesanan hanya dibuka beberapa menit dan akses yang selalu ramai oleh para pengguna. Bahkan di antara kami sampai ada yang membuka jasa pemesanan vaksin bagi orang-orang yang menyerah untuk bertarung sendiri lewat aplikasi.
Vaksin menjadi syarat mutlak untuk prosesi ibadah apapun di dua situs suci tahun ini. Belakangan beberapa pelayanan publik juga mulai mensyaratkan vaksin sebelum mengajukan aplikasi. Seperti pengurusan ijazah, atau imigrasi.
Tarawih
Sewaktu di Indonesia, saya dan beberapa remaja yang sebaya punya kebiasaan yang sudah dilestarikan oleh masing-masing keluarga secara turun-temurun: mencari masjid yang shalat tarawihnya paling cepat selesai. Tapi bahkan dengan kebiasaan seperti itu, kami tak pernah menemukan tarawih yang rakaat shalatnya kurang dari delapan (sebelas rakaat ditambah witir). Malah jika dibandingkan, kadang durasi waktu tarawih yang delapan rakaat bisa sama bahkan lebih lama dari yang dua puluh; karena pada akhirnya semua bergantung pada kecepatan dan panjangnya surat-surat al-Quran yang dibawakan imam shalat.
Ketika pertama kali datang ke negri para Anshar ini, kami menemukan hal yang sama seperti di rumah: rakaat tarawih yang delapan dan dua puluh. Yang berbeda adalah, tak ada faktor kecepatan dan panjangnya surat. Karena di Masjid Nabawi kami memulai tarawih sekitar jam sembilan malam dan baru selesai sekitar jam sebelas atau setengah dua belas malam.
Namun, pandemi ternyata membawa hikmah yang unik kali ini. Karena untuk pertama kalinya selama wabah Covid, masjid-masjid dibuka untuk melaksanakan tarawih berjamaah dengan catatan, tak boleh lebih dari satu jam terhitung sejak salat isya dimulai. Ketika membaca instruksi ini, saya dan beberapa teman yang punya pengalaman senada di Indonesia saling menatap dan cengar-cengir sendiri. Tak terbayang, akan seperti apa pendeknya durasi salat tarawih nanti.
Dan benar saja, untuk mematuhi perintah raja, ternyata masjid-masjid lokal melaksanakan tarawih dengan jumlah rakaat yang berbeda-beda. Mulai dari dua, empat, enam, delapan dan sepuluh (semuanya ditambah witir tiga rakaat). Haram Nabawi dan Makki sendiri melaksanakan salat tarawih sepuluh rakaat, tiga belas dengan witir. Di antara mahasiswa ada yang sempat ragu dan heran dengan panduan atau dasar yang digunakan untuk menentukan jumlah rakaat tarawih yang tak biasa ini, tapi ide itu lantas hilang seiring berjalannya tarawih yang diikuti dari hari ke hari. Jika hal seperti ini terjadi di Indonesia, mungkin akan ramai dan jadi buah bibir banyak orang. Minimal orang-orang yang berbahagia dengan menghabiskan waktunya berselancar bebas di dunia digital.
Zamzam
Bagi yang pernah berumrah ataupun haji ke tanah suci mungkin sempat mengetahui tentang air Zamzam yang berlimpah di kedua masjid Nabi ini. Beberapa jamaah bahkan ada yang sengaja mandi dengan air Zamzam yang dikumpulkan dari masjid. Begitu pula di Masjid Nabawi, Zamzam yang dikirim ratusan ribu kubik setiap harinya dibagikan dalam dispenser yang berjejer rapih di sepanjang selasar masjid. Banyak mahasiswa yang mengisi Zamzam di penghujung hari untuk dikonsumsi pribadi.
Adapun sekarang, untuk mengurangi sentuhan dan kerumunan orang, air Zamzam dikemas oleh pihak pengelola dua masjid suci dalam bentuk botol-botol cantik berukuran 330 ml dan 200 ml. Dan sama seperti sebelumnya, air ini tidak untuk diperjualbelikan sama sekali. Bahkan tak bisa didapat di luar dua masjid utama. Zamzam inilah yang menjadi salah satu daya tarik Haramain sebulan terakhir. Mengingat kemasan edisi terbatas dan juga tak disediakan berlimpah, para jamaah semakin semangat mengumpulkan zamzam ini sepulang dari salat tarawih atau tahajudnya. Ada yang berencana dibagikan untuk keluarga saat pulang ke Indonesia, ada yang hanya menyimpannya untuk diminum saat dibutuhkan tapi sepertinya lebih banyak yang tertarik karena kemasan edisi terbatas yang belum tentu akan dikeluarkan lagi tahun depan.
Bulan yang mengambang di langit subuh ini mulai melengkung tajam. Sebagian besar tubuhnya sudah termakan bayangan gelap dan hanya menyisakan sedikit bidang yang bersinar pucat di tepiannya. Al-Qur’an menggambarkannya seperti pelepah kurma tua yang merunduk begitu rendah menunggu gugur ke atas tanah. Bulan ini sudah tua, tentu saja, karena lebih dari dua pertiga harinya telah berlalu bersama waktu. Menyisakan banyak pertanyaan tentang koreksi diri yang masih begitu jauh dari kata selesai.
Sudah berapa lama mata ini melembari ayat-ayat dalam Al-Qur’an? Sudah berapa kali suara ini merampungkan kitab-Nya? Adakah hikmah yang sudah ditangkap akal ini dari ayat-ayat-Nya sejak memulai tilawah dengan basmalah di hari pertama puasa? Berapa banyak perut lapar yang berhasil ditambal dengan amal kebaikan? Adakah nafsu ini semakin lunak seiring akhir dari bulan mulia yang kian mendekat? (AN)