Tulisan ini setidaknya menyasar pada dua kelompok masyarakat, yakni kelompok masyarakat terdidik Islam secara struktural, dan kelompok masyarakat yang paham islam namun tak mengikuti jenjang pendidikan resmi keislaman seperti pesantren atau lembaga pendidikan formal keislaman lainnya.
Jika anda adalah kelompok yang terdidik islam secara struktural seperti lulusan pesantren atau lulusan jurusan keislaman di Universitas Islam. Pernahkah anda melihat pembicara di media televisi maupun media sosial yang rasa-rasanya koq keilmuannya biasa saja, anda bahkan merasa bahwa anda lebih menguasai ilmu keislaman ketimbang orang tersebut, dan anda terheran sendiri kenapa si pembicara bisa mendapatkan akses (panggung) yang luas dan bahkan diterima oleh masyarakat?
Jika anda adalah kelompok orang yang paham Islam namun tak mengikuti jenjang pendidikan resmi baik di pesantren maupun universitas Islam, pernahkah anda merasa bahwa anda pernah mendengar pemaparan tentang keislaman yang bagi anda lebih sesuai dengan selera anda yang memahami Islam sebagai rahmatan lil alamin, namun yang anda temui di berbagai media justru mereka yang secara keilmuan menurut anda biasa saja dan kerap gagal menampilkan wajah islam sebagai rahmatan lil alamin?
Sebagai perbandingan, sepertinya perasaan heran yang sama terjadi pada musisi yang merasa bahwa musikalitasnya cukup bagus namun entah mengapa selalu saja yang mendapatkan panggung adalah penyanyi dengan musikalitas biasa saja atau bahkan rendahan. Atau jika anda penikmat, barangkali anda pun sama terherannya melihat seorang penyanyi yang sepertinya biasa saja namun kenapa selalu mendapatkan porsi pada pemberitaan di infotainment?
Kembali kepada persoalan keislaman, Khaled Abou el-Fadl menyebutkan bahwa dalam sejarah Islam, tidak pernah ada unit otoritas keagamaan yang memastikan bahwa agama tidak bisa memonopoli atau mengontrol ranah publik. Sebaliknya, agama atau representasi hukum syariat senantiasa dipaksa bersaing untuk mempengaruhi ranah publik lewat beragam cara.
Hal ini berbeda misalkan dengan agama Katolik dimana otoritas keagamaan dipegang oleh keuskupan atau gereja. Di Islam, kita tidak pernah menemukan lembaga semacam itu. Keberadaan MUI dengan dewan syariah yang kerap memberikan fatwa, Ormas NU yang memaparkan hasil Bahtsul Masail atau Ormas Muhammadiyah yang merilis hasil rapat Dewan Tarjih, semuanya hanyalah memberikan sebuah rekomendasi yang tidak mengikat bagi umat, khususnya umat islam di Indonesia.
Hal ini membuat ranah (panggung) keislaman di Indonesia menjadi sebuah panggung yang begitu terbuka. Siapa saja bisa mendapatkan panggung tersebut hanya dengan syarat dia mau dan cukup percaya diri untuk tampil. Apalagi ditambah dengan semangat untuk “menyampaikan walau satu ayat”.
Penulis yang lahir di tahun 80-an, setidaknya merangkum ada beberapa fenomena corak panggung keislaman yang pernah terjadi di negeri ini. Di awal 90-an ketika Nurcholis Madjid, Gus Dur, Quraisy Shihab dan lain sebagainya baru pulang dari pengembaraan intelektual mereka di luar negeri, panggung keislaman di negeri ini dikuasai oleh mereka yang memiliki wawasan keilmuan yang tinggi dengan pemaparan akan isi kitab-kitab yang selama ini asing bagi umat dan penyebutan tokoh-tokoh keislaman dari luar negeri.
Berlanjut di penghujung tahun 90-an, ketika umat sudah semakin gerah dengan kekuasaan Soeharto yang seolah abadi, panggung umat lantas diisi dengan Dai-Dai yang di atas panggung berani mengkritik Soeharto atau bahkan berani berbicara kotor terhadap Soeharto. Penulis masih mengingat ada sebuah tempat di Cirebon yang secara berkala menampilkan Dai-Dai semacam itu seperti Idrus Jamalullail, Abu Hanifah, Afifuddin dari Semarang, atau yang dari NU bisa kita sebut nama Manarul Hidayat.
Pasca reformasi, ketika masyarakat mulai lelah dengan segala keributan yang mengiringi kejatuhan Soeharto, panggung umat mulai diisi dengan Dai yang menebarkan kedamaian dengan jalan kembali melakukan introspeksi diri tanpa perlu melakukan dekonstruksi apapun terhadap lingkungan sosial. Maka kita mengenal nama Aa Gym yang mengajarkan umat untuk memperhatikan diri mereka sendiri lewat Manajemen Qalbu, Almarhum Arifin Ilham dengan dzikir, ataupun Almarhum Uje dengan konsep taubat nasuhanya.
Dan kini, di pertengahan 2019, kontestasi panggung umat semakin beragam. Ada Dai yang fokus berbicara politik, ada pula yang konsisten berbicara seputar keunmmatan, dan yang paling fenomenal –setidaknya menurut penulis- adalah Dai yang berbicara tentang “Pemurnian”.
“Pemurnian” yang penulis maksudkan adalah upaya yang dilakukan oleh para Dai untuk kembali kepada peri kehidupan di zaman Rasul serta para Sahabat. Kelompok yang gencar menyuarakan ini biasa menyebut diri mereka sebagai “Salafi”. Perkembangan mereka cukup signifikan di Indonesia ini. Selain karena mendapatkan dukungan finansial lewat kampanye Global Arab Saudi untuk menandingi kampanye Syiah dari Iran, kelompok ini pesat mendapatkan simpati masyarakat karena menawarkan sesuatu yang “seolah” tak bisa dibantah, yakni “kembali kepada Al-Quran dan Hadits”. Sebuah ajakan yang seolah mengindikasikan bahwa kita pernah melepaskan diri dari keduanya.
Kembali kepada persoalan otoritas, barangkali kemajemukan yang menjadi ciri khas di Indonesia membuat kita tidak bisa membuat seleksi khusus tentang siapa yang berhak mengisi panggung umat di negeri ini. Berbeda dengan Saudi Arabia ataupun Mesir, misalnya. Di sini, siapapun bisa mengisi panggung tersebut. Kita tentu ingat, bahwa Kementrian Agama pernah merilis daftar Dai dan Penceramah yang direkomendasikan oleh Kementrian, dan langsung diprotes ramai-ramai.
Maka satu-satunya cara untuk memfilter diri kita dari keragaman corak Dai tersebut (tentu kita tidak akan menerima semuanya begitu saja, kan?) adalah dengan memperkuat diri pribadi kita agar tidak mudah menerima begitu saja apapun yang disampaikan oleh seorang Dai pada jenis panggung apapun. Semuanya harus kita filter. Salah satu filter yang bisa penulis tawarkan adalah dengan melihat sanad keilmuannya. Karena perbedaan agama ini dengan agama lain ialah ketersambungan sanad hingga kepada Rasulullah SAW.