Tahun 2017 sudah berlalu, dan sekarang kita sudah masuk tahun baru 2018. Perjalanan satu tahun lalu yang telah lewat, tentunya kita semua mempunyai kenangan masing-masing. Terutama tentang keberislaman kita.
Pada awal tahun 2017 yang lalu, ketika dilaksanakannya hajatan demokrasi di ibukota Jakarta, telah mempunyai dampak terhadap babak baru dalam perjalanan keberislaman dan perkembangan demokratisasi di tanah air. Tak perlu sungkan untuk kita sebutkan bahwa peristiwa Pilkada Jakarta yang lalu itu menandai semakin menguatnya penggunaan isu agama untuk kepentingan politik. Kampanye hitam, ajakan untuk tidak memilih calon gubernur non-muslim dan bentuk-bentuk kampanye sejenis yang lain.
Di awal tahun 2018 ini, walaupun angka tahun sudah berubah, tetapi peristiwa-peristiwa yang akan terjadi kedepannya tak akan lepas dari pengaruh peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam tahun yang lalu. Begitu pun terkait dengan perjalanan dunia politik kita kedepan yang akan masih sangat rentan disemarakkan dengan isu-isu agama yang dipermainkan untuk kepentingan politik.
Pilkada Serentak 2018
Pada tahun 2018 ini, kita akan menemui kembali hajatan demokrasi. Pada tahun ini akan digelar Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) serentak di beberapa daerah. Tentu, pilkada serentak yang akan digelar di beberapa daerah tersebut akan membawa dampak dan dinamika pada kehidupan berbangsa dan keberagamaan kita.
Pilkada Jakarta pada tahun 2017 yang lalu, sebagaimana kita ketahui bersama, isu agama menjadi alat yang ampuh digunakan untuk kepentingan politik kelompok tertentu. Hal itu dimulai dari demonstrasi yang diinisiasi oleh beberapa ormas Islam yang mempunyai agenda Islamisasi di Indonesia. Kelompok ini menggunakan isu agama (tolak pemimpin non-muslim) sebagai alat untuk melakukan mobilisasi massa. Dan kemudian aksi-aksi tersebut berlanjut hingga beberapa jilid, dan kemudian menjadi alat politik yang kuat untuk menghantam kelompok politik lain.
Dalam pandangan beberapa peneliti yang concern tentang Indonesia, dalam hal ini termasuk Martin Van Bruinessen, mengatakan bahwa ada fenomena yang menarik dalam perkembangan Islam kontemporer di Indonesia. Martin Van Bruinessen (2014) menyebutnya sebagai “conservative turn”. Fenomena ini berkaitan dengan menguatnya kecenderungan berislam masyarakat Indonesia yang mengarah kepada konservatisme.
Kecenderungan konsrvatisme dalam berislam masyarakat Indonesia sebagaimana yang disampaikan Martin Van Bruinessen di atas, menjadi penunjuk arah kepada kita untuk memahami kenapa sikap umat Islam Indonesia mudah terpengaruh terhadap kampanye-kampanye yang menggunakan simbol-simbol agama untuk kepentingan politik, sebagaimana yang terjadi di Pilkada Jakarta.
Reuni 212: Apa Proyeksi Kedepannya?
Setelah beberapa waktu lalu, alumni Aksi Bela Islam melakukan Reuni 212 sebagai kegiatan untuk memperingati satu tahun yang lalu dimana gerakan tersebut dimulai. Kegiatan reuni tersebut sebenarnya bertujuan untuk konsolidasi guna merawat gerakan agar tetap solid dan dapat digunakan untuk kebutuhan-kebutuhan selanjutnya.
Artinya, kelompok massa Aksi Bela Islam 212 yang pada Pilkada Jakarta awal tahun yang lalu efektif dan berhasil digunakan untuk kepentingan kelompok tertentu, terus dirawat melalui Reuni 212 pada beberapa waktu yang lalu. Kemudian, kelompok yang telah dirawat tersebut diproyeksikan untuk kepentingan agenda politik kedepannya. Dalam hal ini termasuk Pilkada tahun 2018 ini.
Politisasi Agama dalam Politik
Di Indonesia sendiri, persoalan isu agama yang digunakan untuk kepentingan politik ini memang seringkali menjadi persoalan yang terus memanaskan dunia politik. Isu agama yang di politisasi seringkali menjadi alat politik kelompok tertentu yang tidak mempunyai kepercayaan diri untuk bertarung secara jujur dan fair. Kemudian, isu agama menjadi alat mereka untuk menghantam pesaing politiknya, sebagaimana hal ini yang terjadi dalam Pilkada Jakarta yang lalu.
Persoalan politisasi agama ini selain memang menjadi permainan elit politik, di level ormas dan umat Islam sendiri isu tentang “Islamisasi politik” memang masih banyak berkembang. Hal ini sebagaimana yang telah disebutkan oleh Martin Van Bruinessen di atas, dimana ada kecenderungan umat Islam tanah air yang mengarah kepada “konservatisme”. Dengan kecenderungan masyarakat yang “konservatif” tersebut, isu agama memang mampu menjadi alat yang strategis digunakan untuk kepentingan politik.
Dalam kondisi yang seperti ini, sebenarnya sangatlah disayangkan, dimana agama hanya menjadi alat jualan politik saja. Dimana nilai dari kesakralan agama menjadi hilang. Terlebih lagi, pada dasarnya politisasi agama ini hanya menguntungkan pihak-pihak elit politik saja. Karena, isu agama yang dipolitisasi ini hanya menjadi jualan dalam pemilu saja dan tidak lain demi meraih kekuasaan. Pilkada DKI adalah salah satu contohnya. Wallahhu a’lam.
M. Fakhru Riza, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.