“Sebagian besar murid tidak mengenali beberapa fenomena keberagamaan kita,” ujar salah seorang guru. Bahkan, sebagian lain dari mereka tidak mengetahui organisasi HTI atau FPI. Padahal, dua organisasi tersebut pernah menjadi perbincangan hangat di kalangan umat beragama. Fenomena ini sempat mengejutkan saya.
“Bagaimana mereka merespon narasi moderasi beragama yang sedang didedahkan di sekolah?” tanya saya. Sebab, pengalaman atau pengetahuan atas fenomena keberagamaan sebenarnya bisa membantu mereka memahami moderasi beragama lebih baik. Saya pun lanjut bertanya, “Apakah mereka pernah membaca atau mengetahui soal rumah makan babi yang dipaksa tutup di bulan Ramadan?.” Tentu saja tidak.
Sebagian besar siswa, memang, tidak memiliki pengalaman atau pengetahuan atas konflik identitas. Bagi mereka, keterbukaan dan penerimaan atas perbedaan identitas bukan barang asing. Tak ada sekat dalam kehidupan mereka, sebagaimana dalam kehidupan kita selama ini.
Jika sekelompok anak muda tidak memiliki pengalaman atau pengetahuan konflik keberagamaan dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana moderasi beragama didedahkan kepada mereka? Pertanyaan ini sempat terlintas di benak saya.
***
Kondisi di atas saya jumpai kala wawancara para siswa di dua Madrasah Aliyah yang beberapa waktu lalu. Resepsi mereka atas narasi moderasi beragama sangatlah berbeda dengan bayangan atau imaji yang terbangun dalam benak saya.
Saya berasal dari generasi berbeda dari para siswa ini. Tentu model dan ekspresi keberagamaan juga turut dibentuk dari pengalaman yang saya alami. Jika bait abadi dalam puisi populer menyebutkan bahwa kita adalah produk sejarah yang kita jalani, maka anak muda hari ini juga memiliki pengalaman dan imaji berbeda dengan apa yang saya alami.
Para siswa di dua Madrasah Aliyah tersebut lebih terbuka dari apa yang saya kira. Walaupun, di sebagian siswa juga ada yang memiliki pemahaman tertutup, di mana hampir semua itu mereka warisi dari generasi sebelumnya. Sebagian besar para siswa menerima kehadiran umat dari agama lain. Hidup sebagai mayoritas dan cukup jarang berjumpa dengan kelompok minoritas lainnya, tidak menghalangi mereka menerima kehadiran yang liyan.
Pengalaman berbeda ini, bagi sebagian siswa, telah mereka jumpai dalam banyak irisan dalam kehidupan mereka, seperti kala bermain game, kesamaan tempat nongkrong, hingga saling follow di media sosial. Iya, dunia maya telah banyak membuka peluang anak muda dalam berjumpa dengan ragam perbedaan.
Bangunan keberagamaan anak muda ini memang dibentuk lewat pengalaman, bacaan, hingga perjumpaan berbeda dengan apa yang dialami oleh generasi sebelumnya. Bahasa yang mereka gunakan dalam perbincangan dalam relasi dengan kelompok minoritas pun turut berbeda.
Pengalaman, bacaan, hingga perjumpaan yang berbeda ini juga membentuk resepsi dan ekspresi mereka atas narasi moderasi beragama. Bagi mereka, relasi dengan kelompok lain sudah bukan barang asing biasanya membawa kerjasama tersebut dalam merespon isu-isu krusial lainnya, seperti perubahan iklim, kekerasan rumah tangga, hingga kesehatan mental.
Kemarin, sekelompok siswa dari salah satu Madrasah Aliyah melaksanakan kegiatan tanam pohon bersama dengan beberapa teman mereka dari agama lain. Perbedaan yang selama ini dibangun oleh generasi sebelum mereka tidak lagi relevan, karena, bagi para siswa tersebut, isu lingkungan haruslah dihadapi dengan kerjasama lintas identitas.
Walaupun, sebagian para siswa juga tidak memiliki referensi soal perbedaan agama atau identitas lainnya. Mereka lebih banyak terjebak dalam identitas tunggal. Namun, menariknya, hal ini tak lantas mereka langsung membenci atau melakukan kekerasan kepada kelompok liyan. Memang, anak muda hari ini lebih banyak menerima perbedaan. Saya belum banyak mendapatkan informasi terkait ini dari para siswa yang saya wawancara.
***
Anak muda atau para siswa ini memang tidak memiliki banyak referensi atas konflik atau fenomena negatif dalam keberagamaan mereka. Pengalaman atau pengetahuan mereka atas beragam konflik keberagamaan, terlebih yang terjadi dekat atau dalam keseharian biasanya diwariskan dari generasi terdahulu.
Di sisi lain, mereka memiliki kepeduliaan yang unik atau dalam bahasa kajian sosial disebut subkultur, termasuk dalam keberagamaan. Cara mereka memandang, mengekspresikan, menjalankan, hingga menghayati agama lebih banyak berbeda dengan generasi sebelumnya.
Apa yang dialami para siswa ini dalam menghadapi fenomena keberagamaan, buruk atau baik, biasanya tidak bertahan lama dan berbeda respon dengan generasi sebelumnya. Kita dulu hidup dalam sekat-sekat agama yang ketat, sebagai bagian dari menjaga identitas komunal. Sedangkan, mereka tidak mengenal ekspresi seperti ini sebelumnya.
Keresahan para siswa lebih berfokus pada isu-isu krusial, seperti perubahan iklim, kekerasan rumah tangga, hingga kesehatan mental. Keterlibatan mereka pada gerakan-gerakan dalam merespon isu-isu tersebut biasanya dijadikan ajang mereka berkolaborasi dengan kelompok liyan.
Kala safari moderasi beragama singgah di sekolah mereka, para siswa normanya diwajibkan mengikuti karena biasanya ceramahnya disampaikan oleh kepala kantor Departemen Agama setempat. Menariknya, sebagian siswa mengaku tidak banyak mengingat atau memahami apa yang disampaikan.
Narasi moderasi beragama wajib beradaptasi dengan kondisi para siswa di atas. Kalau tidak, moderasi beragama lebih banyak diabaikan dan ditinggalkan. Walaupun bukan berarti para siswa tidak memahami atau menghormati perbedaan dan berlaku adil pada siapapun. Mereka memiliki ekspresi dan model beragama yang berbeda, maka narasi moderasi beragama pun harus dikonstruksi dengan pola berlainan pula.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin