Kata hijrah sering kita dengar. Makna hijrah sering pula dihubungkan dengan peristiwa hijrah Nabi Muhammad Saw dari Mekah ke Madinah. Atau pun dihubungkan dengan makna pergantian tahun hijriah. Sekarang ini pun kita sering mendengar kata hijrah yang dihubungkan dengan pola hidup, contohnya kalimat-kalimat ajaka seperti “Mari berhijrah ke yang syar’i,” dan pernyataan lainnya.
Arti Hijrah
Dalam Kamus al-Ma’ani (2018), kata ini berasal dari al-hijrah yang berasal dari ha-ja-ra, terkadang dibentuk jamak menjadi al-hijrat. Hijrah diartikan keluarnya seseorang dari satu tempat ke tempat lain yang bertujuan untuk meraih keamanan hidup dan rezeki yang luas, juga bisa diartikan sebagai perpindahan dari satu negeri ke negeri lain untuk menetap di negeri tersebut.
Muhammad Jasim ‘Abd (2010) dalam Ahkam al-Hijrah fi al-Syari’ah al-Islamiyah mengutip pendapat Ibn Faris, bahwa huruf ha, jim, dan ra, salah satunya menunjukkan pada kuatnya sesuatu atau mengikatnya, sementara yang lainnya menunjukkan pada pemutusan atau bagian yang terpotong.
Secara kebahasaan, kata ini antonim dari kata menyambungkan (al-washl). Makna ini pernah diungkapkan pula oleh Ibn Manzhur dalam Lisan al-‘Arab, yaitu keluar dari satu negeri untuk masuk ke negeri lain. Makna etimologis memungkinkan munculnya makna lain yang meliputi beragam makna. Al-Hijrah diartikan memotong, memutuskan, juga memisahkan. Makna ini ditujukan bagi berpisahnya individu untuk hal lain baik lisan, hati, maupun jasadnya. Kira-kira ini makna hijrah secara etimologis.
Bagaimana makna hijrah secara terminologis? Kata hijrah memiliki beragam makna sesuai dengan ilmu yang membahasnya. Dalam ilmu demografi, kata ini dimaknai sebagai perpindahan tempat tinggal yang dilakukan oleh individu atau kelompok dari tempat asalnya ke tempat lain pada masa tertentu. Perpindahan ini bisa jadi didorong untuk tujuan kesejahteraan hidup, karena dampak politik, keamanan, atau bahkan untuk mencari ilmu. Ini merupakan pendapat dari Yusuf Abu Ulyan (2020) dalam al-Hijrah li Ghair Bilad al-Muslimin.
Hijrah secara terminologi agama malah cukup beragam maknanya, baik ringkas atau sempit, maupun luas dan mencakup sesuatu sesuai dengan apa yang dipahami dari makna tersebut. Ketika hijrah dihubungkan dengan hijrah Rasulullah Saw dari Mekah ke Madinah, maka ini ditujukan untuk makna hijrah secara khusus, yaitu perpindahan Nabi Muhammad SAW dan orang mukmin dari tempat yang penuh kekafiran (Mekah) menuju tempat yang Islami (Madinah).
Perpindahan ini menjadi penguat dan penolong bagi Nabi Muhammad SAW dan orang mukmin dari ancaman pembunuhan kelompok kafir Mekah. Dari pertimbangan tempat, hijrah dimaknai perpindahan dari dar al-kufr ke dar al-islam, atau keluar dari tempat yang penuh dengan fitnah menuju tempat yang fitnahnya lebih kecil atau dari tempat yang kurang aman menuju tempat yang lebih aman.
Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fath al-Bari (16/3) menjelaskan hijrah sebagai berikut:
Dalam konteks Islam, makna hijrah dapat dijelaskan pada dua hal. Pertama, perpindahan dari tempat yang menakutkan ke tempat yang aman, seperti hijrah ke Habsyah dan awal-awal hijrah ke Madinah. Kedua, perpindahan dari tempat yang penuh kekufuran ke tempat yang penuh keimanan. Hal ini terjadi setelah Nabi Muhammad SAW menetap di Madinah dengan orang-orang mukmin. Ketika ini terjadi, hijrah terkhusus pada perpindahan ke Madinah sampai Fathu Makkah, dan berhentilah pengkhususan kata ini kemudian beralih pada makna umum yaitu perpindahan dari tempat yang penuh kekufuran bagi seseorang yang mampu untuk melakukannya.
Pesan Al-Qur’an tentang Hijrah
Hijrah menjadi salah satu wasilah untuk mencegah penindasan atau minimal pelemahan (al-istidh’af). Hal ini sebagaimana firman Allah Swt dalam Q.S al-Nisa: 97-98. Kedua ayat ini turun untuk menjelaskan sekelompok muslimin yang tetap tinggal di Mekah dengan menyembunyikan keislaman mereka dari penduduk Mekah. Padahal, mereka sanggup untuk hijrah. Mereka bersikeras untuk tetap tinggal di Mekah meskipun kebebasan mereka untuk mengamalkan ajaran agama terancam. Al-Qur’an menyebut mereka sebagai orang-orang yang menganiaya dirinya sendiri, sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Kemenag (2019).
Akibatnya mereka mengalami nasib yang buruk: dilemparkan ke neraka Jahanam. Karena secara umum, setiap muslim wajib hijrah dari negeri kaum kafir apabila di negeri tersebut tidak ada jaminan kebebasan melaksanakan ajaran agama. Namun, dalam Tafsir Kemenag (2019) juga dijelaskan, apabila ada jaminan kebebasan beragama di negeri itu serta kebebasan membina pendidikan agama bagi dirinya dan keluarganya, maka ia tidak diwajibkan hijrah.
Selain ayat di atas, beberapa mufasir juga memberikan penafsiran terhadap Q.S an-Nisa: 100. Merujuk pada hasil riset Heni Arestia (2021), hijrah menurut Ibnu Katsir dan al-Qurthubi dimaknai perpindahan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw untuk mencari kenyamanan agar terhindar dari orang-orang zalim sehingga dapat menjalani kehidupan dnegan tenang. Quraish Shihab menjelaskan hijrah bukan hanya perpindahan fisik, melainkan juga berhubungan dengan pencarian ilmu, dakwah, dan berjuang. Pendapat Quraish Shihab senada dengan Hamka. Menurut Hamka, hijrah merupakan peninggalan perbuatan buruk menuju perbuatan baik.
Selain keempat mufasir tersebut, Heni Arestia (2021) mengemukakan teori double movement. Teori ini menyuguhkan dua hal. Pertama, hijrah pada masa nabi dan generasi setelahnya untuk penyebaran dakwah dan pembelaan agama. Kedua, Q.S an-Nisa: 100 menjelaskan hijrah untuk meraih rida Allah SWT dengan pahala yang ditetapkan kepadanya. Ayat ini memberikan dorongan agar proses hijrah hanya untuk meraih rida-Nya sehingga Allah akan memberikan keluasan dan rezeki yang berlimpah di tempat baru. (AN)
Wallahu A’lam