Selain penginapan dan transportasi, katering untuk jemaah Haji selalu menjadi perbincangan para anggota dewan setiap pembahasan BPIH (Biaya Perjalanan Ibadah Haji) atau dulu dikenal dengan ONH (Ongkos Naik Haji). Hal ini disebabkan perjalanan haji sangat menuntut kesiapan fisik yang prima sehingga harus disuplay dengan asupan makanan yang teratur dan berkualitas baik.
Meski demikian, kita perlu tahu bahwa santapan para jemaah haji tidak saja disuplai dari satu arah saja. Di kota Mekah dan Madinah saja, kita dapat menjumpai banyak toko makanan di sekitar penginapan para jemaah haji. Di tulisan sebelumnya, saya sempat mendiskusikan bahwa sebelum model katering diberlakukan, para jemaah haji lebih memilih untuk memasak atau membeli di sekitar penginapan mereka. Selain kisah tersebut, pengalaman membeli makanan di tanah suci juga menyimpan banyak cerita menarik.
***
Salah satu kebiasaan masyarakat Banjar di pagi hari adalah Mawarung, yakni menyantap makanan atau minuman di warung di sekitar kediaman. Warung tersebut biasanya menyediakan mulai dari makanan berat hingga kue-kue khas Banjar, seperti untuk, apam, hingga Ketupat Kandangan. Menariknya, kebiasaan ini pernah saya dengar di salah satu pengalaman paman saya ketika menunaikan ibadah Haji di tanah suci.
Paman saya berangkat haji di tahun 1990, bertepatan dengan tragedi Terowongan Mina yang memilukan saat itu. Paman saya berangkat sendirian, sehingga untuk memenuhi kebutuhan makan dia harus membeli di luar. Waktu itu program katering belum cukup populer. Hal yang paling diingatnya adalah membeli makanan yang dijajakan di sekitar trotoar sekitar kediaman jemaah haji asal Indonesia. Uniknya, para penjual menyediakan makanan khas Banjar, seperti Untuk (semacam roti goreng) dan gangan asam yang akrab di lidah masyarakat Banjar.
Kebanyakan mereka yang berjualan makanan tersebut adalah para Haji Turis, Mukimin (sebutan untuk masyarakat Banjar yang sudah menetap di sana), atau TKW asal Banjar. Dengan memakai abaya lengkap dengan niqabnya, mereka melayani para jemaah haji asal Banjar yang kesulitan mendapatkan makanan di tengah kesibukan beribadah.
Mereka biasanya berjualan di pagi dan siang hari, walau juga ada yang berjualan di malam hari walau sangat jarang. Saya pernah mendengar bahwa mereka mendapatkan banyak keuntungan dari berjualan tersebut, walau harus dihantui ketakutan diusir atau ditangkap Askar atau para polisi ketertiban umum. Dari mereka inilah para masyarakat Banjar dapat menikmati asupan khas Banjar tanpa harus memasak dan membawa sendiri berbagai rempahnya.
Selain itu, di sekitar tahun 1980-2000an awal, ada Mukimin asal Banjar yang membuka semacam Warung Makan, namun secara illegal. Selain sewa yang mahal, restoran di Mekah dan Madinah memiliki beragam aturan yang ketat sehingga berjualan dengan menjajakan di trotoar dan warung illegal adalah pilihan yang “logis” untuk dipilih.
Warung makanan tersebut populer di kalangan para Haji Banjar dengan sebutan Warung Pencet Bel. Tempat ini menyediakan beragam asupan khas Banjar, khususnya makanan berat. Ada Lontong, Urap, Ikan Gabus Panggang, hingga Papuyu tertera di daftar mereka. Tentu sangat menggugah dan menggoyang lidah, khususnya bagi masyarakat Banjar.
Tapi, jangan dibayangkan mereka membuka restoran di pinggir jalan atau stan di tempat pembelanjaan. Karena, warung tersebut dibuka di rumah mereka sendiri yang berada di salah satu pemukiman padat di kota Mekah. Entah hari ini masih ada, tapi menurut cerita paman saya, masakan mereka itu enak dan mengobati kerinduan atas kampung halaman.
***
Kehadiran para penjual makanan yang berasal dari berbagai latar belakang tersebut sangat membantu jemaah haji asal Banjar, khususnya untuk tetap dapat menyantap makanan khas tempat asal mereka di tanah suci. Pengalaman ini tidak mungkin terwujud tanpa peran para Haji Turis, Mukimin, atau TKW asal Banjar tersebut.
Berangkat ke tanah suci memang selalu disandarkan pada niat beribadah. Namun, pasca ibadah haji, tidak semua orang yang berangkat ke sana kemudian balik ke tanah air, terlebih sebelum pelaksanaan haji dikelola pemerintah. Banyak masyarakat kita yang memutuskan untuk tinggal dan terserap dalam kehidupan sosial di tanah suci.
Azyumardi Azra, akademisi, pernah mengutip ulasan John Voll soal imigran Asia Selatan di tanah suci, dalam buku Jaringan Ulama. Kategori pertama Voll adalah little immigrants, yakni merujuk pada mereka yang datang dan bermukim di Haramain, sebutan khas dua kota suci Mekah dan Madinah, dan diam-diam terserap dalam kehidupan sosial keagamaan setempat. Mayoritas mereka datang untuk menunaikan ibadah haji, tetapi belakangan mereka akhirnya memutuskan untuk bekerja di sana, sebagian besar menjadi pelayan atau pekerja di tempat-tempat suci.
Mereka adalah masyarakat biasa dan bukan ulama. Menurut Azyumardi Azra, kisah-kisah mereka tidak pernah terekam dalam biografi para ulama Nusantara. Namun, hari ini bisa kita jumpai di kisah-kisah para jemaah haji yang membutuhkan makanan dari mereka. Kemampuan beradaptasi dan penguasaan jaringan dalam kehidupan sehari-hari sangat membantu mereka dalam menyediakan berbagai makanan khas tanah asal mereka, yang biasanya diolah sendiri di dapur dalam kediaman yang terletak di pemukiman padat di kota Mekah atau Madinah.
Baca Juga, Makanan di Musim Haji itu Unik
Interaksi yang terjalin lewat makanan inilah kemudian yang membuka berbagai “bisnis” penyediaan aneka kebutuhan jemaah, mulai dari kupiah haji, Badal Haji, Ojek Hajar Aswad, proyek Dam Haji/Umrah, hingga penjualan barang illegal lainnya, seperti rokok dan berbagai obat-obatan. Memang, relasi ini tidaklah sempurna, bahkan bisa dibilang pasang surut karena tidak sedikit jemaah yang tertipu dan di sisi lain juga diuntungkan atas kehadiran para Mukimin ini. Namun, inilah titik kemanusiaan dalam perjalanan haji.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin