Sekitar seminggu yang lalu telah terjadi penolakan oleh Ormas Front Jihad Islam (FJI) atas diadakannya Bakti Sosial yang diselenggarakan oleh Gereja Katolik Santo Paulus Pringgolayan Bantul Yogyakarta. Menurut FJI, penolakan ini didasari atas adanya isu Kristenisasi dibalik agenda bakti sosial yang diadakan di lingkungan berpenduduk muslim.
Kejadian tersebut kemudian diselesaikan melalui jalur mediasi. Dengan mempertemukan tokoh-tokoh dari penyelenggara, pihak masyarakat, aparat keamanan setempat akhirnya diputuskan untuk membatalkan acara bakti sosial. Pihak penyelenggara pun menerima dengan ‘legowo’ demi keamanan bersama.
Meskipun persoalan di atas sudah diselesaikan dengan cara mediasi tanpa menimbulkan konflik fisik, akan tetapi persoalan tersebut masih menyisakan masalah tentang identitas kedirian kita dan ini yang sering muncul dalam kehidupan sehari-hari. Terkadang kita hanya memandang bahwa hidup di negara demokrasi, seperti Indonesia, masih mengklasifikasi atau menggolongkan ke dalam satu identitas sebuah komunitas.
Misalnya, orang yang beragama Islam di Indonesia dipandang sebagai umat Islam. Padahal kita bisa melihat lebih dari itu, umat Islam yang ada di Indonesia juga menjadi warganegara Indonesia, etnis Jawa, dan sebagainya. Salah kaprah dalam memahami identitas ini bisa berujuang adanya konflik seperti di atas.
Identitas Ganda
Pemahaman sepihak tentang identitas bisa menjadi pemicu timbulnya konflik. Apa yang dilakukan oleh Gereja Katolik memang didasarkan atas nama lembaga, akan tetapi apa yang mereka lakukan adalah sebagai bentuk wujud dari rasa tolong menolong sebagai sesama warganegara.
Meskipun dalih yang digunakan FJI untuk memberhentikan baksos adalah adanya isu Kristenisasi, akan tetapi hal itu dinilai tidak fair. Sebab, mereka hanya memandang dari sudut pandang tertentu saja tanpa memandang lebih jauh. Misalnya ormas FJI memandang bahwa umat Gereja juga menjadi warganegara Indonesia dan wajar saja jika mereka membantu sesama warganegara lain tanpa memandang apa agamanya.
Maka dari itu, kita seharusnya lebih bijak dalam melihat identitas seseorang sebelum menjustifikasi semua tindakan-tindakannya. Semua warganegara Indonesia memiliki identitas ganda. Misalnya, mereka yang kebetetulan beragama Islam juga sebagai warganegara Indonesia yang beretnis Jawa. Identitas ganda ini harus kita perhatikan lebih jauh. Sebab hal itu akan bisa mengantarkan kita pada pemahaman tentang keberagaman kita.
Amartya Sen dalam bukunya yang berjudul Kekerasan dan Identitas (2016) menjelaskan bahwa salah satu konflik muncul dikarenakan adanya sikap esklusif atau penonjolan terhadap satu identitas. Akan tetapi, di sisi lain Sen juga menunjukkan bahwa identitas bisa menjadi sumber kebanggaan dan kebahagiaan, yang mendorong tumbuhnya kekuatan dan kepercayaan diri.
Penolakan yang dilakukan oleh FJI timbul akibat adanya sikap esklusif dalam memeluk agama Islam. Mungkin serampangan jika menilai demikian, akan tetapi jika kita lihat beberapa kasus yang melibatkan FJI sejak berdirinya hingga saat ini kita bisa menilai tindakan-tindakan yang mereka lakukan berujung pada, apa yang dinamakan, radikalisme agama.
Meskipun anggota FJI juga menjadi warganegara Indonesia dan bercirikan etnis tertentu, akan tetapi identitas tersebut ditutupi oleh identitas keagamaannya. Akibatnya, pandangan mereka tentang identitas yang lain di luar diri mereka seakan-akan tertutupi dan menyebabkan adanya sikap menolak apa saja yang berbeda di luar diri mereka. Maka tidak heran jika mereka menolak adanya baksos dengan penilaian dari sudut pandang agama.
Oleh karena itu, Menyerang seseorang dengan menggunakan identitas yang berbeda adalah tindakan yang tidak etis. Sebelum kita menilai dan bertindak lebih jauh lagi seharusnya pertama kali yang dilakukan adalah melihat identitas dari diri kita sendiri. Identitas ganda yang kita miliki ini akan digunakan untuk menilai identitas ganda yang dimiliki orang lain. Jangan sampai kita menyerang atau menilai identitas orang lain dari sudut pandang yang berbeda. Identitas agama diletakkan dalam identitas agama, begitu juga dengan identitas kewarganegaraan juga kita letakkan pada identitas kenegaraan. Akhirnya kita akan memahami bahwa kesamaan identitas yang dimiliki akan mengantarkan kita pada pandangan hidup yang menghormati keragaman demi persatuan bangsa. Wallahhu a’lam.
Mujibuddin, penulis adalah pegiat di Islami Institut Jogja.