Dalam beberapa pekan terakhir, publik disuguhi sindir-menyidir elit politik. Dimulai 18 Juni 2022, Surya Paloh melontarkan diksi partai sombong. Tepatnya saat penutupan Rakernas Partai NasDem. Sang Ketua Umum menyatakan bahwa saat ini ada partai yang merasa hebat. Paling berkuasa. Ingin menang sendiri. Bagi Surya Paloh, gaya berpolitik yang sombong dan angkuh ini tidak perlu ditiru. Terlebih bagi kader NasDem.
Tak selang lama, 3 hari berikutnya, Megawati menimpali. Di depan Rakernas PDIP yang diadakan pada 21 Juni 2022, Ketua Umum PDIP itu tidak berkenan jika disebut partai sombong. Putri Sang Proklamator merasa tidak pernah menjelekan partai lain. Apalagi menjelekan ketua umum partai lain. Saling sindir dan baper ini, mengundang ragam tafsir. Berhari-hari berlarut. Hingga Surya Paloh membuat video singkat. Klarifikasi.
Setelah NasDem dan PDIP, publik diramaikan politik saling sindir antara Mbak Yenny dan Cak Imin. Bermula dari pernyataan Mbak Yenny bahwa ia bukanlah PKB Cak Imin. Tetapi tetap PKB Gus Dur. Pernyataan ini disampaikan seusai menghadiri acara di Kampus IPDN Jatinangor, 22 Juni 2022. Putri mendiang Gus Dur itu juga mengingatkan bahwa politisi yang elektabilitasnya rendah hendaknya tidak memaksakan diri untuk maju pada Pemilu Presiden 2024. Tak pelak, Cak Imin dan pendukungnya berang. Tidak tinggal diam. Bahkan saling berbalas di laman Twitter.
Menyimak sindir-menyidir dan baper-baperan ini, lantas manfaat apa yang didapat masyarakat? Di tengah kepanikan tata cara membeli Pertalite, harga bahan makanan yang masih merangkak naik. Di sisi lain, kesejahteraan petani tetap tidak mengalami perbaikan. Bahkan sebaliknya, harga jual gabah dan hasil panen lainnya dari petani cenderung tidak sebanding dengan biaya produksi. Belum lagi harus menghadapi perubahan musim ekstrim. Tidak dapat diprediksi seperti sebelumnya. Jangan-jangan, para elit di atas tidak mengetahui permasalahan nyata yang dihadapi masyarakat akar rumput ini? Sehingga asyik-masyuk dengan kepentingan masing-masing.
2 Pola Konflik Elit
Dalam perspektif komunikasi politik, saling sindir merupakan bagian dari konflik elit. Dalam tulisannya, “Tipologi Konflik Elit” (2018), Gun Gun Heryanto memetakan 4 tipologi konflik elit; simbolik, struktural-organisasional, instrumentalistik, dan legal-formalistik. Dua tipologi yang awal, menarik untuk melihat lebih lanjut dua konflik di atas. Pertama, konflik simbolik. Konflik yang dipicu oleh perang kata dan opini. Baik melalui media massa atau media sosial. Termasuk memilih diksi untuk menilai elit lain. Memberi label dan sebutan tertentu. Dalam hal ini, Surya Paloh memilih diksi partai sombong. Mbak Yenny memilih diksi PKB Gus Dur dan PKB Cak Imin. Diksi ini lantas saling direspon sedemikian hingga. Tentu, masing-masing merasa pihaknya yang benar. Seraya menilai yang lain salah paham. Dari saling sindir tersebut, target utamanya adalah untuk merebut kuasa.
Dari diksi partai politik sombong, diperebutkan kuasa atas status partai. Partai mana yang berpegang pada kesantunan politik. Sebaliknya, partai mana yang arogan. Masing-masing pihak tentu tidak ingin jika disimbolkan sebagai partai yang sombong. Dalam masyarakat ketimuran, sebutan sombong ini dapat menurunkan tingkat kepercayaan. Alam bawah sadar khalayak menganggap sifat sombong sebagai sifat yang buruk. Tidak jauh beda, diksi PKB Gus Dur dan PKB Cak Imin juga terdapat perseteruan kuasa. Mengingatkan luka lama di antara kedua kubu. Ketika diksi ini kembali dimunculkan, tentu emosi masing-masing loyalis tersulut ulang. Pola konflik simbolik tidak lain adalah bentuk rebut kuasa antar kepentingan elit.
Kedua, konflik struktural-organisasional. Adalah terkait adanya hubungan buruk di antara para politisi dalam memosisikan aktor-aktor utama di tubuh partai atau di lingkar koalisi. Mafhum bagi awam, bahwa hingga saat ini, baik Nasdem ataupun PDIP adalah dalam gerbong koalisi yang sama. Bahkan sudah dua periode, keduanya bersama. Ketika kini ada benih friksi, besar kemungkinan ada pemosisian yang dirasa kurang tepat oleh salah satu pihak. Selain itu, juga besar kemungkinan terdapat kekurangharmonisan untuk melanjutkan koalisi Pilpres 2024.
Pola konflik ini, lebih nampak lagi dalam konteks saling sindir Mbak Yenny dan Cak Imin. Keduanya adalah aktor utama dalam perseteruan internal PKB sejak 2005. Puncaknya, 14 April 2008, Cak Imin memecat Yenny Wahid sebagai Sekretaris Jenderal PKB. Kubu Cak Imin mengeklaim, pemecatan itu didasari laporan tim investigasi DPP PKB. Yenny Wahid dinilai terbukti melakukan tindakan indisipliner. Melakukan perbuatan yang mengancam keutuhan partai. Dari titik ini, tidak jauh berbeda dengan konflik simbolik, konflik struktural-organisasional hakikatnya adalah perseteruan kepentingan elit.
Lantas apakah politik sindir-menyindir, politik baper-baperan di atas ada kaitannya dengan kepentingan rakyat?
Semoga saja!