Bagi sebagian orang, berdebat telah menjadi bagian dari gaya hidup. Seolah hidup ini ada yang kurang jika tak mengisi hari dengan perdebatan yang entah kapan akan diakhiri. Padahal, berdebat ternyata justru membuat badan tak sehat. Ini bukan berarti kita tak boleh beda pendapat, tetapi, apakah harus semua perbedaan diakhiri dengan perdebatan?
Salah satu medan yang paling kerap digunakan untuk melakukan berbagai perdebatan belakangan ini adalah media sosial. Di medan ini, orang cenderung menjadi lebih galak, lebih garang dan lebih mudah menyerang. Ada banyak penelitian soal ini, salah satunya karena orang cenderung merasa lebih bebas melakukan apa saja di dunia maya dibandingkan di ‘dunia nyata’.
Majalah New Statesman pernah merilis hasil survey tentang reaksi dan dampak psikologis akibat berdebat di media sosial. Menurut survey itu, 60% responden yang semuanya berjumlah 385 orang mengaku jantung dan adrelanin mereka berdegub lebih kencang saat terlibat perdebatan online, 50% responden bahkan mengaku terpancing secara emosional saat debat berlangsung.
27,5% responden menyatakan bahwa frustasi adalah reaksi emosi yang paling sering mereka rasakan saat terlibat dalam perdebatan. Sementara 13,5% responden mengaku lebih menderita, mereka kerap dirundung kemarahan. Data ini terus berlanjut dengan ragam reaksi dan dampak psikologis dari perdebatan, dengan tak satupun dari data itu yang menunjukkan ada orang yang bahagia dengan perdebatan.
Salah seorang psikolog terkemuka, Dr. Dawn Barnley, bahkan menyebut bahwa perdebatan di media sosial bukanlah catharsis atau pelepasan energi negatif, justru –sebagaimana diungkap dari berbagai studi terkait—perdebatan di media online menimbun lebih banyak energi negatif.
Lalu, kenapa kita masih mudah terpancing untuk berdebat?
Salah satu sumbu untuk kobaran api perdebatan adalah prasangka. Sesuai dengan namanya, prasangka adalah sangkaan yang disematkan sebelum dilakukan pembuktian. Pada tahap tertentu, prasangka yang tidak segera dikonter dengan fakta akan menggumpal menjadi keyakinan buta; sebuah keyakinan yang tak boleh dipertanyakan, apalagi diragukan.
Dalam Islam, Allah berulangkali memerintahkan kita untuk menjauhi prasangka. Dalam QS Yunus:36 misalnya, Allah menegaskan bahwa “Sesungguhnya prasangka itu tak mendatangkan kebenaran apapun!” dalam ayat yang lain, di QS Al Hujurat: 12, Allah bahkan menyebut sebagian dari prasangka adalah dosa.
ياَأَيُّهاَ الَّذِيْنَ أَمَنُوْا إجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ (الحجرات 12)
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah memperbanyak prasangka, karena sebagian prasangka itu dosa.”
Tentang “sebagian prasangka” seperti disebut di ayat di atas, Imam Sufyan al-Tsauri menjelaskan bahwa prasangka ada dua jenis; dan hanya satu jenis saja yang termasuk dalam kategori prasangka yang berdosa.
Dua jenis prasangka tersebut adalah prasangka yang diungkapkan dan prasangka yang hanya disimpan di hati. Jenis prasangka yang pertama lah yang disebutnya sebagai prasangka yang mendatangkan dosa.
Meski begitu, bukan berarti kita diperbolehkan untuk menyimpan prasangka di dalam hati, sebab bisa jadi, prasangka yang diungkapkan berasal dari sangkaan yang telah lama disimpan. Karenanya, sudah seharusnya kita membersihkan diri dari berbagai jenis prasangka.
“Takutlah kalian berprasangka, karena ia merupakan sedusta-dusta perkataan,” demikian kata nabi sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi dari Abu Hurairah r.a.
Menghilangkan prasangka adalah langkah awal untuk menghindari perdebatan. Kita tentu boleh untuk tidak setuju dengan pendapat atau pandangan orang lain, tetapi kita tak harus memilih perdebatan sebagai jalur penyelesaian.
Silakan beropini, namun tetap dengan asas saling menghormati.