Sebagai satunya satunya daerah yang menerapkan syariat Islam, masyarakat Aceh memegan teguh pada ketentuan hukum Islam yang berlaku. Otoritas kebijakan dalam masyarakat, sebagian dipegang oleh ulama yang setara dengan kedudukan pejabat pemerintahan, hal tersebut disampaikan dalam Qanun nomor 2 tahun 2009, yang mempertegas bahwa Majelis Permusyawarat Ulama Aceh, memiliki kedudukan yang setara setingkat DPR Aceh.
Keberadaan Qanun dalam masyarakat Aceh, disambut baik oleh sebagian kalangan, terutama bagi umat muslim selaku mayoritas. Eksistensi Qanun diharapkan memberi kemajuan, sehingga memperlihatkan agama Islam sebagai rahmatan li’alamin (rahmat bagi setiap orang). Akan tetapi belakangan ini Qanun yang diharapkan ramah bagi setiap kalangan, terutama non muslim yang posisinya sebagai minoritas, ternyata belum mampu untuk menjadikannya sebagai hukum yang mengatur setiap orang.
Sekelompok masyarakat yang berada di salah satu kecamatan Aceh Singkil, dikenal sebagai penganut kepercayaan Agama Parmalim, hidup di ambang kepunahan. Sebagai salah satu agama lokal di Indonesia, umat parmalim memiliki kedudukannya sendiri dalam mata hukum. Di masa diktator Orba, kepercayaan agama lokal semakin tersudutkan karena tidak dianggap sebagai agama resmi di Indonesia. Hanya lima agama yang dianggap resmi oleh pemerintah Indonesia, sesuai dengan undang undang nomor 1 tahun 1965. Namun bagaiamana kedudukan bagi umat agama lokal yang tidak termasuk di kelima agama tersebut, terlebih di Aceh yang memiliki produk hukum yang diberikan Indonesia untuk mengatur masyarakatnya.
Mengenal Agama Parmalim
Umat parmalim di Aceh Singkil, berasal dari masyarakat Toba, Sumatera Utara yang pergi mencari kehidup baru di tanah Aceh Singkil. Dengan jarak yang tidak terlalu jauh, masyarakat Toba yang sebelumnya memiliki kepercayaan parmalim, memunculkan kehidupan di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara. Agama Parmalim sendiri, dibawa oleh Raja Batak Toba, Sisimangaraja XII. Warisan kepercayaan ini bertahan hingga sekarang, teruma di provinsi Sumatera Utara, yang berdekatan dengan danau Toba, dan juga sebagiannya berekspansi di provinsi Aceh lebih dari 1 abad yang lalu.
Danau Paris, nama sebuah kecamatan di Aceh Singkil, di mana awalnya para penganut agama parmalim berkembang hingga sekarang. Gambaran kecamatan tersebut, memiliki suasan keberagaman yang begitu kentalnya. Walaupun indentitas mereka masuk sebagai warga Aceh, namun keyakinan masyarakatnya tidak terlalu didominasi oleh muslim. Data yang penulis di lapangan, menunujukan eksistensi parmalim, lebih diutamakan di sana, walaupun mereka adalah pemeluk keyakinan yang minoritas. Hal tersebut dikarenakan, nenek moyang mereka sendiri sebagai pemeluk agama parmalim adalah penduduk asli di sana. Bahkan terkadang dalam satu keluarga, mereka bisa memilik keyakinan agama yang berbeda beda.
Setelah keputusan MK tahun 2017, negara memberi peluang hidup bagi mereka penganut kepercayaan agama lokal. Mulai dari adminstrasi di instansi pemerintahan, serta pengakuan negara kepada mereka. Dalam konteks daerah, peraturan akan sedikit berbeda, terlebih Aceh sebagai daerah yang memilik peraturannya sendiri. Sebelumnya masalah agama lokal kerap tidak dihiraukan oleh sebagian orang. Bahkan di Aceh Singkil sendiri, pengetahuan masyarakat tentang umat Parmalim sangatlah minim, bagi mereka agama ini tidak pernah terlihat sebelumnya.
Di tahun 2015, sebuah Gereja dibakar di Aceh Singkil. Berita tersebut mencuat kemana mana, bahkan citra Islam di Aceh memburuk, dan kian tidak toleran. Output-nya di tahun setelah kejadian tersebut dirancang sebuah Qanun, tentang pembangunan rumah ibadah di Aceh, dengan harapan masalah tersebut tidak terulang kembali. Empat tahun setelahnya, masalah kian kompleks, ‘Bagai Api dalam Sekam’ sebuah judul terpampang besar di media CNN Indonesia. Rumah ibadah yang tidak kunjung dibangun, Qanun yang diharapkan mampu menyelesaikan masalah, ternyata menciptakan masalah baru bagi minoritas agama di Aceh.
