Tidak ada yang kebetulan dalam hidup, melainkan adanya hukum kausalitas (sebab-akibat) yang terjadi. Torehan prestasi Indonesia dalam Asian Games, mendapatkan 30 emas dengan bertengger di urutan keempat setelah Republik Rakyat China (1), Jepang (2), dan Korea Selatan (3), merupakan buah dari kerja keras seluruh elemen yang terkait. Para atlet Indonesia yang terlibat, mereka tidak hanya bekerja keras dengan berlatih dan bertanding secara sungguh-sungguh, melainkan berkorban waktu dan dirinya untuk mengharumkan Indonesia di ajang bergengsi se-Asia ini.
Begitu juga dengan pemegang kebijakan, mulai dari paling atas hingga paling bawah mereka bekerja keras untuk membuktikan bahwa Indonesia merupakan tuan rumah yang baik dan ramah. Meskipun harus diakui, perolehan emas terbanyak itu datang dari cabang olahraga pencak silat, dengan 14 emas, yang tidak masuk sebagai bagian dari olahraga yang dipertandingkan di Olimpiade.
Perihal inilah yang membuat negara Iran ini sempat memprotes kepada Dewan Olympiade Asia (OCA), yang menganggap bahwa dibukanya cabang ini justru memberikan peluang Indonesia untuk melampaui Iran. Apalagi, cabang olahraga ini, menurut Reza Salehi Amiri, Presiden Komite Olympiade Nasional Iran (NOC), cabang olahraga tersebut tidak dikenal dan hanya dipraktikkan oleh sekelompok kecil negara di Asia. Namun, protes itu ditanggapi dingin oleh OCA. Menurutnya dibukanya cabang tersebut merupakan bentuk keistimewaan Indonesia sebagai tuan rumah. Hal sama juga akan terjadi apabila Iran menjadi tuan rumah. Hal yang lazim juga dalam pertandingan-pertandingan yang lain, di mana tuan rumah memiliki kompensasi karena dianggap sudah bersusah payah untuk menjadi tuan rumah (en.mehrnews.com, 28 Agustus 2018)
Terlepas dari protes tersebut, Indonesia sebagai tuan rumah sudah bersikap jujur dan transparan dalam menyelenggarakan sejumlah pertandingan di Jakarta dan Palembang. Lebih jauh, munculnya cabang Pencak Silat yang mengharumkan nama Indonesia justru tidak hanya menguatkan kembali cabang ini sebagai bagian dari identitas keindonesiaan, melainkan juga memperkenalkan kepada publik dunia luas terkait dengan olahraga bela diri yang dilekatkan dengan negara asal. Dengan begini, setidaknya Indonesia bisa setara dengan negara lain, di tengah kehadiran dan popularitas sejumlah cabang bela diri. Misalnya, Muay Thai Thailand, Capoeira Brazil, Karate Jepang, Taekwondo Korea. Jauh sebelumnya, dalam aras Indonesian Pop (I-Pop), Pencak Silat sudah diperkenalkan dengan dalam industri film-film Indonesia, khususnya yang dimainkan oleh Iko Uwais. Keluwesan gerakan sekaligus benturan secara realitas melalui jurus-jurusnya merupakan daya tarik koreografi dalam industri film yang dapat menghipnotis penonton.
Kejayaan Pencak Silat Indonesia dalam Asian Games 2018 mengalami irisan bersamaan dengan kemunculan film Wiro Sableng: Pendekar Kapar Maut Naga Geni 212, yang tayang pada 30 Agustus 2018 di seluruh bioskop Indonesia. Sebagaimana diketahui, film ini berasal dari cerita dalam novel-novel stensil berseri, dikarang oleh Bastian Tito. Dalam novel tersebut, tidak hanya mengkisahkan tokoh-tokoh pendekar yang unik dengan nama-namanya, melainkan juga pelajaran moral mengenai kebaikan dan keburukan. Melalui novel ini juga, pembaca diperkenalkan dengan kekayaan khazanah pengetahuan lokal dan budaya Indonesia dengan latarbelakang silat sebagai tema utama. Mereka yang tumbuh awal tahun 1970-1990-an pasti pernah membaca kisah Wiro Sableng ini.
