Anda mungkin pernah mengalami pengalaman ini. Teman sekolah yang dulu hidupnya tak terlalu peduli agama, selebor, dan kurang mendapat pendidikan agama dalam keluarga, tiba-tiba saja berubah lebih “agamais”. Indikatornya? Simbol-simbol pakaian yang digunakan atau omongan-omongannya yang ujung-ujungnya kembali pada doktrin agama yang dia yakini. Dalam pengalaman berbeda Anda mungkin mengalami teman Anda ini kerap menyalah-nyalahkan Anda hingga terkesan membenci dan membuat persahabatan Anda tak lagi nyaman.
Mungkin juga lebih jauh dari itu. Teman Anda itu aktif dalam demonstrasi menolak hal yang ia anggap bertentangan dengan syariat Islam serta aktif dalam gerakan sweeping tempat-tempat yang dianggap maksiat. Ia bisa datang dari latar belakang pendidikan tinggi umum dan status ekonomi menengah atas.
Inilah salah satu gejala radikalisasi keagamaan yang bisa dialami siapa saja. Tapi agar kita tak bicara ngalor ngidul tetang makhuk radikalisme ini, saya ingin memulainya dengan mematok definisi yang saya pakai di sini. Tentu ada banyak ragam definisi radikalisme yang berseliweran dan bisa Anda pakai dan mungkin berbeda dengan yang saya rujuk. Inilah pentingnya definisi agar apa yang saya maksud dengan anda maksud sama. Jangan sampai kita omong radikalisme, Anda omong intoleransi. Atau bisa saja omong indikator radikalisme yang berbeda.
Makanya orang seperti Alex P. Schmid, pakar terorisme dari The International Centre for Counter-Terrorism, Netherland, seperti agak bingung lalu menyusun indikator yang lebih komperhensif. Ia memasukan salah satu penggunaan pola-pola berikut ini sebagai proses radikalisasi. Dari penggunaan (non-kekerasan) tekanan dan paksaan, bentuk-bentuk kekerasan politik seperti serangan fisik selain terorisme hingga tindakan kekerasan ekstremisme dalam bentuk terorisme dan kejahatan perang (genosida).
Saya ambil definisi radikalisme yang akan kita bicarakan ini dari Laporan Survei Nasional Wahid Foundation dan Lembaga Survei Indonesia tentang Potensi Radikalisme dan Intoleransi Sosial-Keagamaan di Kalangan Muslim Indonesia. Laporan survei sudah dirilis Agustus lalu.
Radikalisme adalah tindakan dan atau sikap yang mengatasnamakan agama yang tidak sejalan dengan dasar atau prinsip dasar kehidupan berbangsa yang menjunjung tinggi toleransi dan terbuka terhadap sesama warga yang majemuk yang dijamin keberadaannya oleh konstitusi, atau yang bertumpu pada prinsip-prinsip kemanusiaan.
Potensi radikalisme ini, dalam Survei tadi, lalu dilihat dan diuji berdasarkan tingkat “partisipasi” dan “kesediaan partisipasi” untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang cenderung mendukung atau telah melibatkan kekerasan. Mereka akan ditanyakan apakah mereka pernah terlilbat dalam aksi sweeping, penyerangan rumah ibadah, demontsrasi menentang mereka yang dianggap tak sesuai syariat Islam. Kesediaan berpartisipasi artinya mereka belum pernah melakukan, tapi bersedia melakukan jika ada kesempatan.
Di survei ini, demonstrasi menentang kelompok yang dinilai bertentangan dengan syariat Islam memang dimasukan sebagai salah satu dari empat indikator potensi radikalisme. Mengapa? Meski organisasi keislaman seperti NU dan Muhammadiyah memiliki konsep dan perjuangan tentang syariat Islam, namun kelompok yang menjadikan syariat Islam sebagai agenda utama biasanya terafiliasi dengan kelompok-kelompok Islam baru yang lahir pasca-Reformasi. Syariat Islam bagi kelompok-kelompok baru ini juga dipandang harus diterapkan secara tekstual dalam kehidupan bernegara.
Lalu bagaimana potret potensi radikalisme itu di Indonesia? Yang selalu membanggakan dari Indonesia kita ini adalah 72 % umat Islam menolak radikalisme. Meskipun begitu terdapat 0,4% “sudah radikal” dan 7,7 % yang “bersedia radikal” jika ada kesempatan. Jika dipoyeksikan dengan 150 juta pemilih muslim, 108 juta umat Islam tidak radikal. “Hanya” 600 ribu yang sudah radikal, dan 11 juta yang bersedia radikal.
Mungkin ada yang iseng bertanya bagaimana mengkatorikan mereka yang akan berdemo pada 4 Nopember 2016 yang sedang heboh itu: tidak radikal, radikal, atau bersedia radikal? Beberapa analis menyebut ada kelompok-kelompok radikal yang “ikut main”. Lainnya menyebut itu hanya fitnah dari kaum sekuler dan memusuhi Islam. Jawabannya pasti tak sesederhana yang dibayangkan.
Tentu saja hal yang menyederhanakan masalah atau asumsi yang dianggap tak berdasar jika kita “memvonis” mereka yang turun aksi itu selalu dikategorikan “radikal” atau “bersedia radikal”. Tapi pandangan yang mengatakan selalu ada kemungkinan jika mereka yang akan terlibat aksi nanti adalah mereka yang dapat dikategorikan “sudah radikal” dan “bersedia radikal”, menurut indikator survei ini, juga pandangan yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Hal yang bisa juga dianggap menyederhanakan masalah jika dengan mudah kita menyimpulkan mereka yang tidak ikut aksi berarti kelompok yang tidak radikal. Tapi saya ingin menutup tulisan ini dengan meyakinkan Anda semua bahwa wajah umum Islam Indonesia adalah orang-orang yang menolak radikal! []