Program Makan Bergizi Gratis dan Kenapa Harus Ada Pengawasan Publik

Program Makan Bergizi Gratis dan Kenapa Harus Ada Pengawasan Publik

Program Makan Bergizi Gratis dan Kenapa Harus Ada Pengawasan Publik
Makan Bergizi Gratis (Foto: Melihat Indonesia)

Seseorang yang mengaku Cendekiawan sebuah ormas keagamaan, mengapresiasi pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (PMBG) dengan begitu berlebihan. Program ini bukan tidak bagus, melainkan terlalu ambisius.

Berkali-kali diujicobakan, lalu per 6 Januari 2025 ketok palu serentak dimulai, terbukti bahwa manajemen PMBG tidak memadai, ada banyak kejadian yang mestinya tidak terjadi, mulai dari menu makanan yang tidak sesuai, keterlambatan jadwal makan dan masih banyak lagi.

Persoalannya, selain ambisius, pelaksanaan PMBG ini tidak disertai perencanaan yang matang berikut berbagai pertimbangan yang harus menjadi catatan kritis sejak awal. Belum apa-apa banyak terjadi kasus penipuan mengatasnamakan banyak LSM dengan menjual PMBG bahkan sampai ke Desa-desa.

Sejumlah oknum tersebut menyasar ke Desa-desa dengan iming-iming akan mendapatkan gaji yang besar. Hal ini saja luput dari antisipasi, baru ditangani kalau sudah menjadi-jadi.

Skemanya memang tidak jelas. Mestinya Pemerintah tidak perlu terlalu ambisius. Indonesia ini Negara yang luas dan kompleks.

Mestinya untuk awalan, PMBG ini khusus diperuntukkan bagi anak-anak di pelosok-pelosok Desa yang rawan stunting dan gizi buruk. Tidak perlu pukul rata seluruh anak-anak yang mampu maupun yang tidak mampu.

Kebutuhan dapur-dapur umum dengan jumlah yang besar juga menjadi problem tersendiri. Mestinya lagi, serahkan dulu ke perusahaan cathering yang profesional terlebih dahulu, sambil berjalan proses untuk pengadaan dapur-dapur berbasiskan masyarakat.

Apakah nanti akan ada mekanisme pengajuan pendirian dapur umum yang baku, melibatkan BUMDes, pengadaan dapur di sekolah dan lainnya.

Belum apa-apa, PMBG juga bermasalah sejak dari anggaran. Belakangan santer bahwa anggaran PMBG akan diambil dari dana zakat.

Jelas-jelas ini program memang tidak siap sejak awal. Bukannya tidak boleh menggunakan dana zakat, melainkan pertanggungan Presiden Prabowo terhadap rakyat dengan janji-janjinya yang sangat melangit dan jangan sekadar omon-omon.

Santernya isu penggunaan dana zakat untuk PMBG, sudah dapat dipastikan karena APBN kedodoran, belum lagi ditambah isu kenaikan pajak 12%, bahkan sesumbarnya PMBG ini dibiayai juga oleh dana dari “hamba Allah.”

Inilah pentingnya pengawasan publik. Bukan lagi soal sinisme. Pengawan publik merupakan bagian kritik alamiah yang mesti ada dan dilakukan oleh civil society, terlebih oleh ormas keagamaan.

Sehingga ormas keagamaan jangan sampai kehilangan fungsinya, hanya sekadar membebek penguasa, ormas keagamaan yang justru mengobral puji-pujian laiknya penjilat. PMBG ini bukan program gampangan, sehingga perlu banyak persiapan dan pertimbangan.

Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah budaya korup orang-orang, terlebih pejabat di negeri ini. Bukan rahasia umum lagi, bayangkan saja anggaran PMBG per anak hanya sepuluh ribu rupiah saja.

Dari anggaran sepuluh ribu kalau turun ke daerah ke TKP masih ada sisa lima ribu rupiah saja sudah untung. Jadi jangan main-main dengan pelaksanaan PMBG, apalagi dilaksanakan dengan sembrono dan sebatas puji-pujian dari seorang Cendekiawan ormas keagamaan yang bukan ahlinya.

Belum lagi nanti setiap ormas keagamaan meminta jatah kepada Pemerintah untuk juga menjadi penyalur PMBG. Tentu saja ini bisa semakin bermasalah.

PMBG ini mesti dikawal terus, dan inilah sekali lagi, fungsi pengawasan publik yang harus berjalan.

Kalau kemudian ada angin-angin sinisme dari berbagai arah, jangan sampai kita terhempaskan oleh hanya angin sinisme, apalagi ia yang mengaku sebagai Cendekiawan ormas keagamaan.

Oleh karena itu, di sinilah pentingnya Presiden Prabowo bertanggungjawab atas program ambisiusnya ini. Agar perencanaan itu bisa diorganisir, pelaksanannya sesuai SOP dan kontrol yang ketat.

Kalau tidak demikian, PMBG ini hanya akan menjadi bencana bagi anak-anak Indonesia. Mereka hanya dijadikan batu loncatan para pejabat dan penguasa. Program ambisius yang amburadul, menu makanan yang malah tidak bergizi dan dipenuhi dengan korupsi. Nauzubillah.

 

Wallahu a’lam