Ramadhan terbilang bulan istimewa bagi umat Islam. Terdapat banyak keberkahan dan ampunan di dalamnya. Bahkan dalam sebuah hadis dikatakan, pintu surga dibuka selebar-lebarnya, pintu neraka ditutup, dan setan dibelenggu pada saat Ramadhan (HR: al-Bukhari). Artinya, peluang untuk beribadah dan menggapai pahala terbuka lebar bagi siapapun. Kesempatan baik ini tidak ditemukan di bulan lainnya. Karenanya, perbanyaklah ibadah di bulan Ramadhan.
Pada bulan Ramadhan, Allah SWT memerintahkan hambanya untuk mengerjakan ibadah puasa (QS: al-Baqarah: 183). Kewajiban puasa ini diamanahkan kepada orang beragama Islam, baligh-berakal, dan mampu melaksanakannya. Selain puasa di siang hari, dianjurkan pula memperbanyak ibadah di malam harinya, seperti shalat tarawih, shalat tahajud, membaca al-Qur’an dan ibadah sunnah lainnya.
Kebanyakan umat Islam sangat antusias meramaikan Ramadhan dengan ibadah. Jarang ditemukan masjid yang kosong pada malam Ramadhan. Bila jemaah masjid di luar Ramadhan tidak lebih satu atau dua shaf, pada bulan Ramadhan hampir sebagian besar masjid penuh. Bahkan tidak mampu menampung banyaknya jemaah. Lantunan al-Qur’an pun terdengar di mana-mana, mulai dari pagi sampai malam. Begitu pula dengan dakwah dan kajian keagamaan. Sebagian besar masjid, musala, dan surau sarat dengan kajian keagamaan.
Semangat beribadah seperti ini diharapkan tidak hanya terjadi di bulan Ramadhan. Kendati Ramadhan bulan mulia, bukan berati di luar Ramadhan tidak perlu memperbanyak ibadah.
Bagaimanapun, tidak ada batasan dalam beramal. Beramal baik boleh dilakukan kapan dan di mana pun. Usahakan ibadah yang dilakukan di Ramadhan tetap konsisten dikerjakan di luar Ramadhan. Menjaga konsistensi memang bukan perkara mudah. Perlu usaha keras untuk benar-benar mewujudkannya.
Sejatinya Ramadhan merupakan bulan latihan dan pendidikan. Hati dan pikiran kita dididik untuk senantiasa ingat kepada Allah SWT. Sebagaimana diketahui, puasa sangat pribadi dan individual. Orang lain tidak bisa memastikan kita puasa atau tidak. Hanya diri sendiri dan Allah SWT yang mengetahui seseorang sedang puasa atau tidak.
Oleh sebab itu, dibutuhkan kejujuran dalam hal ini. Tanpa kejujuran dan keta’atan pada Allah SWT, tidak mungkin puasa dikerjakann secara sempurna.
Karena Ramadhan adalah bulan latihan, tentu semangat beribadah tidak boleh berhenti di bulan Ramadhan saja. Ia hanyalah awal untuk membiasakan diri beribadah. Harapannya, amalan dan kebaikan yang dilakukan pada bulan tersebut, tetap terlaksana di bulan-bulan lainnya. Sebagian orang mungkin bisa menahan diri untuk tidak bermaksiat di bulan Ramadhan, tetapi dia akan merasa kesulitan ketika berada di luar ramadhan.
Semangat ibadah dan beramal shaleh pada bulan Ramadhan begitu tinggi, tapi sangat disayangkan mengapa semangat itu menurun drastis di luar Ramadhan. Seharusnya kebaikan semacam ini dipertahankan.
Mewujudkan Fungsi Sosial Puasa
Ibadah tidak hanya berhubungan dengan Allah SWT, tetapi sangat berkaitan dengan relasi sesama manusia. Dalam beberapa hadis ditemukan bahwa keimanan seringkali dikaitkan dengan kesantunan dan etika terhadap orang lain, seperti menyambung silaturahim dan menghormati tamu. Ini menandakan Islam bukanlah agama individual dan memisahkan pemeluknya dari kehidupan sosial.
Islam sangat mengerti bila seorang manusia mesti saling membantu antara satu sama lainnya. Itulah mengapa hampir semua ibadah di dalam Islam memiliki pengaruh positif terhadap masyarakat. Maksudnya, yang merasakan dampak baik dari ibadah tersebut bukan hanya pelakunya sendiri, tetapi seluruh masyarakat, bahkan binatang dan tumbuhan sekalipun.
