Masjid Seharusnya Menawarkan Ketentraman

Masjid Seharusnya Menawarkan Ketentraman

Jangan latah, seenaknya ceramah di bulan Ramadhan!

Masjid Seharusnya Menawarkan Ketentraman

Masjid menjadi tempat yang sangat penting dalam sejarah perkembangan Islam. Wajar jika nabi ketika hijrah ke Madinah yang dibangun pertama kali adalah masjid. Dikemudian hari kita mengenal ada tiga masjid yang memilki nilai historis cukup tua: masjid al-Haram di Makkah,  masjid al-Nabawi di Madinah, dan masjid al-Aqsha di Palestina. Masjid terus tumbuh dan berkembang di berbagai negara.

Bersyukur, perkenalan saya dengan masjid di masa kecil bertabur senyum, canda, tawa. Masjid tidak menjadi tempat angker dan menyeramkan meski religus sebagai tempat ibadah. Memasuki menjanjikan sejuta kemungkinan untuk sejuk, tentram, dan aman. Jamaah satu dengan yang lain saling memahami dan peduli. Berada di masjid terasa lebih dimanusiakan daripada ditempat lain.

Kini, masjid-masjid justru dipenuhi suara perbedaan (khilafiah) yang sebetulnya tidak penting untuk dibawa ke ranah publik. Apalagi jika jamaah yang mendengarkan belum siap. Urusan qunut, do’a dibaca keras, puji-pujian, shalawatan, slametan, rekaat tarawih, dan masih banyak lagi.

Terlebih lagi bulan Ramadhan dengan jadwal kultum yang padat. Ada saja orang-orang yang begitu gopoh mengangkat tema jihad, perang, khilafah, kejayaan Islam, propaganda, hingga perkembangan politik mutakhir.

Coba kita bayangkan, di masjid desa yang keseharian warganya bertani, mengurus ternak, berkebun, berjualan di pasar. Kemudian mereka rehat untuk sekedar mendapatkan “santapan rohani”. Tiba-tiba seseorang berdiri ke mimbar dan berceramah tetnang kondisi Islam di Timur Tengah, analisis ledakan bom (terorisme) yang menyudutkan Islam, pentingnya mendirikan khilafah, dan tema serupa.

Jika masih bersabar, mungkin ia akan tetap duduk dan tidur saja. Jika tidak, ia mungkin akan meninggalkan masjid untuk melanjutkan aktivitas sambil misuh-misuh.

Peristiwa lebih tragis diceritakan oleh Ahmad Solehudin dalam bukunya Satu Dusun Tiga Masjid (2007). Penelitiannya di dusun Gunung Sari, desa Sambirejo, kecamatan Prabanan, kabupaten Sleman, provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memberikan gambaran nyata bagaimana sebuah masyarakat bergerak secara dinamis dalam beragama.

“Pada tahun 1987 Gunung Sari hanya memiliki satu langgar untuk semua kegiatan Ibadah dan sosial. Pada kahir tahun 1987 langgar dibongkar oleh orang-orang yang mempunyai Islam berbeda dengan kami, untuk dibangun masjid. Tapi sayang mereka tidak pernah berembuk untuk pembangunannya bahkan pendanaannya ditanggung oleh rombongannya. Pembangunan masjid itu kemudian diikuti oleh pembangunan tiga masjid di Gunung Sari oleh kelompok lain lain yang berbeda.”

Kita bisa membayangkan bagaimana perbedaan-perbedaan yang terus meruncing tanpa menemukan titik temu bisa berimbas fatal: pembongkaran langgar dan pembangunan tiga masjid sekaligus dalam satu desa. Masyarakat awam yang kesehariannya tidak terlibat langsung tentu gamang untuk menerimanya. Apa yang terjadi, siapa yang benar dan yang salah.

