Manuver politik dengan menggunakan ayat-ayat Al-Qur`an sebagai alat untuk memuluskan kepentingan pribadi atau kelompok bukanlah barang baru. Hal itu yang kemudian dikenal sebagai politisasi ayat Al-Qur`an. Kitab suci, yang mulanya menjadi pedoman, diutak-atik dengan semaunya untuk memuluskan jalan dan menjatuhkan lawan. Kebenaran penafsiran tidak lagi dipedulikan. Kemudian, agar politisasi yang dilakukan berjalan mulus, suatu kelompok tak segan untuk memalsukan, atau bahkan mengarang, pernyataan-pernyataan yang disandarkan kepada Nabi (hadis).
Mulanya, penafsiran Al-Qur`an selalu disesuaikan dengan kebutuhan umat muslim pada setiap masanya. Sebagai contoh, di masa Nabi, penafsiran Al-Qur`an dilakukan oleh Nabi ketika para sahabat menemui kesulitan dalam memahami suatu ayat. Nabi sebagai mufassir pertama langsung memberi penjelasan terkait ayat yang dirasa sulit dipahami itu. Karena Nabi memberi penjelasan hanya ketika ada sahabat yang bertanya, tak heran jika tidak semua ayat Al-Qur`an ditafsirkan olehnya.
Contoh lainnya, ketika wilayah kekuasaan Islam telah merambah ke daerah-daerah Non-Arab, penafsiran Al-Qur`an dilakukan untuk menjawab kebutuhan akan makna kebahasaan dari kata atau istilah tertentu yang ada di dalam Al-Qur`an. Contoh kitab tafsir yang ditulis untuk menjawab kebutuhan ini adalah Ma’āni al-Qur`ān karya Muhammad bin Ali bin Sarah al-Ru’asi, guru dari Al-Kisa`i dan Al-Farra’. Keduanya juga menulis kitab tafsir dengan judul yang sama (Hussein Abdul Rouf, School of Qur`anic Exegesis, 2010; 29).
Namun, semua menjadi tidak asik lagi ketika penafsiran Al-Qur`an mulai terseret ke dalam percaturan politik. Pada konteks ini, penafsiran Al-Qur`an dilakukan bukan lagi untuk menjawab kebutuhan umat muslim secara luas, melainkan untuk memenuhi ‘kebutuhan’ kelompok tertentu. Mereka yang berkepentingan menggunakan ayat-ayat Al-Qur`an untuk memuluskan agendanya (baca: politisasi ayat).
Asal Usul dan Perkembangan
Telah disinggung di atas bahwa tidak semua ayat Al-Qur`an diberi penjelasan oleh Nabi. Karena itu, ayat-ayat Al-Qur`an sangat terbuka untuk dijelaskan oleh siapapun setelah Nabi wafat. Umat muslim berusaha mengkaji dan memahami kandungannya bi qadri thaqatil basyariyyah, sejauh kemampuan manusia. Pasca wafatnya Nabi, selisih pendapat di kalangan sahabat tidak bisa dielakkan. Meski demikian, selisih pendapat saat itu bukanlah masalah, toh, para sahabat berguru pada guru yang sama, yaitu Nabi. Ditambah lagi, mereka juga menyaksikan turunnya ayat dan terlibat langsung dalam persitiwa tertentu yang disebutkan di dalam Al-Qur`an.
Di penghujung era sahabat, perebutan kekuasaan antara kelompok Ali dan Muawiyah membuat selisih pendapat tak lagi sehat. Umat muslim terpolarisasi akibat konflik itu. Di sinilah awal mula ayat Al-Qur`an diseret ke dalam percaturan politik. Tepatnya ketika salah satu kelompok pecahan, yakni Khawarij, mengecam peristiwa tahkim menggunakan Q.s. Al-Maidah [5] ayat 44, dan melabeli lawan mereka dengan “kafir”.