Jikalaupun tidak membaca, mereka setidaknya pernah mengenal nama tersebut, yang memiliki irisan percakapan mengenai pendekar yang suka cengengesan. Apalagi, pada tahun 1997, kisah Pendekar Wiro Sableng ini pernah dibuatkan seri sinetronnya. Karena itu, saat novel ini akan divisualisasikan ke dalam layar lebar, melalui kolaborasi rumah produksi Indonesia dengan industri hiburan terbesar Hollywood, 20th Century Fox, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang menunggu film tersebut.
Bangkitnya Pencak Silat Indonesia dan kemunculan film Wiro Sableng, menurut Carl Gustav Jung, pengagas psikologi analitik kelahiran Swis, dalam bukunya yang terbit tahun 1960, dengan judul Synchronicity: An Acausal Connecting Principle, sebagai sinkronisitas. Maksudnya dua peristiwa tersebut memang tidak berkait secara sebab-akibat melainkan sebagai peristiwa kebetulan yang memiliki makna. Sejak awal, film ini memang tidak diniatkan untuk menyambut Asian Games 2018. Sebagai tuan rumah, Indonesia juga tidak menyangka akan mendapatkan peraihan dalam cabang olahraga ini sehingga bisa menyapuh bersih hampir di semua nomor yang dipertandingkan, mengingat sejumlah atlet cabang silat ini dari Asia Tenggara, khususnya Malaysia merupakan lawan terkuat. Karena itu, sinkronisasi ini tidak hanya memiliki makna yang mendalam bagi masyarakat Indonesia, melainkan juga momentum yang tepat untuk mengartikulasikan secara luas apa yang saya sebut sebagai I-Pop.
Sebagai film dengan dana besar melalui kolaborasi, intervensi penceritaan, teknik pengambilan gambar, dengan latarbelakang musik pengiring, Wiro Sableng menjadi terlihat seperti film seri Marvel. Namun, dengan menggunakan skema pembuatan seperti ini, sebagai sebuah film hiburan, Wiro Sableng memiliki level kualitas yang jauh lebih baik sehingga memungkinkan untuk bisa diterima secara universal di negara-negara lain. Kesungguhan sekaligus totalitas tim film ini begitu terlihat dari semua aspek.
Di sisi lain, menanjaknya peraihan emas Indonesia, yang salah satunya disumbang terbanyak oleh cabang Pencak Silat menjadi bahan material yang tepat untuk menunjukkan diplomasi lunak (soft diplomacy) Indonesia melalui jalur I-Pop. Jalur industri hiburan melalui Korean Pop (K-Pop) inilah yang sebelumnya digunakan oleh Korea Selatan sebagai diplomasi lunak di tengah ekspansi industri teknologi dan perangkat kerasnya ke pelbagai dunia internasional agar diterima publik dengan ragam latarbelakang.
Namun, momentum sikronisasi I-Pop Indonesia ini tidak akan memiliki daya magnit yang kuat ke publik internasional jika tidak ada dukungan dari negara Indonesia, melalui jajaran pemerintahan, kementerian, ataupun institusi dan instansi terkaitnya untuk mempopulerkan dua hal tersebut secara luas ke panggung internasional. Sebelumnya, dalam pembukaan Asian Games, melalui tarian Ratoe Jaroh dan penampilan lainnya yang menunjukkan tontotan kolosal epik mengenai Indonesia melalui Insan kreatif Indonesia memang telah mengguncang dunia. Hal tersebut merupakan modal utama Indonesia dalam menginiasi I-Pop ke dunia internasional.
Di tengah itu, khususnya, usai perhelatan selama Asian Games ini, popularitas silat, salah satunya dengan film Wiro Sableng, seharusnya perlu diartikulasikan dan direproduksi lebih banyak. Ini karena, film-film tentang Silat merupakan jalan utama untuk menguatkan I-Pop yang sebelumnya sudah diperkenalkan oleh Iko Uwais melalui sejumlah film internasional yang dibintanginya.