Sejak semakin menguatnya gerakan Islam politik pada Pilkada DKI Jakarta pada 2017 yang lalu—hingga saat ini—ada kecenderungan propaganda dan narasi kalangan islamis untuk mengajak semua muslim di Indonesia masuk dalam agenda persatuan umat Islam seluruh Indonesia. Narasi-narasi dan propaganda mereka dalam mengajak setiap muslim di Indonesia dengan berbagai keragaman corak keberislaman tersebut untuk masuk dalam agenda penyatuan umat tersebut sejujurnya adalah hanya untuk menutupi kepentingan mereka untuk kontestasi elektoral mereka saja.
Kepentingan-kepentingan politik dibalik narasi-narasi persatuan umat tersebut terlihat dari propaganda mereka yang sangat bernuansa sentimen identitas belaka. Mulai dari propaganda anti Cina, asing, hingga aseng. Dari konten-konten narasi yang mereka propagandanya tersebut sangat kentara nuansa gerakan Islamismenya. Gerakan Islamisme sendiri menurut seorang cendikiawan muslim Bassam Tibi (2016) menjelaskan bahwa gerakan islamisme tersebut tak lain hanya menggunakan legitimasi ajaran Islam untuk nafsu-nafsu politik mereka belaka.
Kembali kepada persoalan narasi-narasi persatuan umat Islam yang dipropagandakan kaum Islamis di atas. Narasi mereka soal persatuan muslim seluruh Indonesia di bawah panji bendera umat Islam mempunyai persoalan-persoalan dalam narasi yang mereka kemukakan tersebut.
Sebuah Inkonsistensi
Kontradiksi pada adagium mereka soal “persatuan umat Islam” terletak pada inkonsistensi mereka tentang istilah persatuan. Tidak pernah kita lupa, sponsor-sponsor utama gerakan Islamis sejak masa Pilkada DKI Jakarta yang lalu adalah juga pelaku-pelaku utama aksi kekerasan terhadap minoritas muslim di berbagai wilayah. Menjadi sebagai sebuah inkonsistensi jika pada masa saat ini mereka mengajak seluruh umat Islam untuk bersatu. Di pihak lain beberapa waktu sebelumnya mereka sendiri yang membasmi kelompok minoritas dalam Islam sendiri.
Selain itu inkonsistensi mereka juga terletak pada propaganda soal membela ulama’ dengan pendasaran hak asasi manusia (HAM) sebagai landasannya. Seperti telah kita semua ketahui bahwa selama ini yang paling tidak menghargai hak asasi manusia adalah mereka-mereka yang menjadi sponsor utama propaganda “persatuan umat Islam”.
Ormas sponsor propaganda “persatuan umat Islam” selama ini banyak menjadi inisiator aksi persekusi, diskriminasi bahkan kekerasan kepada kelompok minoritas. Padahal, jika kita konsisten berpatokan kepada hak asasi manusia (HAM), maka sepatutnya malah melindungi minoritas. Bukan malah sebaliknya.
Aspirasi Islam Politik
Dalam narasi dan propaganda “persatuan umat Islam” tersebut sangat begitu jelas konten-konten gagasan politik kaum islamis atau islam politik. Sebagaimana sudah dijelaskan di atas bahwa, pada dasarnya gerakan para islamis ini sebenarnya jauh dari ajaran-ajaran islam itu sendiri. Bahkan mereka hanya menggunakan islam sebagai legitimasi politiknya belaka.
Pada prinsipnya, ide tentang politik Islam yang mengusung gagasan kekhilafahan ataupun dalam bentuk paling ringannya adalah upaya untuk syari’atisasi perundang-undangan, merupakan sebuah ide politik dalam Islam yang sudah sangat purba sekali. Ide soal islamisasi ruang politik dan sosial tersebut mengacu kepada situasi dan zaman Islam di zaman klasik.
Padahal, situasi zaman awal Islam dengan zaman modern atau malah post-modern saat ini sudah sangat jauh berubah. Saat ini interaksi antar bangsa dan agama sudah tidak tegang seperti masa-masa awal Islam. Zaman awal Islam, situasi dunia masih dikuasai oleh model-model kerajaan dan kekuasaan gereja.
Maka tidak heran jika zaman itu agenda dakwah Islam zaman awal masih sangat kurang fleksibel dalam menyikapi segala persinggungan keagamaan. Berbeda dengan saat ini, dengan melesatnya modernitas, penduduk dunia saat ini sudah tidak dikotak-kotakkan dalam kerangka identitas agama. Akan tetapi, zaman ini setiap penduduk dunia diidentifikasi berdasarkan status kewargaan politik, bukan etnis, kebangsawanan, ataupun agama.
Dengan demikian, jika banyak kalangan muslim mengajak kembali kepada ide politik ala kaum islamis dengan bungkusan “persatuan umat Islam” yang merujuk kepada masa awal Islam, bukankah demikian itu adalah sebuah kemunduran gagasan belaka?
Sebuah Tawaran
Dengan adanya perubahan zaman dari era Islam klasik menjadi zaman modern bahkan post-modern, perlu adanya pembaharuan gagasan ide perjuangan umat Islam. Dengan situasi geopolitik dunia yang sudah tidak didominasi oleh gereja-gereja, umat Islam sebaiknya menginisiasi tercapainya pemeliharaan harkat dan martabat umat manusia dalam tata dunia yang baru saat ini.
Salah satu yang menjadi landasan dunia saat ini adalah penghargaan terhadap hak asasi manusia (HAM). HAM di sini merupakan sebuah ide yang menghargai setiap kehidupan privat setiap orang. Juga di sini termasuk menghargai setiap pilihan hidup mereka, baik pilihan kepercayaan, hingga pilihan politiknya. Posisi HAM dalam tata dunia baru saat ini sangat penting sekali. Saat ini HAM menjadi struktur dasar dalam mengatur hubungan antar individu di dunia saat ini.
HAM sendiri pada dasarnya sudah ada dalam Islam. Yaitu salah satu pasal dalam Maqoshid Syari’ah (tujuan-tujuan syari’ah). Dengan demikian, landasan baru perjuangan Islam dalam tata dunia baru adalah mewujudkan ajaran Maqashid Syari’ah untuk memelihara harkat dan martabat kemanusiaan.
Tawaran perjuangan melalui Maqoshid Syari’ah bagi umat Islam saat ini merupakan perjuangan dalam rangka menegakkan ajaran Islam dalam tata kelola dunia saat ini. Bukan malah sebaliknya, mengajak umat Islam bersatu untuk memperjuangkan ide politik para islamis yang sudah ketinggalan zaman tersebut. Dan tentunya juga sudah tidak relevan lagi. Wallahua’lam
M. Fakhru Riza, penulis adalah pegiat aktif di Islami Institute Jogja.