Di samping terjadi polarisasi politik, peristiwa tahkim ini juga melahirkan aliran-aliran teologi. Tema-tema seperti kedudukan akal dan wahyu, status Al-Qur`an (qadim atau hadits), dosa besar, hingga kehendak manusia, menjadi materi perdebatan mereka. Semua saling mencari legitimasi dari Al-Qur`an untuk menguatkan pendapat masing-masing. Penafsiran sektarian mulai bermunculan. Kemunculan penafsiran sektarian ini tidak hanya disebabkan oleh kemunculan aliran teologi. Menurut Abdul Rouf, hal itu juga merupakan dampak dari polarisasi kelompok tradisionalis yang mempertahankan metode penafsiran menggunakan dalil naqli (Tafsir bil Ma`tsur) dengan kelompok rasionalis yang mengusung metode penafsiran menggunakan dalil aqli (Tafsir bil Ra`yi). Metode Tafsir bil Ra`yi sendiri baru muncul pada era Tabi`in (Abdul Rouf, 2010; 13).
Di era negara Islam dengan sistem monarki, politisasi ayat yang bukan lagi dimaksudkan untuk mendukung aliran teologi masing-masing. Di era ini, ada dua kemungkinan politisasi ayat dilakukan: Untuk mempertahankan kekuasaan, atau sebaliknya, untuk merebut kekuasaan. Pemimpin otoriter yang sedang berkuasa, menggandeng ulama agar mereka memberi legitimasi teologis bagi si pemimpin. Peran ulama dalam memberikan legitimasi teologis bagi penguasa inilah yang dinilai oleh Ahmet T. Kuru sebagai salah satu penyebab terjadinya otoritarianisme dalam dunia Islam (Ahmad T. Kuru, Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan, 2020; 72).
Di era modern, ketika sebagian negara mayoritas muslim mengadopsi bentuk negara bangsa (nation state), persoalan lainnya muncul. Di negara mayoritas muslim yang non-Arab, seperti Indonesia, kebutuhan untuk memahami pesan-pesan di dalam Al-Qur`an meningkat. Sehingga, dibuatlah terjemahan Al-Qur`an ke dalam bahasa lokal. Yang menjadi persoalan adalah ketika negara terlibat dalam proses penerjemahan dengan menerbitkan “terjemahan resmi”. Karena terdapat campur tangan negara, termasuk pendanaan proyek penerjemahannya, hasil terjemahan, yang juga melalui proses penafsiran, bisa menjadi alat untuk melanggengkan agenda negara (Fadhil Lukman, The Official Indonesian Qur`an Translation, 2022).
Baca Juga: Wabah Amwas, Perdebatan Kalam, dan Benih Daulah Umayyah
Potret Politisasi Ayat Al-Qur`an dalam Sejarah
Abdul Rouf menyebut penafsiran Al-Qur`an sebagai “senjata ideologis bagi kekuatan politik untuk mempertahankan maupun merebut status quo” (Abdul Rouf, 2010; 14). Sebagai hasilnya, politisasi ayat Al-Qur`an tidak dapat dihindari. Beberapa contoh yang disebutkan oleh Abdul Rouf dalam bukunya (Abdul Rouf, 2010; 55), antara lain:
Pada saat kesultanan Umayyah berkuasa, mereka menggunakan Q.s. Al-Baqarah [2] ayat 30 untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Di dalam ayat tersebut, terdapat kata “khalifah” yang jelas merujuk kepada Nabi Adam dan keturunannya (manusia). Namun, pihak kesultanan Umayyah justru mempolitisasinya dengan menafsirkan bahwa “khalifah” yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah para pemimpin mereka. Q.s. Al-Anbiya` [20] ayat 105 juga dipolitisasi oleh pihak kesultanan Umayyah. Frasa “hamba-hambaKu yang sholeh”, yang dinyatakan dalam ayat tersebut akan mewarisi bumi, mereka tafsirkan sebagai para penguasa dari kesultanan Umayyah.
Lawan politik Umayyah dari kelompok Syiah tidak mau ketinggalan. Mereka mempolitisasi Q.s. Al-Qadr [97] ayat 3 tentang malam Lailatul Qadar yang lebih baik dari seribu bulan. Dengan menggunakan pernyataan yang diklaim sebagai hadis Nabi, mereka menafsirkan kata “seribu bulan” sebagai “seribu bulan kekuasaan kesultanan Umayyah”. Melalui penafsiran tersebut, kelompok Syiah sedang berupaya menjelek-jelekkan lawan politik mereka.
