Jika membaca sejarah nasionalisme dan agama secara kritis, kita akan menemukan fakta bahwa keduanya memang mempunyai potensi sebagai sumber tindakan intoleran. Baik nasionalisme dan agama cenderung tidak percaya, sehingga khawatir, terhadap hal-hal yang asing dan berbeda. Ini bukan khas negara-bangsa dan agama tertentu, melainkan fenomena umum di mana-mana.
Lebih dalam lagi, apa yang terjadi dengan nasionalisme dan agama pada dasarnya merupakan sifat kita sebagai manusia. Mau disangkal atau tidak, kita memang lebih suka berkumpul dengan yang sama. Butuh waktu untuk menerima yang asing dan berbeda menjadi bagian yang utuh dalam kehidupan kita.
Masalahnya, dari sejarah kita juga bisa melihat adanya usaha sekelompok orang yang selalu berusaha melakukan politisasi terhadap potensi intoleran dalam diri kita. Usaha mereka kadang berhasil, kadang tidak, tergantung imunitas diri dan kondisi-kondisi yang melingkupinya. Biasanya, dalam kondisi merasa kalah kita akan lebih mudah terpancing oleh politisasi itu.
Dan itulah yang terjadi saat ini! Di tengah angka kesenjangan sosial yang melebar, sebagian kita merasa kalah dan terpinggirkan dari persaingan. Mereka mengeluh. Dalam situasi ini, masuklah ajaran nasionalisme dan agama yang dibawa oleh sekelompok orang tadi sebagai seolah-olah obat bagi penyembuhan perasaan kalah tersebut.
Akibatanya potensi intoleran dalam diri kita meledak keluar. Ketika itulah intoleransi menjadi berbahaya. Kita akan menganggap kekalahan kita karena orang lain yang asing dan berbeda. Maka, orang lain yang asing dan berbeda itu harus dienyahkan agar kita kembali normal–seakan-akan kita pernah mengalami itu pada suatu masa yang entah.
Lalu, bagaimana cara mengatasinya? Apakah kita harus menyingkirkan nasionalisme dan agama dari kehidupan kita? Kalau iya, apa alternatifnya?
Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Jangan membunuh tikus di gudang beras dengan menembakan meriam. Jangan membuang bekas air cucian beserta wadahnya.
Sebab, dalam nasionalisme dan agama pula terkandung potensi toleransi. Keduanya seperti pisau. Ia bisa dipakai untuk membunuh orang yang tidak bersalah, tetapi juga bisa digunakan untuk memotong daging yang akan disate nanti sore.
*) Amin Mudzakkir, peneliti LIPI.