Berpuasa hukumnya wajib bagi semua orang Islam yang telah baligh, berakal, sehat, suci, dan tidak bepergian. Orang yang belum baligh karena belum mukallaf, tidak wajib berpuasa. Orang sakit atau bepergian boleh berbuka sebab ada udzur. Perempuan yang haid atau nifas boleh berbuka, bahkan jika berpuasa hukumnya haram dan tidak sah.
Perempuan menyusui (murdhi’) dan hamil, disamakan dengan orang sakit, dalam arti boleh berbuka. Karena bila terus berpuasa malah membahayakan diri sendiri atau anaknya. Perempuan yang sednag menyusui dan mengandung, membutuhkan gizi cukup. Kekurangan makanan dan minuman selam berpuasa dapat mengurangi kadar gizi atau air susu ibu (ASI) yang dibutuhkan dan itu pada gilirannyaakan membawa akibat kurang baik pada janin dan anaknya.
Berpuasa pada hakikatnya baik, tetapi karena dibalik sisi positifnya itu bagio perempuan hamil dan menyusui bisa berakibat negative, maka boleh ditinggalkan. Hal tersebut sesuai dnegan kaidah fikih yang berbunyi “daf’u al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-masalih”, bahwa menghindari mafsadah itu didahulukan dari pada mendapat mashlahah. Boleh berbuka bukan berarti bebas selamanya.
Puasa sangat penting dan mengandung hikmah yang besar: meningkatkan ketaqwaan, memperkuat solidaritas sosial, baik untuk kesehatan maupun yang lain. Karena itu, semua orangharus mengalaminya. Dengan demikian perempuan hamil dan menyusui harus mengqadha’nya sehingga janin atau anak tetap selamat, dan dia sendiri tetap sehat, serta merasakan manfaat dan faedah puasa.
Bagaimana solusi yang sangat bijak? Kalau berbukanya karena mengkhawatirkan janin atau anaknya saja, selain mengqadha’, dia juga harus membayar fidyah (denda satu mud per hari). Sedangkan mengqadha’ puasa dapat dilakukan kapan saja sebelum datangnya Ramadhan tahun berikutnya.
Jika sampai Ramadhan berikutnya belum mengqadha’, selain masih berkewajiban mengqhada’, harus juga membayar kafarah berupa makanan pokok (beras) sebanyak satu mud (sekitar 6 ons) perharinya. Jika Ramadhan berikutnya lagi masih belum, ditambah satu mud lagi, begitu seterusnya. Demikian keterangan dalam kitab Minhaj Ath-Thalibin dan kitab-kitab fikih yang lain.
Sumber: K.H. M.A. Sahal Machfudz, Dialog Problematika Umat, h. 147-148, Khalista, Surabaya, 2013.