Selain itu, mereka juga berupaya mencari legitimasi keyakinan mereka bahwa hanya Ali bin Abi Thalib yang berhak menjadi penerus estafet kepemimpinan umat Islam dari Nabi Muhammad. Mereka mempolitisasi Q.s. Ar-Ra’du [13] ayat 7, dengan menafsirkan kata anta dalam ayat tersebut sebagai Ali bin Abi Thalib. Padahal jelas bahwa anta yang dimaksud sebagai pemberi peringatan dan pemberi petunjuk bagi setiap kaum adalah Nabi Muhammad.
Abdul Rouf tidak menyebutkan contoh politisasi yang dilakukan oleh para penguasa dari kesultanan Abbasiyah. Ia hanya menyitir bahwa mereka menggunakan penafsiran Ibn ‘Abbas untuk melawan lawan politik mereka, yakni kesultanan lain yang berideologi Syiah. Penggunaan penafsiran Ibn ‘Abbas tak lain disebabkan oleh keyakinan bahwa penafsiran darinya ‘terjamin’ kebenarannya.
Baca Juga: Politisasi Ayat dan Hadis dalam Sejarah Islam
Praktek Politisasi Ayat di Indonesia
Di Indonesia yang masyarakatnya terdiri atas beragam agama, suku, dan budaya, yang semuanya memiliki hak setara dalam bidang politik, ayat yang berbicara tentang hubungan muslim dan non-muslim kerap dijadikan legitimasi untuk memuluskan agenda politik. Menurut catatan Fadhli Lukman, contoh praktek tersebut terjadi pada tahun 1954. Saat itu, salah satu ormas Islam, melalui majalah yang diterbitkannya, menggunakan Q.s. An-Nisa [4] ayat 144 untuk menghambat kandidat lawan yang berasal dari partai Kristen dan partai Komunis. Praktek serupa juga terjadi pada tahun 2017, kali ini Q.s. Al-Maidah [5] ayat 51 yang menjadi objek politisasi.
Ayat yang berbicara tentang relasi laki-laki dan perempuan juga menjadi objek politisasi. Pada tahun 1999, ketika seorang calon presiden perempuan maju, lawan politiknya menggunakan Q.s. An-Nisa [4] ayat 34 untuk mencegah perolehan suara masuk kepada calon presiden tersebut. Selain itu, ada juga kasus Al-Qur`an dan Terjemahnya terbitan Tim Departemen Agama pada masa orde baru. Di dalam edisi kedua, agar tidak bertolak dengan rezim yang sedang berkuasa, frasa akābira mujrimīhā dalam Q.s. Al-A’raf [7] ayat 123 yang berarti “pembesar-pembesar yang jahat”, diterjemahkan oleh Tim Departemen Agama dengan “penjahat-penjahat besar” (Islah Gusmian, Tafsir Al-Qur`an dan Kekuasaan di Indonesia, 2019; 264).
Meski tujuan akhirnya untuk kepentingan kelompok, beberapa contoh di atas kiranya masih melalui tahap pengkajian terlebih dahulu, yang oleh Fadhli Lukman disebut sebagai “model reflektif-interpretatif”. Ada model lain yang tidak hanya ngawur, tapi juga lucu, yang disebut oleh Fadhli sebagai “model cocoklogi”. Misalnya, Q.s. Al-Fath [48] ayat 18, yang berbicara tentang baiat orang-orang mukmin kepada Nabi, dipolitisasi untuk kepentingan partai ‘pohon’. Lawan politik dari partai ‘pohon’ itu juga tak mau kalah lucunya. Mereka menggunakan ayat tentang larangan Allah bagi Nabi Adam untuk mendekat ke pohon khuldi, agar rakyat tidak mendekat dan memilih partai ‘pohon’ itu. Lucu, bukan?
Bagi orang-orang yang bisa menimbang informasi, barangkali tidak susah untuk melihat adanya praktek-praktek politisasi ayat. Sehingga, mereka tidak mudah terpancing dan terserat ke dalamnya. Namun, apa yang terjadi pada orang-orang yang tidak memiliki kemampuan seperti itu? Selain menjadi kebingungan, mereka juga akan terpolarisasi, saling melempar narasi kebencian, dan kemungkinan-kemungkinan buruk lainnya. Pertanyannya, bisakah praktek politisasi ayat Al-Qur`an ini dihentikan?