Karakter adalah anugerah yang dimiliki oleh setiap manusia yang hidup di muka bumi. Kenapa disebut anugerah? Karena setiap manusia memiliki karakter yang berbeda-beda, dan karenanya masing-masing memiliki keistimewaannya masing-masing.
Karakter menurut Pusat Bahasa Kemendikbud adalah “bawaan, hati, jiwa kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Karakter seringkali disamakan dengan kepribadian yaitu keseluruhan sikap, perasaan, ekspresi, dan temperamen seseorang.
Sikap, ekspresi, temperamen, dan perasaan itu akan terwujud dalam tindakan seseorang jika dihadapkan pada situasi tertentu. Setiap orang mempunyai kecenderungan perilaku yang baku, atau pola dan konsisten, sehingga menjadi ciri khas pribadinya. Dalam kata lain, setiap orang mempunyai default character-nya masing-masing yang membuat mereka nampak saling berbeda.
Imam Ghazali menganggap bahwa karakter lebih dekat dengan akhlak, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap atau melakukan perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi. Seperti misalnya ketika kita dihadapkan pada suatu masalah, ada ekspresi spontan yang muncul ketika masalah itu menimpa, mungkin bisa berupa amarah, ketenangan, tindakan yang bijak dan sebagainya. Semuanya spontan tanpa terpikirkan sebelumnya.
Membangun karakter individu dan masyarakat merupakan sebuah keharusan, karena bagian dari tugas kekhalifahan setiap muslim dengan cara ber-akhlak karimah. Tugas Rasulullah Saw untuk menyempurnakan karakter mulia dilandasi dengan kasih sayang. Beliau mencontohkan sendiri ajaran akhlak mulianya dengan empat pilar, shidiq, amanah, tabligh, dan fathonah. Dalam literatur modern, karakter positif biasanya dicirikan dengan sikap menghargai nilai normatif, menumbuhkan rasa percaya diri, kemandirian, keteguhan, dan kreatifitas.
Lalu apakah puasa bisa menjadi media pembentukan karakter manusia? Jawabannya, ya memang tujuan puasa adalah untuk membentuk dan memperbaiki karakter manusia menjadi lebih baik. Tentu kita tahu tujuan akhir berpuasa yaitu “la‘allakum tattaqun”. Menjadi manusia bertakwa memiliki efek samping yang baik di mana ia memiliki karakter yang baik, budi pekerti yang luhur dan akhlak yang mulia.
Untuk mencapai tujuan akhir berpuasa yang mulia ini tentunya dilalui dengan cara yang tidak sederhana. Puasa yang kita jalani sekarang ini seharusnya bukan hanya sekedar kegiatan menahan lapar dan haus saja, namun puasa dalam arti menjaga dan mengendalikan hawa nafsu.
Dengan kata lain, puasa yang dimaksudkan adalah mengendalikan diri dari sikap negatif, lalu masuk ke sikap positif, seperti jujur, disiplin, patuh pada aturan, melatih etos kerja yang tinggi, dan solidaritas pada sesama. Setiap tahun umat muslim berpuasa, asumsinya adalah semenjak aqil baligh ia sudah puasa penuh. Pertanyaannya adalah, pertama, apakah puasanya telah berdampak pada pembentukan pribadi yang baik?
Kedua, secara kolektif, apakah sudah ada dampaknya bagi bangsa? Pertanyaan pertama butuh instropeksi individu masing-masing. Jika seseorang berpuasa sementara pada saat yang sama ia juga berdusta, menggunjing dan mengadu domba, melihat dengan hawa nafsu, atau bersumpah palsu, maka puasanya berkurang maknanya, dan semakin jauh dari tujuan intinya, takwa.
Pertanyaan kedua butuh muhasabah nasional. Jika bangsa ini terus berpuasa, namun perilaku kolektifnya masih belum menunjukkan karakter sebagai bangsa yang baik, maka dapat dikatakan puasanya masih belum sampai pada nilai yang sesungguhnya, yaitu lagi-lagi takwa.
Baca juga: Apakah Orang yang Bertakwa Bisa Melakukan Maksiat?
Kenyataannya masih dijumpai fenomena menurunnya karakter individu maupun bangsa, dalam bahasa lain bisa disebut degradasi karakter. Indikatornya antara lain, meningkatnya kekerasan di masyarakat, penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, meningkatnya perilaku merusak diri, semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, semakin rendahnya sikap saling menghormati dan menghargai satu sama lain, membudayakan ketidakjujuran, dan adanya saling curiga dan kebencian antar sesama.
Pada akhirnya ketika seseorang ingin mencapai tujuan takwa, yaitu pribadi yang berkarakter, ia harus menyadari sepenuhnya bahwa puasa juga adalah upaya menahan diri dari hal-hal buruk yang bisa merusak kepribadian kita. Bulan Ramadhan adalah momentum, kapan lagi kita bersama-sama memperbaiki diri kalau tidak sekarang?