Penelitian Ahmad Solehudin hanya satu contoh dari sekian banyak fenomena serupa yang terjadi juga di daerah lain. Dengan kondisi semacam ini masyarakat semakin kesulitan menemukan ketentraman di masjid-masjid. Terlebih lagi adanya kasus bom yang kesehariannya pelakunya terlihat aktif mengadakan kajian di masjid. Kita tidak memungkiri bahwa bahwa memang memiliki peran mencerdaskan umat.

Namun jika grusa-grusu, tanpa melalui tahapan yang benar, yang terjadi justru membingungkan umat. Terkait ini telah dibahas mendalam oleh Drs. Moh. Roqib, M. Ag dalam bukunya Menggugat Fungsi Edukasi Masjid (2005) juga dalam buku Sejarah Pendidikan Islam (2017) karya Dr. Muh. Misdar yang memberikan penjelasan gamblang bagaimana masjid menjadi pusat pendidikan dalam Islam.

Saat ini telah berkembang begitu banyak penyimpangan dalam beragama, perbedaan antar golongan yang terus diangkat ke permukaan, hingga puncaknya nekat bermusuhan hingga membunuh orang yang tidak sepaham dengannya.

Jika suatu masjid diibaratkan sungai besar, maka jamaah yang mengisinya adalah sungai-sungai kecil yang menambah debit air sungai besar. Jika sungai-sungai kecil itu dibendung dan airnya tidak bisa masuk ke sungai besar, ia akan membuat aliran sungai sendiri (seperti yang terjajadi di Dusun Gunung Giri dan daerah lain).

Namun sebaliknya jika aliran sungai kecil dibebaskan masuk dan sungai besar tidak bisa menampungnya, ia akan jebol dan bercerai berai (seperti yang terjadi belakangan ini).

Di sinilah peran penting nabi Muhammad di awal perkembangan Islam. Nabi tidak hanya menjadi sungai besar. Ia menjadi waduk pada waktu tertentu, menjadi danau pada waktu yang lain, menjadi laut pada kesempatan lain, bahkan menjadi seluas samudra yang mampu menampung semua orang dengan segala keunikan dan latar belakangnya.

Nabi akan membiarkan orang badui kencing di masjid Nabawi karena memang dia belum tahu. Nabi merelakan badannya berlumuran kotoran onta karena memang pelakunya belum mengenal indahnya risalah yang dibawa. Nabi rela mendamaikan kabilah, suku-suku, yang bertikai meski ia harus berkorbam banyak harta dan nyawanya terancam.

Nabi terus menerus menampung, menampung, dan menampung segala jenis manusia dan karakternya. Jika memang menemukan kerikil di antara beras, tidak perlu membuang semua berasnya. Cukup dibuang kerikilnya saja. Jika menemukan tikus di lumbung padi, tidak perlu membakar (meledaknya) lumbungnya, cukup tangkap tikusnya. Inilah yang membuat orang-orang saat bersama nabi merasa aman tanpa ancaman. Nabi menyadari tugasnya hanya menyampaikan risalah, sedangkan urusan hidayah bukan dalam genggaman kekuasannya.

Inilah pondasi yang harus digunakan setiap muslim dalam beragama dan menjadikan masjid kembali tentram, Tampunglah semua orang dengan wajah sejuk dan berseri. Doakan orang-orang dalam kesunyian ataupun keramaian. Jika memang harus mengajak, rangkullah ia dengan cara mauidhotul hasanah (bijaksana). Tidak perlu memaksakan kehendak karena urusan seseorang mendapatkan hidayah bukan kekuasaan kita. Apalagi urusan surga dan neraka, kita lebih tidak memiliki kuasa lagi.

Apalagi saat ini telah memasuki bulan Ramadhan, alangkah terpujinya jika kultum (ceramah) yang akan disampikan kita koreksi lagi, Apakah sudah mendamaikan, menentramkan, menampung jamaah yang ada sehingga mereka merasa aman? Jika belum, urungkan. Jangan latah, seenaknya ceramah di bulan Ramadhan.

Wallahu A’lam.