Al-Harits al-Muhasibi: Sufi yang Memengaruhi Pemikiran dan Karya Imam al-Ghazali

Al-Harits al-Muhasibi: Sufi yang Memengaruhi Pemikiran dan Karya Imam al-Ghazali

Analisis al-Harits al-Muhasibi yang cermat atas persoalan riya’, kemunafikan, dan seluruh pendekatan metodologisnya menjadi dasar dan sangat diperlukan bagi para sufi awal. Al-Ghazali, tokoh mistik abad pertengahan yang moderat, hampir sepenuhnya bersandar kepadanya. ~Annemarie Schimmel, (1986: 56)

Al-Harits al-Muhasibi: Sufi yang Memengaruhi Pemikiran dan Karya Imam al-Ghazali
Ilustrasi

Analisis al-Harits al-Muhasibi yang cermat atas persoalan riya’, kemunafikan, dan seluruh pendekatan metodologisnya menjadi dasar dan sangat diperlukan bagi para sufi awal. Al-Ghazali, tokoh mistik abad pertengahan yang moderat, hampir sepenuhnya bersandar kepadanya. ~Annemarie Schimmel, (1986: 56)

Siapa yang tak kenal dengan Imam al-Ghazali? Sufi abad pertengahan yang namanya dikenal luas melalui karya-karya monumentalnya seperti Ihya’ Ulumuddin. Sebaliknya, siapa yang kenal dengan Imam al-Harits al-Muhasibi? Tokoh sufi abad-abad awal yang oleh Annemarie Schimmel dan sarjana-sarjana lain dianggap sebagai tokoh yang paling berpengaruh terhadap pemikiran tasawufnya Imam al-Ghazali ini?

Al-Harits al-Muhasibi adalah seorang sufi kenamaan yang namanya mulai mencuat kembali setelah beberapa sarjana kontemporer meneliti keterpengaruhan al-Ghazali atas karya-karya al-Muhasibi. Ia lahir pada pertengahan abad ke-2 Hijriyah. Sumber otoritatif sepakat bahwa Ia wafat pada tahun 243 H.

Nama lengkapnya adalah Al-Harits bin asad al-Muhasibi. Ia lahir di Bashrah (salah satu kota di Irak) dan tinggal di sana selama beberapa tahun. Kemudian ia pindah ke Baghdad pada usianya yang masih sangat muda.

Kezuhudan al-Harits mulai tercium sedari kecil. Konon bapaknya adalah seorang kaya-raya yang menganut aliran muktazilah (sebuah madzhab teologi dalam Islam). Ayahnya bukan hanya penganut aliran muktazilah yang pasif, bahkan termasuk salah seorang yang gigih mengkampanyekan pemikiran yang dikembangkan oleh muktazilah. Namun, al-Muhasibi ternyata tidak seperti ayahnya, baik dalam masalah teologi maupun dalam sikapnya terhadap harta. Singkat kata, al-Muhasibi boleh dibilang terpisah jauh dari kehidupan sang ayah.

Keterpengaruhan Al-Ghazali

Sejumlah sarjana seperti A.J. Arberry sebagaimana diulas oleh Kausar Azhari Noer (1999: 167), menilai bahwa pengantar al-Muhasibi dalam karyanya Kitab al-Washaya bersifat otobiografis, dan mungkin dengan baik sekali telah terkandung dalam benak al-Ghazali ketika menulis karya al-Munqidz min al-Dhalal otobiografinya.

Dalam pengantar Kitab al-Washaya, ia menjelaskan pencarian spiritualnya yang dihinggapi oleh banyak keraguan dimana banyak sekte saling mengklaim kebenaran. Hal ini mengingatkan pada kitab al-Munqidz min ad-Dhalal karya al-Ghazali. Berikut kutipannya:

Pada zaman kita ini telah terjadi perpecahan umat menjadi tujuh puluh golongan, atau lebih; di antara golongan itu, hanya satu pada jalan keselamatan, dan selebihnya, hanya Allah yang paling mengetahuinya. Hingga kini, aku tak pernah berhenti, meski hanya sesaat dalam hidupku, memikirkan dengan baik perbedaan-perbedaan yang meruntuhkan umat ini, dan mencari cara yang jelas dan jalan yang benar, dengan tujuan untuk mencari teori dan praktik, dan mengharapkan bimbingan pada jalan menuju dunia yang akan datang di bawah pengarahan para teolog. Lebih dari itu, aku telah mempelajari banyak doktrin tentang Tuhan Yang Maha Agung, dengan interpretasi ahli fikih, dan merenungkan berbagai keadaan umat ini, dan memikirkan doktrin-doktrin dan ucapan mereka yang berbeda-beda. Di antara semua ini aku memahami yang mesti kupahami: dan saya melihat bahwa perbedaan mereka bagaikan samudera yang begitu dalam, di dalamnya banyak orang tenggelam, dan hanya sekelompok kecil yang berhasil melepaskan diri dari sana; dan aku melihat setiap golongan menyatakan dengan tegas bahwa keselamatan dapat ditemukan jika mengikuti mereka, dan binasalah siapa yang menentang mereka.  

Keterpengaruhan Imam al-Ghazali terhadap Imam al-Harits al-Muhasibi juga diamini oleh Syaikh Zahid al-Kautsari sebagaimana diungkapkan oleh Syaikh Abdul Halim Mahmud (21-22), bahwa Ihya Ulumuddin karya monumental Imam al-Ghazali terpengaruh karya Imam al-Harits al-Muhasibi lainnya, yakni kitab ar-Ri’ayah lihuquqillah Azza wa Jalla.

Selain keterpengaruhan al-Ghazali terhadap karya-karya al-Harits al-Muhasibi, secara pemikiran tasawuf, sumbangsih al-Haris al-Muhasibi juga cukup kuat dalam membentuk pemikiran tasawufnya al-Ghazali. Dimana jauh sebelum al-Ghazali muncul, al-Haris al-Muhasibi sudah membangun konsep moderatisme tasawuf atau yang biasa dikenal dengan tasawuf sunni. Penilaian banyak sarjana bahwa al-Ghazali adalah sufi pertama yang telah berhasil dengan gemilang mendamaikan tasawuf dan syariat perlu ditinjau ulang. Sebab, 3 abad sebelum al-Ghazali, Imam al-Haris al-Muhasibi sudah berhasil melakukannya.

Wallahu A’lam Bisshawab