Ramadan di Indonesia itu khas. Bulan istimewa itu selalu disambut dengan semarak dan gegap gempita. Nuansa Islami tampak dan terasa di mana-mana. Meski beberapa terlihat artifisial belaka, namun di sejumlah tempat ekspresi keagamaan selama Ramadan sangat otentik dan unik. Terdapat banyak karya yang merekam laku orang Indonesia dalam menjalani puasa Ramadan, mulai dari karya sastra hingga penelitian antropologis.
Salah satu penelitian menarik tentang Ramadan di Indonesia dapat dibaca pada buku Ramadan di Jawa: Pandangan dari Luar karya Andre Moller. Buku tersebut merupakan terjemahan dari disertasi Moller di Universitas Lund, Swedia dengan judul asli Ramadan in Java: The Joy and Jihad of Ritual Fasting. Melalui buku itu Moller meneliti bagaimana orang-orang Islam di Indonesia (khususnya di Jawa) memahami dan menunaikan ibadah puasa Ramadan. Yogya dan Blora menjadi tempat penelitian Moller selama kurang lebih tiga tahun.
Buku tersebut terbagi dalam tujuh bab. Mengupas Ramadan dalam Al-Quran dan Sunnah, Ramadan dalam media kontemporer, Ramadan dalam kenyataan di Jawa dan Ramadan dalam perbandingan. Moller cukup jeli dan tekun memotret pelaksanaan puasa Ramadan di Yogya dan Blora dari beberapa sudut pandang. Pembaca luar kiranya akan mendapat gambaran yang memadai tentang Ramadan di tanah Jawa atau Indonesia pada umumnya.
Hal menarik di penelitian Moller ini adalah ditelitinya sejumlah buku bertema Ramadan yang terbit di Indonesia. Pembahasan tentang buku Ramadan dimuat di bab empat (Ramadan dalam Media Kontemporer). Di bab itu, selain buku, Moller juga meneliti ceramah, musik, puisi, cerita pendek, dan sinetron. Hanya saja, untuk edisi Bahasa Indonesia, pembahasan selain buku tidak dimasukkan.
Moller merasa perlu meneliti sejumlah buku bertema Ramadan karena menurutnya buku merupakan “perantara kebudayaan”. Jembatan untuk melihat dan memahami sejumlah hal terkait Ramadan: tarawih, iktikaf, lailatul qadar, lebaran. Untuk itu Moller membeli buku-buku “populer” berikut ini: Keistimewaan dan Hikmah Ramadan (Abu Ahmadi dan Joko Prasetya), Selamat Datang Bulan Romadhon: Dilengkapi dengan Sholat Tarawih, Sholat Witir, Sholat Hari Raya & Do’a-Do’a (Ust. Labib Mz), Penuntun Ibadah Puasa (Romdoni Muslim), Pedoman Puasa (Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy), dan Nuansa Ramadhan: Puasa dan Lebaran (Achmad Suyuti).
Moller menguliti masing-masing buku. Tidak hanya isi, pilihan jenis kertas dan desain sampul buku pun ia beri komentar. Mengomentari sampul buku Selamat Datang Bulan Romadhon misalnya, Moller menulis: …di bawahnya terdapat lukisan sebuah keluarga kecil, yang terdiri dari seorang bapak berpeci, seorang ibu berjilbab, dan seorang anak lelaki berpeci. Mereka duduk di meja makan dan berdoa dengan telapak tangan diangkat ke atas. Saya kira gambar itu mencerminkan gagasan Orde Baru mengenai keluarga ideal: kecil, soleh, dan puas dengan sedikit saja.
Tampak upaya Moller untuk menggali secara tuntas dan detail. Selain sampul, Moller juga menyoal tidak lengkapnya daftar pustaka buku-buku yang ia baca. Menurut Moller, hal itu menyulitkan siapapun yang ingin melacak sumber-sumber asli. Moller bahkan menemukan buku yang tanpa daftar pustaka sama sekali, padahal banyak hadis dikutip. Hal tersebut mengganggu Moller sebagai “pembaca Barat”, namun cukup lumrah untuk sebuah buku panduan “populer” di Indonesia.
Buku-buku yang dibaca Moller adalah buku-buku yang ia beli di sebuah toko buku di Yogya pada tahun 2002. Boleh jadi kita mendapatkan gambaran buku apa yang dikonsumsi masyarakat di bulan Ramadan pada masa itu. Jika ditelaah secara kritis, kehadiran buku-buku Ramadan itu mungkin hanya bagian dari, meminjam istilah Moller, “Islamisasi tahunan” di Indonesia. Menyesuaikan kondisi masyarakat yang memang selalu malih rupa saban datang bulan suci. Meski demikian, pilihan Moller untuk meneliti buku (dan media kontemporer lainnya) menunjukkan kesungguhan Moller menghadirkan penelitian yang komprehensif.
Penelitian Moller semestinya bisa menjadi inspirasi untuk penelitian berikutnya. Fenomena yang terjadi di bulan Ramadan masa kini menarik untuk dikaji, seperti maraknya sahur on the road di kota-kota besar, semangat berbagi ta’jil, razia warung makan di siang bulan puasa dan lain-lain.
Dapat pula diteliti bagaimana portal-portal keislaman di dunia siber yang begitu menjamur akhir-akhir ini dalam mengemas artikel bertema Ramadan. Semisal tentang perbedaan penentuan 1 Ramadan dan 1 Syawal, perbedaan jumlah rakaat salat tarawih, fikih puasa dan lain-lain.
Menarik juga jika dapat diteliti buku-buku agama apa saja yang dibaca khalayak selama Ramadan. Apakah buku-buku panduan masih digemari? Atau apakah mereka sudah beranjak membaca buku-buku yang lebih “berat dan mendalam”? Atau jangan-jangan pembaca buku hari ini kian sediki?