Angka tiga dalam ajaran Islam identik dengan istilah Sunnah Rasul. Hal ini disebabkan oleh anjuran-anjuran Nabi yang serba tiga, misalnya kesunnahan rangkaian wudhu (membasuh wajah tiga kali, membasuh tangan tiga kali, dan seterusnya), kesunnahan makan dengan tiga jari (hadits riwayat Ka’b bin Malik), memerintahkan memuliakan ibu yang diulang tiga kali (hadits riwayat Bukhori dan Muslim), dan batas maksimal tidak menyapa juga tiga hari (hadits riwayat Bukhori dan Muslim).
Keistimewaan angka tiga dalam perspektif Islam ini juga memberikan pengaruh terhadap budaya-budaya nusantara, misalnya di beberapa daerah tertentu terjadi pembatasan hewan peliharaan menjadi tiga jenis atau tiga ekor. Hal ini secara hukum Islam memang tidak memiliki dalil, tetapi Islam juga tidak melarang jumlah hewan peliharaan (asalkan dirawat).
Pertanyaan mengenai alasan keistimewaan angka tiga selalu menjadi topik yang menarik untuk diperbincangkan di hadapan secangkir kopi, teh, atau segelas cokelat hangat. Jika dicari di lini masa, maka akan banyak ditemui tulisan-tulisan bagus tentang alasan keistimewaan angka tiga.
Penulis berasumsi bahwa angka tiga menjadi istimewa dilatarbelakangi oleh kisah seorang lelaki yang sangat berbakti kepada Ibunya di zaman nabi Musa.
Disebutkan oleh Syekh Nawawi al-Bantani (seorang Mufti Makkah asli Indonesia, Banten) dalam karyanya yang berjudul Marah Labid Tafsir an–Nawawi atau juga terkenal dengan sebutan Tafsir al–Munir, sebuah kisah seorang anak saleh yang mendapatkan anugerah dari Pemilik Semesta karena melakukan amalan yang serba tiga.
Di zaman Bani Israil (era Nabi Musa), terdapat seorang lelaki tua saleh yang memiliki bayi laki-laki dan seekor anak sapi. Ketika bayinya perlahan mulai tumbuh, lelaki tua tersebut berangkat ke hutan untuk menitipkan anak sapi kepada Pemilik Semesta.
Di dalam hutan, lelaki tua itu berdoa, “Wahai Pemilik Semesta, kutitipkan anak sapi ini kepada Engkau untuk anakku ketika anakku besar nanti.” Anak sapi tersebut adalah anak sapi yang sangat indah dan gemuk (penulis berharap pembaca tidak membayangkan anak sapi tersebut seorang gadis yang cantik jelita).
Ketika sang anak telah beranjak dewasa, ia menjadi seorang anak yang sangat berbakti kepada ibunya. Ia membagi waktunya menjadi serba tiga di waktu malam, yakni sepertiga pertama ia gunakan untuk beribadah kepada Pemilik Semesta, sepertiga kedua ia gunakan untuk tidur, dan sepertiga yang terakhir ia gunakan untuk duduk sembari memangku kepala Ibunya di pangkuannya. Kegiatan serba tiga tersebut ia lakukan setiap memasuki waktu malam hingga esok pagi.
Memasuki waktu pagi, sang anak saleh memanggul kayu kering dan menjualnya di pasar. Hasil yang diperoleh juga ia bagi menjadi serba tiga, yakni sepertiga pertama ia sedekahkan kepada orang-orang yang membutuhkan, sepertiga yang kedua ia gunakan untuk makan, dan sepertiga yang tersisa ia berikan kepada Ibunya.
Setelah beberapa waktu, sang ibu menyuruh anak saleh tersebut mengambil anak sapi peninggalan ayahnya di hutan. Sepulang dari hutan, sang ibu berkata kepada anaknya, “Nak, engkau sungguh mengalami keadaan yang sangat berat. Ketika siang kau memanggul kayu dan di kala malam kau terjaga merawat ibu. Juallah sapi ini, agar bisa sedikit meringankan keadaanmu”.
“Dijual dengan harga berapa, bu?”, tanya sang anak.
“Juallah dengan harga tiga dinar dan jangan menjualnya sebelum engkau izin kepada Ibu terlebih dahulu, nak,” jawab sang Ibu.
Harga seekor sapi pada waktu itu memang berkisar tiga dinar. Maka berangkatlah sang anak menuju pasar untuk menjual sapi tersebut.
Tanpa sepengetahuan ibu dan anak, Pemilik Semesta mengutus malaikat untuk menyamar menjadi pembeli sapi untuk menguji ketaatan sang anak saleh kepada ibunya. Terjadilah tawar-menawar antara malaikat yang menyamar dan anak saleh.
“Berapa harga sapi ini, Nak?” tanya Malaikat.
“Sapi ini berharga tiga dinar dengan syarat mendapat rida ibuku,” jawab sang anak.
“Ku beli sapi ini dengan harga enam dinar, asalkan kau tidak perlu izin ibumu,” tawar malaikat.
“Aku tak akan pernah menjual sapi ini kecuali atas rida ibuku,” jawab sang anak mantap lalu pamit untuk menemui ibunya terlebih dahulu. Ia menceritakan tawaran pembeli kepada ibunya dan ibunya memberikan rida dengan catatan harga tidak boleh kurang dari enam dinar. Kembalilah sang anak ke pasar dan terjadilah tawar-menawar selanjutnya.
“Baiklah, anak muda. Akan kubeli sapimu ini dengan harga dua belas dinar kontan, tapi tak perlu kau meminta izin ibumu”, rayu malaikat kepada sang anak solih.
Ternyata tawaran menggiurkan malaikat masih tak mampu merobohkan kepatuhan sang anak kepada ibunya. Anak saleh tersebut tetap menolaknya dan kembali lagi ke Ibunya. Ia ceritakan semua kisah lanjutan tawar-menawar dengan pembeli aneh tersebut.
Sang ibu lalu berkata, “Ketahuilah, nak. Sungguh pembeli yang menawar sapimu adalah malaikat utusan Tuhan yang diutus olehnya untuk menguji kepatuhanmu kepada ibu. Sekarang, kembalilah dan tanyakan padanya; sapi ini jadi dibeli atau tidak.”
Anak saleh itu segera kembali ke pasar dan menemui malaikat tersebut. Sang malaikat berpesan, “Sampaikan kepada ibumu; jangan menjual sapi ini kepada siapapun kecuali kepada seseorang yang bernama Musa bin Imron (nabi Musa). Sapi ini akan dihargai kepingan emas yang memenuhi kulitnya (berkali-kali lipat lebih mahal)”.
Pesan yang ingin diambil oleh penulis dari kisah ini adalah keistimewaan amalan serba tiga yang dilakukan oleh anak saleh tersebut. Amalan serba tiga tersebut ternyata mampu membawanya mendapatkan predikat seorang anak yang berbakti kepada orangtuanya dan mendapatkan rezeki yang tak terkira jumlahnya.
Benarkah keistimewaan angka tiga bermula dari kisah tersebut? Hanya Pemilik Semesta yang Maha Mengetahui atas segala rahasia.