Syeikh Abdul Qadir al-Jilani mengatakan, “Jika kamu menyukai makanan enak, pakaian bagus, rumah mewah, wanita cantik, dan harta berlimpah, sementara pada saat yang sama kamu menginginkan agar saudara seimanmu mendapatkan kebalikannya, maka sunggu bohong bila mengaku memiliki iman yang sempurna”. Pernyataan ini merupakan kritik tajam terhadap kaum beriman yang apatis.
Pada umumnya ibadah dapat dibagi menjadi dua: ibadah individual dan ibadah sosial. Ibadah individual sangatlah personal dan berhubungan dengan Tuhan secara langsung, semisal shalat, puasa, dan haji. Sementara ibadah sosial berkaitan langsung dengan masyarakat, misalnya membantu fakir miskin, sedekah, dan lain-lain. Namun sesungguhnya, dalam ibadah individual sekalipun, dimensi sosialnya masih tetap ada.
Sebut saja shalat, memang tidak ada yang tahu tujuan shalat secara spesifik. Terutama alasan mengapa jumlah raka’at shalat dibatasi dan tidak boleh ditambah dan dikurangi. Akan tetapi, tujuan umum shalat masih dapat dirasionalkan dan dipahami melalui penjelasan al-Qur’an dan hadis. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa shalat mencegah perbuatan keji dan munkar (QS: Al-‘Ankabut: 45).
Artinya, shalat memberikan dampak positif terhadap perilaku seorang. Bila seorang mampu menahan dirinya dari mengerjakan kemungkaran, otomatis akan menyelamatkan orang lain dari kezaliman dan kemungkaran. Andaikan seluruh masyarakat shalatnya benar, maka seharusnya kemungkaran di bumi ini sudah tidak ada lagi.
Sama halnya dengan puasa, bila dicermati banyak dimensi sosial yang terkandung di dalamnya. Seringkali dikatakan bahwa dengan berpuasa kita bisa mengerti betapa laparnya orang miskin. Mereka tidak cukup uang untuk memenuhi kebutuhannya. Bila kita hanya menahan lapar dari terbit fajar sampai terbenam matahari, bisa jadi tetangga kita yang miskin tidak makan seharian penuh atau lebih. Melalui puasa kita seharusnya bisa mengerti dan berusaha membantu orang-orang miskin.
Selain menumbuhkan rasa empati dan simpati, puasa sebenarnya juga dapat meredam kemungkaran sosial. Kerapkali kezaliman dan kejahatan di dunia ini terjadi karena keserakan dan ketamakan manusia. Lihatlah koruptor, pemerkosa, dan pembakar hutan, mereka melakukan itu karena memang sudah tidak mampu lagi mengendalikan nafsu keserakahan di dalam dirinya. Akibatnya, luapan nafsunya merusak dan menganggu kenyamanan hidup orang lain.
‘Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Anak Adam dapat binasa karena dua anggota tubuh: perut dan kemaluan. Perkatan ‘Ali ini didukung oleh hadis riwayat Abu Hurairah bahwa suatu kali Nabi SAW pernah ditanya tentang faktor apa yang membuat orang banyak masuk surga. Nabi SAW menjawab, ‘Taqwa dan akhlak yang bagus.’ Kemudian Nabi ditanya lagi, apa yang menyembabkan banyak orang masuk neraka? “Dua anggota tubuh: perut dan kemaluan,” jawab Nabi (HR: Ibn Majah).
Pernyataan Nabi ini sangat benar dan sudah teruji kebenarannya. Ada banyak kerusakan yang disebabkan dua anggota tubuh ini. Sebagian besar kemungkaran terjadi karena manusia tidak mampu membendung hasrat perut dan kemaluannya. Ia tidak mampu mengontrol kuatnya dorongan negatif dari dalam perut dan kemaluannya. Sehingga, ketidakmampuan itu mendorong mereka untuk melakukan kejahatan dan merusak kehidupan orang lain.
Harus diakui, mengendalikan nafsu memang tidak mudah. Dibutuhkan latihan maksimal untuk mengontrolnya. Puasa merupakan waktu terbaik untuk mengendalikan nafsu liar. Tampaknya itulah tujuan utama puasa, yakni pengendalian hawa nafsu.
Bila nafsu manusia sudah stabil, secara tidak langsung kehidupan masyarakat akan terjamin kenyamanannya. Akan sangat percuma bila puasa hanya sekedar menahan haus dan lapar saja, tapi maksiat dan hawa nafsunya tidak pernah dikontrol. Karenanya, jangan terjebak pada bentuk formal ibadah, tapi pahami, dalami, dan amalkan pula substansinya.