Persolan rumah ibadah, ikut berdampak pula bagi pemeluk agama Parmalim di Aceh. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, sudah tak dianggap dampak negatifnya dari konflik pun mereka rasakan. Sebelum keputusan MK tahun 2017, baik lokal maupun nasional, proses administrasi sangat rumit bagi mereka pemeluk agama lokal. Kolom agama kosong, bahkan terkadang ditulis dengan agama yang bukan kepercayaan mereka. Setelah tahun 2017, masalah kian membaik dalam proses administrasi, walaupun ada sebagian masyarkat Parmalim masih merasakan diskriminasi dalam proses administrasi tersebut. Masalah tersebut belum sempurna, timbul masalah lain bagi mereka pada sulitnya merenovasi rumah ibadah sendiri. Hingga bangunan tua yang berpondasi kayu kian lusuh. Begitupun dengan pemeluk agamanya yang sudah tua renta.
Sebagai salah satu kepercayaan lokal, Parmalim berada di bawah wewenang Departemen Kebudayaan. Akan tetapi keleluasaan bagi mereka, seakan akan berada dibawa kementrian Agama. Bagaimana tidak, pada persoalan pendirian rumah ibadah saja, isu keagamaan diangkat sebagai antisipasi kejadian tahun 2015 di Aceh Singkil. Qanun nomor 4 tahun 2016, menjadi saksi bagaiamana persoalan rumah ibadah agama parmalim dijadikan sebagi objeknya. Sedangkan dalam konteks kedudukannya, parmalim berada dibawah wewenang Menteri kebudayaan dan pendidikan.
Hal tersebut disampaikan oleh salah satu tetua parmalim, Ropot Tumangger. Upaya pemerintah yang katanya menjaga kelestarian budaya lokal Indonesia, namun jadinya malah mempersulit rumah ibadah mereka untuk direnovasi. “Kita berjuang bersama merebut kemerdekaan, namun setelah merdeka kita tak dianggap sebagai warganegara”. Dengan suara bergetar karena umur sudah mulai tua, Ropot Tumangger masih menanyakan bagaimana keadaan rumah ibadah mereka hingga saat ini.
Hingga sekarang, sejak penulis melakukan riset agama parmalim ke Aceh singkil, keberadaan pemeluk agama parmalim kian berkurang, dan hanya menyisakan beberapa puluh KK saja. Walaupun keputusan Mahkamah Konstitusi tahunu 2017 memberi harapan hidup bagi pemeluk agama parmalim, keputusan bisa saja berbeda di setiap daerah di Indonesia. Seperti yang terjadi dengan seorang anak Sekolah Dasar, dimana kolom agamanya diubah dengan sengaja oleh pihak sekolah, dan hal itu disampaikan langsung oleh wali murid di selaku pemeluk agama Parmalim kepada penulis.
Sebagai sebuah negara yang memilik beragam budaya, agama, adat, Bahasa dan warna kulitnya yang berbeda, tidak layak bagi penduduknya untuk bersikap seolah olah kelompoknya saja yang disebut pribumi. Pemahaman sebagian orang, bahkan sekelas msayarakat yang berpendidikan, hal mendasar tentang keberagaman saja banyak yang belum mengetahui bagaiamana harus bersikap. Agama sebagai pondasi dasar kehidupan, bisa diharapkan mampu untuk mencerahkan setiap orang. Terkadang adanya tindakan yang mendominasi di sebagian orang, dimana sebuah prasangka bahwa dirinya lah yang paling benar. Dalam hal ini, agama bagi penulis paling sering dijadikan sebuah dominasai sosial.
Maka dari itu, penulis mengutip sebuah kalimat yang disampaikan oleh seorang Penulis Sosiologi Agama, Bernard Raho SVD dalam bukunya Agama dalam perspektif Sosiologi menyatakan bahwa, “Tidak ada agama yang Superior dan Inferior terhadap agama yang lain”. Kesimpulannya melihat sebuah masalah bagi agama parmalim di sini, menunjukkan adanya agama yang mengatur bahkan membatasi pada perkembangan agama lain. Walaupun negara tidak mengakui mereka sebagai agama, namun sebagai negara yang multikultural, perbedaan seharusnya bukan menjadi sebuah permasalahan. Perlu adanya kesadaran bagi setiap orang, baik penulis sendiri dalam menghadapi persosalan yang memang menunjukan salah satu ciri masyarakat Indonesia. Di mana berbeda beda, namun tetap bersatu