Pernyataan kontroversi mantan jendral TNI, Gatot Nurmantyo di masjid kampus UGM Yogyakarta Jum’at lalu (4/5) yang berbunyi “Sakit (hati) saya kalau ada yang bilang masjid dilarang untuk bicara politik”. (Tempo.co,4/5) membuat jagat dunia maya geger karena pernyataan tersebut sarat akan polemik serta menimbulkan berdebatan tersendiri bagi para netizen.
Salah seorang yang menanggapi pernyataan mantan panglima tersebut adalah politikus senior Partai Amanat Nasional (PAN) “Abdillah Toha”. Lewat akun twitternya @AT_AbdillahToha, dia memberikan komentar cerdas sekaligus pedas, komentar itu berbunyi “Maaf ngajari mantan panglima. Yang dilarang itu bicara politik praktis, jendral. Bukan ilmu politik. Supaya tidak ada masjid PDIP, masjid PKS, masjid Golkar dsb. Persamaannya begini. Bicara ekonomi di masjid boleh, tapi dagang di masjid dilarang nabi. sontak lewat tweet tersebut pak Abdullah Toha mendapat banyak mention serta kebanjiran like dari para netizen.
Melihat polemik politisasi masjid tersebut, akan sangat relevan jika disematkan pada tahun perpolitikan tepatnya menjelang pilkada 2018 serta pilpres 2019, akan ada banyak kemungkinan para politisi terus-menerus menyeret isu agama kedalam politik praktis. Dan salah satu instrumen adalah masjid atau tempat-tempat ibadah. Masjid pada akhirnya digunakan oleh kelompok tertentu untuk kepentingan-kepentingan politik kelompoknya.
Jika para politisi dan pemangku kebijakan mau jujur, sebenarnya sudah ada aturan yang melarang kampanye di tempat atau rumah ibadah. Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pada Pasal 78 huruf tertuang bahwa kampanye dilarang menggunakan tempat ibadah dan tempat pendidikan. Kemudian juga ada sanksi bagi yang melanggar, yakni pidana penjara paling singkat sebulan atau paling lama enam bulan seperti tertulis pada pasal 116 ayat 3.
Tetapi, kita tahu bahwa aturan tinggal aturan. Kerap kali ditemukan bahwa apa yang tidak boleh dilakukan, justru masih terus dilaksanakan. Sayangnya, pengawasan atau penindakan terhadap aturan tersebut tidak dilakukan secara tegas. Karena itu, bukan tidak mungkin penggunaan masjid untuk kampanye politik akan terus terjadi, meski mungkin dilakukan secara diam-diam atau terselebung, terlebih jika para politisi menggangap hal seperti itu halal-halal saja karena meniru Rasulullah SAW.
Jika ditelisik lebih lanjut kenapa para politisi suka menggunakan masjid dalam berkampanye jawaban sederhananya adalah masjid merupakan tempat paling potensial untuk tempat mencari suara. Selain biaya murah, juga efek yang ditimbulkan akan jauh lebih kuat. Masyarakat yang berada di masjid biasanya lebih mudah “dirayu” untuk memberikan dukungan dibandingkan di tempat lain. Lebih-lebih jika isu agama yang dijadikan alat rayuan, maka bisa dipastikan rayuan tersebut akan didengar sembari diamini oleh para jamaah.
Kasus pemanfaatan masjid atau tempat ibadah untuk kepentingan politik praktis sesungguhnya contoh nyata betapa masjid selayaknya dipisahkan dari politik praktis. Kalau tidak, yang akan terjadi adalah politisasi masjid itu sendiri. Masjid yang selayaknya digunakan untuk kegiatan-kegiatan keagamaan, justru diturunkan derajatnya menjadi tempat kegiatan keduaniawian (politik).
Jargon Cak Nur
Dalam konteks seperti ini masyarakat Indonesia perlu merefleksikan kembali jargon yang pernah digagas oleh almarhum Nurcholis Madjid (Cak Nur), jargon tersebut berbunyi “Islam Yes, Partai Islam No” dan ini sama jika saya analogikan dengan jargon “Politik Yes, Politisasi Masjid No. Jargon ini memberikan pemahaman bahwa sesuatu yang sakral jangan dicampuradukkan dengan sesuatu yang profan, singkatnya sesuatu yang agamis jangan dimanipulasi dengan sesuatu yang bersifat bisnis atau lebih jelasnya sesuatu yang sudah suci jangan sampai dikotori, apalagi kotor tersebut membawa barang najis, sudah kotor najis lagi.
Cak Nur beranggapan bahwa hal-hal yang bersifat duniawi memang sepatutnya duniawi, maupun sebaliknya, hal-hal yang bersifat ukhrawi maka sepantasnya memang harus ukhrawi karena mencampuradukkan antara yang duniawi dan ukhrawi berpotensi menimbulkan tahayul dan khurafat di kalangan masyarakat.
Cak Nur juga sering mencontohkan perihal antara sakral dan profan seperti keberadaan beduk di masjid. Beduk adalah produk budaya, karena itu bersifat duniawi. Umat Islam sudah selayaknya untuk memberlakukan beduk sebagai duniawi. Maka, jika ada masjid di sebuah tempat tidak memiliki beduk, tidak perlu dikata bahwa masjid tersebut tidak sempurna atau kurang ini dan seterusnya.
Hal ini berbanding terbalik dengan masjid. Masjid yang secara harfiah adalah tempat sujud, dan secara luas dimaknai tempat ibadah. Masjid memiliki dimensi sakral atau masuk dalam kategori ukhrawi. Oleh karena itu, sudah sepantasnya masjid diperlakukan layaknya sesuatu yang sakral atau berdimensi ukhrawi, tidak bijak jika disejajarkan dengan sesuatu yang bersifat duniawi begitu saja.
Kalau masjid yang bersifat sakral tersebut digunakan untuk kepentingan politik praktis, maka derajat masjid telah terdegradasi sedemikian rupa. Ia tak ubahnya seperti gedung-gedung atau bangunan pada umumnya yang bebas digunakan orang untuk kepentingan apa saja, termasuk kepentingan politik praktis.
Maka berpolitik boleh-boleh saja asal jangan mem-politisasi-kan masjid sebagai korbannya, karena masjid adalah rumah ibadah yang selayaknya harus kita jaga kesucian serta kesakralannya, agar masjid bisa menjadi rumah umat untuk menjaga perdamaian bersama.
Terakhir, disadari atau tidak, semenjak pilkada Jakarta tahun lalu banyak politisi yang memakai masjid sebagai ajang untuk ber-kampanye ria demi mendulang suara. dan itu terjadi dimana-mana, entah dengan latar belakang serta alasan apa saja, mereka para politisi telah ber-nafsu untuk menjadikan masjid sebagai tempat mencari suara. Fenomena yang sangat mengerikan, bukan? Wallahu a’lam.
Muhammad Taufiq, Mahasiswa Pascasarjana Konsentrasi Islam Nusantara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.