Kotabaru menjadi saksi pagelaran konser musik bertajuk “Jazz Syuhada” yang diadakan keempatkalinya di Kotabaru, Yogyakarta pada Sabtu (29/10/2022). Festival yang lahir atas inisiatif berbagai ragam komunitas dengan latar belakang suku, agama, dan profesi yang beragam itu digelar untuk menjaga keharmonisan dan kehidupan yang inklusif di Kota Yogyakarta.
Dalam pembukaan festival, Prof. Amin Abdullah menyampaikan orasi budaya sekaligus mengawali rangkaian acara “Jazz Syuhada” yang rencananya akan selesai pada pukul 23.00.
Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) tersebut mengapresiasi inisiatif kerja budaya dari masyarakat Jogja yang tercermin lewat pagelaran musik di Kotabaru ini.
“kita patut syukuri bersama, ada ruang-ruang perjumpaan berbagai komunitas yang berbeda dari suku, ras, dan agama,” tutur Prof. Amin.
Ia melanjutkan bahwa Kotabaru merupakan wilayah yang istimewa karena terdapat the triangle of the sacred places, yaitu segitiga rumah peribadatan di Kotabaru. Ketiga rumah suci itu mewakili aura daripada inklusifitas Daerah Istimewa Yogyakarta.
“Apa triangle of the sacred places itu? Pertama adalah Gereja Katolik Santo Antonius Padua Kotabaru yang usianya sudah 96 tahun. Kedua adalah Gereja Kristen Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), usianya 76 tahun. Baru disusul ketiga Masjid Syuhada ini yang usianya 70 tahun.” Terang Prof. Amin.
“Kalau 70 tahun, saya 8 bulan lagi 70 puluh tahun. Berarti Masjid Syuhada ini seusia saya ini, jadi seharusnya sudah harus diperbaiki ya.” Lanjutnya dengan canda.
Selain karena merupakan wilayah perjumpaan berbagai aliran keagamaan, Kotabaru menjadi saksi sejarah peristiwa konflik dengan tentara Jepang di era kemerdekaan. Festival Jazz Syuhada digelar di jalan I Dewa Nyoman Oka. Ia adalah tokoh penting pahlawan Kotabaru tahun 1945. Pada bulan Oktober 1945, terjadi sebuah tragedi bernama Serangan Kotabaru akibat tentara Jepang yang tidak mau melepaskan senjata.
“Panitia Jazz Syuhada memutuskan untuk menyelenggarakan kegiatan di kompleks Museum Serbuan Kotabaru sebagai upaya mengenalkan sejarah Kotabaru, sekaligus juga untuk memudahkan menjaga jumlah kerumunan orang,” kata Aji Wartono, salah satu inisiator Jazz Syuhada seperti yang dikutip dalam liputan6.com.
Lebih lanjut, Prof. Amin Abdullah mengapresiasi bentuk interaksi lintas iman yang tidak hanya berkutat pada ranah dialog semata, namun bergerak lebih jauh, berkolaborasi menciptakan sebuah event musik dan budaya. Sebuah event yang menjadi ruang perjumpaan bagi warga Kotabaru, komunitas musik, sanggar seni, perkumpulan asrama mahasiswa daerah Yogyakarta, aktifis Masjid dan aktifis Gereja, civitas akademik, berbagai LSM, pemerintahan kelurahan Kotabaru, para pemerhati kebudayaan, serta aktifis perdamaian di Yogyakarta.
“Harapan kita adalah pemuda-pemuda itu akan bangkit meneruskan jiwa pemuda tahun 1928 itu lewat kerja media sosial. Tetapi yang pokok adalah mengadakan ruang-ruang inklusif, interaksi antar komunitas, membuka sekat-sekat perbedaan, dan dikembangkan dalam karya produk-produk kreatifitas seperti pertunjukan Jazz Syuhada sekarang ini.” terang beliau.
“Saya kira bukan festivalnya itu yang penting, tetapi interaksi antar berbagai komunitas itu yang harus diacungi jempol,” lanjutnya.
Anak-anak riang gembira di venue jazz syuhada 🙂 pic.twitter.com/p6C8DuGHf2
— Budhi Hermanto (@budhihermanto) October 29, 2022
Amin Abdullah kemudian menekankan slogan Jazz Syuhada “Merajut Keberagaman, Memperkokoh Kemanusiaan”. Ia menegaskan soal keberagaman yang sudah menjadi karakter Yogyakarta. Yogyakarta menjadi etalase bagi ratusan asrama daerah dari Aceh hingga Papua dan menjadi wadah bagi puluhan agama dan kepercayaan selain enam agama resmi negara. Yogyakarta juga menjadi tempat yang ramah bagi pondok pesantren dan banyak seminari sebagai lembaga pendidikan berbasis agama. Keberagaman itu menjadi semacam denyut nadi yang membuat Yogyakarta hidup.
Prof. Amin lebih lanjut menegaskan watak intoleransi yang cenderung melihat perbedaan sebagai sebuah ancaman. Karakter seperti itu yang harus direduksi, dieliminir, diedukasi, dan diliterasi. “Jadi kekayaan budaya dan agama dapat menjadi modal sosial dan modal kultural yang luar biasa mahal harganya. Namun, mengelolanya tidak mudah. Festival semacam ini adalah bagian dari pengelolaan itu.”
“Sekali lagi saya harus menggarisbawahi bahwa perhelatan Jazz Syuhada yang dimotori kaum muda menjadi contoh yang bagus untuk merawat kemajemukan, kebhinekaan, keummatan, dan keindonesiaan kita.” Pungkasnya.