Al-Harits al-Muhasibi merupakan salah seorang sufi yang hidup di kisaran abad 2-3 Hijriah. Dalam kitabnya yang berjudul al-Ri’ayah li Huquq Allah, Al-Muhasibi menyajikan sebuah pembahasan mengenai macam-macam bisikan hati dalam diri manusia.
Mengawali penjabarannya, al-Muhasibi membuat pertanyaan retoris: Apa itu bisikan? Seperti apa wujud bisikan tersebut? Dari mana saja bisikan itu bisa datang dan hadir dalam hati seseorang? Menurutnya, terdapat setidaknya tiga macam bisikan yang hadir ke dalam hati seseorang. Secara berurutan ialah bisikan dari Allah Swt, nafsu, dan setan.
Pertama, ialah bisikan dari Allah yang dalam tulisan al-Muhasibi disebut sebagai tanbih min al-Rahman. Bisikan yang datang dari Allah biasanya berupa petunjuk atau bimbingan dari-Nya (hidayah) yang mengarahkan seseorang kepada kebaikan. Selain itu, bisikan tersebut juga bisa menjadi bentuk jawaban dari Allah atas kegundahan dan kegalauan seseorang mengenai suatu hal tertentu.
Kedua, bisikan dari nafsu manusia. Bisikan dari nafsu biasanya mengajak dan menggoda seseorang untuk menuruti hasrat atau keinginan tertentu, misalnya hasrat untuk mencuri atau membunuh orang lain. Meskipun demikian, bisikan dari nafsu tidak sepenuhnya bersifat dan terkadang ada juga bisikan baik. Oleh karenanya, diperlukan manajemen diri yang baik sehingga seseorang bisa memahami mana bisikan nafsu yang bersifat jahat dan mana yang mendorong kepada kebaikan.
Al-Muhasibi mengutip beberapa ayat Al-Qur’an yang dijadikan landasan bagi bisikan yang datang dari nasfu, di antaranya apa yang termaktub dalam QS. Yusuf: 18, QS. Al-Maidah: 30, dan QS. Yusuf: 53.
Ketiga, bisikan yang datang dalam hati manusia menurut Al-Muhasibi juga bisa berasal dari setan. Bisikan itu biasanya berbentuk godaan, bujukan, hasutan, dan was-was dari setan untuk berbuat maksiat atau kejahatan.
Oleh karena itu, penting bagi seseorang untuk mengenali dari mana sebuah bisikan itu datang, sehingga ia tidak mudah menuruti bisikan tersebut dan tidak tertipu oleh bisikan-bisikan jahat yang datang dari setan. Dalam hal ini, Al-Muhasibi juga membeberkan beberapa ayat Al-Qur’an yang menjelaskan soal bisikan setan. Ayat tersebut antara lain QS. Al-An’am: 43, QS. Al-A’raf: 20, QS. An-Nas: 5, dan QS. Al-A’raf: 200.
Tidak mudah untuk bisa memastikan dan mengenali setiap bisikan hati yang hadir dalam hati. Tak heran jika kalangan sufi, semacam Habib Lutfhi bin Yahya, mengajak setiap orang untuk melakukan prosesi penyucian jiwa dan pembersihan hati sebagai sarana agar ketika sewaktu-waktu bisikan itu datang dalam hati, kita mampu mendeteksi jenisnya.
Al-Muhasibi yang sering disebut sebagai peletak dasar psikologi sufi, memberikan metode penting berupa muhasabah yang bisa kita lakukan secara praktis setiap harinya dalam rangka mengenali bisikan yang hadir ke dalam hati. Menurutnya, muhasabah diri membawa dua konsekuensi logis sekaligus, yakni jalan untuk mengenali diri sendiri sekaligus mengenal Tuhan.
Dialog dengan diri untuk menelusuri ruang batin terdalam yang terkandung dalam diri setiap orang itulah yang perlahan akan membuat tebalnya lapisan tabir yang melingkupi manusia akan terbuka secara perlahan. Praktik ini tentu akan jauh lebih cepat efektivitasnya ketika seseorang berada dalam bimbingan guru ruhani (mursyid).
Uniknya, teori yang diutarakan oleh Al-Muhasibi ribuan tahun yang lalu ternyata mendapat afirmasi dari konsep psikologi modern yang mengungkap pentingnya membangun kebiasaan self-talk atau deep-talk agar kita menemukan jati diri kita sebagai manusia yang unik dan otentik.
Dalam kitab yang sama, al-Muhasibi mengetengahkan pentingnya akhlak sebagai bekal dari seseorang dalam kehidupan. Baginya, inti dari tasawuf ialah akhlak. Dengan dasar inilah Al-Muhasibi kemudian menjabarkan hal-hal yang bisa menyelamatkan dan juga sesuatu yang bisa mencelakakan seorang salik dalam perjalanan spiritualnya.
Cukup susah memastikan tahun kelahiran dan wafatnya Al-Muhasibi. Namun, satu riwayat menyebutkan bahwa ia lahir tahun 165 H dan wafat pada tahun 243 H. Artinya ia hidup sezaman dengan beberapa sufi lain, seperti Ma’ruf al-Karkhi, Bisyr al-Hafi, dan Sirri al-Saqathi.
Mengenai warisan intelektualnya, Abdul Halim Mahmud mengemukakan bahwa terdapat sekitar dua ratus buku karya al-Muhasibi. Akan tetapi, tidak semua karya tersebut terdistribusikan hingga era sekarang. Beberapa kitab utama karangan al-Muhasibi yang masih banyak dikaji dan digali ialah al-Ri’ayah li Huquq Allah, Risalah al-Mustarsyidin, dan al-Washaya.
Memungkasi tulisan ini, saya ingin mengutip satu metafor mengenai gelas dan air. Bisikan hati ialah ibarat jenis air yang akan dituangkan, sedangkan gelas merupakan kondisi hati dan jiwa kita. Bukankah gelas yang keruh selamanya tidak akan mampu mengenali mana air yang bening dan mana air yang kotor ketika air itu dituangkan ke dalam gelas yang sama? [NH]