Puisi Sukmawati Sukarnoputri yang berjudul “Ibu Indonesia” yang viral bekalangan ini dianggap telah menghina Islam oleh sebagian pihak. Memang, dalam bait puisi Ibu Sukmawati ada beberapa kalimat yang menyinggung tentang Islam. Bait tersebut tentang syari’at Islam, Adzan dan Cadar.
Dalam bait tentang adzan, Ibu Sukmawati mengatakan bahwa “suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok” dan “lebih merdu dari alunan adzanmu”. Kalimat itu benar-benar gamblang apa yang hendak ia bandingkan. Beliau membandingkan bahwa kidung Indonesia lebih bagus ketimbang suara adzan. Walaupun demikian, apa yang hendak beliau maksud dengan “kidung Indonesia” itu juga tidak gamblang. Apakah yang hendak beliau maksud dengan “kidung Indonesia” itu adalah syair-syair jawa, ataukah musik-musik tradisional milik suku-suku di Indonesia, atau yang beliau maksud adalah lagu kebangsaan “Indonesia Raya” yang selama ini kita jadikan simbol pemersatu keberagaman di Indonesia.
Dari situ, apa yang hendak Ibu Sukmawati maksudkan dengan “kidung Indonesia” tidak begitu jelas. Begitu pula dengan kalimat lain dalam bait puisi beliau. Seperti pada kalimat “Aku tak tahu Syari’at Islam”, dan kemudian beliau melanjutkan “Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah”. Dalam kalimat terakhir tersebut juga tidak begitu jelas. Entah apa yang dimaksudkan oleh beliau tentang “sari konde ibu Indonesia” yang menurut beliau lebih indah itu.
Lagi-lagi dari kalimat yang terakhir di atas kita juga belum mendapatkan kejelasan apa yang hendak beliau maksudkan. Jadi, bait-bait puisi yang beliau tulis dan bacakan di acara 29 tahun Anne Avantie Berkarya di gelaran Indonesian Fashion Week 2018 itu tidak jelas apa maksudnya. Walaupun demikian, jika ada pihak-pihak dari kalangan muslim tersinggung dengan isi puisi Ibu Sukmawati sangatlah wajar. Dibalik maksud makna yang kurang jelas apa yang hendak dimaksud oleh Ibu Sukmawati, kalimat puisi beliau itu memang sangat bernuansa SARA, seperti menyebut “kidung” lebih merdu dari pada suara adzan.
Kembali terkait pelaporan terhadap puisi Ibu Sukmawati ke Polda Metro Jaya. Terkait dengan permasalahan pemidanaan ekspresi seseorang yang menyinggung tentang unsur-unsur agama di ruang publik, perangkat hukum kita sangatlah tidak memadai. Sebagaimana kasus-kasus sebelumnya terkait ekspresi yang membahas agama di ruang publik, kasus puisi Ibu Sukmawati akan juga dijerat dengan pasal “penodaan agama”. Seperti yang kita semua ketahui, bahwa pasal “penodaan agama” itu adalah pasal karet. Dalam pasal tersebut definisi tentang apa itu “penodaan agama” sangatlah longgar. Padahal, seharusnya apa yang dimaksud dengan pasal hukum, batasan-batasannya haruslah jelas dan gamblang.
Dengan perangkat hukum yang masih abu-abu tersebut, mengadili ekspresi seseorang yang menyinggung tentang agama tertentu di ruang publik, sebagaimana puisi Ibu Sukmawati, sangatlah problematik. Seperti yang telah dibahas di awal-awal, walaupun kalimat dalam puisi Ibu Sukmawati mengandung unsur SARA, apa yang hendak ia sampaikan maksud dari puisi beliau juga tidak gamblang. Apa yang beliau maksudkan dengan “ibu sari konde Indonesia” dan “kidung Indonesia” juga tidak jelas.
Untuk mengadili puisi Ibu Sukmawati ini dengan perangkat hukum “pasal penodaan agama” yang tidak jelas apa batasan-batasan yang menodai agamanya, sangatlah problematik. Di satu sisi puisi Ibu Sukmawati bernuansa SARA, tapi di sisi makna yang hendak beliau maksudkan juga tidak jelas. Perangkat hukum kita tidak mampu membaca dua sisi dari permasalahan puisi Ibu Sukmawati. Perangkat hukum kita berkaca mata kuda, ia tidak mampu membaca sisi-sisi yang masih abu-abu ataupun gelap dari pernyataan seseorang di ruang publik.
Untuk kasus-kasus yang menyinggung agama tertentu di ruang publik, seperti kasus puisi Ibu Sukmawati, penulis lebih setuju persoalan demikian ini diselesaikan secara kekeluargaan, bukan hukum. Seharusnya Ibu Sukmawati juga menginsyafi bahwa bait-bait puisi beliau itu melukai masyarakat yang beragama Islam dan beliau hendaknya meminta maaf. Begitupun sebaliknya, kalangan muslim juga terbuka lebar siap untuk menerima permohonan maaf dari Ibu Sukmawati. Penyelesaian dengan metode kekeluargaan lebih efektif dari pada melalui ranah hukum (pasal penodaan agama yang terlalu longgar) untuk menyelesaikan permasalahan seperti ini.
Dari persoalan seperti ini, seharusnya memberikan pelajaran bagi kita semua bahwa ekspresi-ekspresi publik sangat tidak elok menyinggung unsur-unsur SARA tertentu, termasuk agama. Alangkah baiknya, di ranah publik yang kita perbincangkan adalah bahasa-bahasa publik, seperti kesejahteraan sosial, keadilan dan macam-macam kebijakan publik lainnya. Toh, dalam Islam juga diajarkan bahwa Allah tidak pernah menilai hambanya dari unsur primordialnya, akan tetapi Allah melihat hambanya dari sisi ketakwaannya. Wallahua’lam.
M. Fakhru Riza, Penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja