Intervensi saya melalui tulisan ini terkait polemik perihal pertambangan dengan segenap kompleksitas problem sosial lingkungan didalamnya saya letakkan dalam perspektif politik, lebih tepatnya kajian politik dalam kerangka realisme kritis. Dengan menggunakan pijakan disiplin politik terutama melalui pendekatan realisme kritis maka persoalan pertambangan dengan segenap serba-serbinya mulai dari isu perubahan iklim dan pemanasan global, implikasi pertambangan terhadap warga terdampak, pertambangan dan kesatuan ekologis bumi-manusia, serta isu aktual sehubungan dengan konsesi tambang bagi ormas keagamaan, bahkan isu pertambangan dan ketimpangan sosial menjadi bagian tak terpisahkan dari problem politik, relasi-mekanisme kuasa dan kepentingan maupun kerja dari institusi sosial dan pengetahuan didalamnya.
Apa Itu Realisme Kritis?
Segenap kompleksitas lapis demi lapis dari setiap dimensi ekonomi-politik ini menjadi pertimbangan untuk menentukan bagaimana setiap pengetahuan beroperasi beserta kepentingan ideologis yang tersambung didalamnya. Dari tinjauan politik tersebut kita dapat melihat bagaimana gambaran pertarungan sosial berlangsung terkait dengan polemik pertambangan dan problem lingkungan baik dalam skala dunia maupun yang berlangsung di Indonesia.
Pendekatan critical realism yang ditawarkan dalam tulisan ini tidak selesai dengan menjelaskan realitas pertambangan dalam hubungannya dengan relasi dan mekanisme kuasa dari bekerjanya tambang beserta kepentingan yang menggerakkannya dalam arena politik, lebih dari itu pijakan realisme dalam realisme kritis yang coba ditawarkan disini juga menampilkan bagaimana kita bertindak dalam pijakan realitas konkret yang terbentuk dari pertautan antara kepentingan, kuasa dan politik bagi proyek liberasi dalam hubungan antara manusia bumi dan tanah airnya.
Tradisi politik realisme kritis ini memiliki jejak dalam refleksi intelektual maupun langkah politik dari Machiavelli (sebagai pemikir civic-republicanism), Antonio Gramsci, Frantz Fanon maupun dalam aktivisme actual saat ini dilakukan oleh Vijay Prashad, Ajay Singh Chaudhary maupun Alexandria Ocazio-Cortez dan Bernie Sanders dengan program Green New Deals yang menuangkan langkah-langkah politik realis dalam semesta pertarungan sosial yang mereka terlibat didalamnya.
Dalam memahami pendekatan realisme dalam tulisan ini, tentu saya mengambil titik tolak yang berbeda dengan mazhab realisme dominan dalam studi Hubungan Internasional yang diinspirasikan oleh Thucydides maupun Thomas Hobbes yang menekankan bahwa pijakan agensi dalam melangkah dibatasi oleh kondisi status-quo kekuasaan yang menempatkan bahwa yang lemah harus menerima posisi yang kuat untuk mencapai kepentingan negara (entitas sosial) yang dibela.
Bertentangan dengan mazhab ortodoksi realis justru pendekatan realisme kritis bertujuan untuk membongkar assymetric power yang membentengi rezime pertambangan dan melihat tindakan politik konkret seperti apa yang secara aktual dapat dilakukan untuk melawannya.
Seperti diutarakan Ajay Singh Chaudhary (2024) dalam bukunya The Exhausted of The Earth: Politics in A Burning World bahwa sikap realis-kritis dalam politik setelah melakukan pertimbangan terkait siapa yang melakukan sesuatu bagi pihak mana dan kepentingan manakah yang diuntungkan dalam real politik, maka pemahaman terhadap pertarungan ekologis dan kondisi konkret yang berlangsung secara actual memberikan peta jalan atas horizon harapan bagi dunia yang lebih baik kedepan.
Seperti ilustrasi yang dilakukan oleh Martin Luther King Jr bahwa dalam perjuangan merubah negative peace (perdamaian negative) yang hadir dengan absennya ketegangan sosial menuju positive peace (perdamaian positif) yaitu perdamaian dengan hadirnya keadilan, dia memajukan sikap moral dengan pertimbangan serta langkah politik yang berpijak pada pertarungan sosial konkret yang berlaku saat itu.
Oleh sebab itu keterlibatan saya dalam diskusi ini tidak hanya sekedar bertujuan untuk merayakan perbedaan sudut pandang, dengan menjelaskan begitu banyak warna warni suara dan posisi terkait dengan isu pertambangan, perubahan iklim dan problem ekologis. Mengingat bahwa sekedar mengetahui adanya keragaman pendapat didalamnya tanpa melihat kepada siapakah narasi yang dibangun berpihak dan siapakah yang diuntungkan didalamnya, maka suatu polemis gagal menjadi suatu bagian dari perdebatan politik.
Terlebih lagi dalam konteks posisi civic-republicanism sebagai warga merayakan perbedaan semata-mata untuk merayakan perbedaan tidak cukup memadai dipandang sebagai aksi demokrasi. Sebab setiap pandangan yang tampil dalam ruang publik tidak bebas dari tendensi kepentingan, kekuasaan dan posisi ideologis.
Alih-alih menjadi manifestasi dari sikap demokratik, perayaan perbedaan demi perbedaan itu sendiri membuat penglihatan kita buram atas kabut asap yang menghalangi arah pandang terkait implikasi dari dominannya suatu pandangan ketika direalisasikan menjadi posisi politik dan kebijakan yang dapat mengeksklusi kalangan yang rentan, melanggengkan praktik kekuasaan yang eksploitatif maupun mendiamkan regularitas dari suatu sistem sosial yang akan mengarah pada kepunahan manusia, mahluk hidup dan alam seisinya.
Jelas ini semua bukan tujuan dari politik kewargaan maupun tujuan dari politik republikanisme menuju demokrasi yang kuat (strong democracy) atau common good dalam prinsip Katholik disebut bonnum commune atau dalam kajian fiqh Islam disebut maslahah-mursalah.
Mengapa uraian panjang lebar tentang pendekatan critical realis dalam kajian ilmu politik (yang sangat langka dibahas di Indonesia) ini penting saya kemukakan terkait dengan polemik soal tambang dan lingkungan hidup yang salah satunya dikemukakan oleh Mas Ulil Abshar Abdalla? Tentu bukan karena saya ingin pamer literasi bacaan dan keilmuan saya, atau menunjukkan kalau saya nggak kalah pinter dengan Mas Ulil yang mengelaborasi khasanah fiqh lingkungan yang begitu canggih diuraikan oleh Mas Ulil dalam artikelnya di facebook berjudul Soal Tambang dan Fiqh Lingkungan, tapi meminjam uraian Mas Ulil sendiri merujuk pada guru beliau KH Sahal Mahfudz ketika menggagas fiqh lingkungan bahwa fiqh sosial adalah fiqh yang didayagunakan untuk menjawab masalah-masalah sosial. Agar fiqh konvensional menjadi fiqh sosial maka fiqh harus dilengkapi dengan pendekatan multidiplin termasuk filsafat, sosiologi dan piranti keilmuan lainnya.
Tentu saja tradisi teori kritis, ekonomi-politik dan pendekatan critical-realism juga penting untuk dipertimbangkan. Mengapa demikian? Tanpa mempertimbangkan penjelajahan untuk membongkar bagaimana dunia bekerja dan kepentingan relasi kuasa dan mekanisme politik yang menubuh didalamnya, (dalam kasus ini persoalan pertambangan dan lingkungan termasuk terkait pertanyaan soal posisi siapa yang berkuasa dan diuntungkan dan posisi mana yang terpinggirkan dan dirugikan) maka kaidah-kaidah fiqh yang diterapkan dalam soal lingkungan alih-alih membawa kemaslahatan bersama yang terjadi adalah pelanggengan tatanan system relasi kekuasaan yang menopang bekerjanya bisnis pertambangan yang berimplikasi pada kehancuran peradaban manusia.
Dengan berbasis pada hal tersebut maka artikel Mas Ulil rentan termakan tujuan penulisan yang hendak dihantamnya sendiri, menjadi bagian dari ideologi relasi kuasa bisnis-politik (juga intelektual) untuk melanggengkan aktivitas pertambangan yang membawa kemudharatan mendalam di berbagai dimensi kehidupan baik pada tingkat dunia maupun di Indonesia.
Problem Fiqh Lingkungan ala Ulil
Untuk lebih mendalam lagi uraian kritik dalam artikel ini, kita perlu mengelaborasi sampai ke detail-detail argumentasi mas Ulil ketika mendemonstrasikan bagaimana kaidah-kaidah dalam fiqh lingkungan yang dia uraikan memberikan pembenaran perihal eksistensi bisnis pertambangan.
Seperti diutarakan dalam artikel Mas Ulil bahwa: pertimbangan dasar dalam menyikapi segala hal dalam soal mu’amalah, menurut saya, ada dua: (1) dalil al-istishab, yakni kebolehan segala sesuatu sebagai hukum asal; dan (2) kemaslahatan (al-maslahah al-mursalah). Tentu saja bisa ditambahkan dalil atau pertimbangan lain sebagai pendukung.
Pertama-tama, mari kita soroti perihal pertambangan dari dalil al-istishab (kebolehan segala sesuatu sebagai hukum asal). Tambang termasuk batubara dalam dirinya sendiri netral atau dalam Islam tidak diharamkan dan sesuatu yang tidak diharamkan maka boleh dilakukan. Sementara sesuatu yang halal bisa berubah menjadi haram karena sesuatu yang berada diluar dirinya, seperti pengelolaan tambang yang dilakukan dengan cara yang menimbulkan mafdasat (keburukan).
Saya mencium ada simplikasi dalam penjelasan mas Ulil perihal diatas. Apabila kita mengikuti alur penjelasan fiqh lingkungan Mas Ulil bahwa tambang dalam dirinya netral atau tidak haram, aktivitas diluar dirinya yang membawa keburukanlah yang membuat proses pertambangan menjadi haram.
Masalahnya dari penjelasan ini adalah bahwa dalam realitas tatanan sistemik kapitalisme yang saat ini bekerja maka tambang hanya memiliki nilai, sebagai nilai ekonomi ketika telah melalui proses ekspolorasi dan eksploitasi sehingga menghasilkan produk pertambangan yang selanjutnya menghasilkan uang melalui proses produksi, distribusi dan konsumsi dalam rangkaian yang terus berputar yang pendeknya disebut sebagai akumulasi kapital tanpa henti.
Memisahkan tambang dan pertambangan dan pemilahan antara tambang dengan pengelolaan yang baik dengan yang buruk, tanpa membincang bagaimana akumulasi modal dalam corak sistem kapitalisme ini bekerja dimana bisnis pertambangan adalah bagian fundamental didalanya merupakan sesuatu yang absurd!
Bagaimana saya bisa masuk pada kesimpulan diatas? Kita tidak perlu ndakik-ndakik menggunakan analisis kajian ecososialisme atau environmental marxism yang begitu tajam mengkritik kapitalisme untuk membongkar bagaimana operasi bisnis pertambangan akan menuju pada proses pemusnahan manusia dan makhluk hidup berskala planet, riset saintifik lebih dari cukup untuk membuktikannya.
Semenjak dekade awal abad ke-21 kalangan ilmuwan yang mengkaji bidang sistem ketahanan bumi memperingatkan bahwa laju kerusakan bumi telah melewati batas ketahanan bumi (planetary boundaries) yang menghasilkan perubahan iklim, penipisan lapisan ozon, pengasaman laut (atau penurunan Ph laut selama beberapa dekade akibat penyerapan karbon dioksida (Co2) dari atmosfer, disrupsi siklus nitrogen dan fosfor, berkurangnya supply air bersih serta kehancuran keragaman hayati yang membawa pada ancaman kepunahan ummat manusia (Johan Rockstrom et.al Nature 461/24 (2009); Will Steffen et al Nature (2015); Richard E Leakey and Roger Lewin 1996).
Seperti diuraikan oleh John Bellamy Foster (2020) dalam Capitalism in The Anthropocene salah seorang sarjana eknomi-politik yang memiliki concern terhadap persoalan lingkungan bahwa, berbagai macam ancaman terhadap sistem kehidupan di bumi ini berlangsung dalam era yang disebut sebagai Anthropocene. Suatu fase geological baru dimana kemanusiaan berperan sebagai penggerak utama bagi perubahan ekologi planet seisinya. Perubahan ekologi planet ini tragisnya mengarah pada suatu hal yang buruk, yakni ancaman kehancuran lam dan seisinya.
Suatu perubahan tatanan ekologi yang belum ada preseden sebelumnya dimana proses kerja dan aktivitas manusia secara reguler didalam tatanan kapitalisme yang terhubung dengan bisnis-militer kompleks mengarah pada percobaan bom atom dan nuklir semenjak tahun 1940-an sampai 1970-an sampai dengan pergerakan industri petroleum migas yang berlangsung semenjak era kolonialisme sampai saat ini.
Realitas yang muncul dari temuan saintifik ini dapat diperdalam ketika kita melihatnya dalam perjalanan historis konkret dari bagaimana bisnis pertambangan yang berlangsung dalam skala dunia maupun Indonesia.
Pada kurun waktu era imperialisme fase liberal di Indonesia, pendiri Republik kita Bung Karno (1930) dalam pledoinya yang menggetarkan Indonesia Menggugat telah menegaskan jauh-jauh hari betapa masuknya gelombang investasi asing dari negeri-negeri imperialis semenjak tahun 1870 telah membawa pada pengurasan sumber daya alam, eksploitasi kerja bagi rakyat Indonesia dimana terjadi transfer nilai ekonomi ke negeri-negeri imperialis dan kehancuran daya hidup rakyat.
Pola demikian tetap berlangsung pada Indonesia post-kolonial terutama semenjak era Orde Baru sampai sekarang pengerukan sumber daya alam yang besar terkait dengan pemberian konsesi lahan yang luar biasa bagi aliansi pebisnis-politisi yang dekat dengan kekuasaan telah membuat siklus mata rantai eksploitasi modal dan pengambilan profit berbasis perburuan rente yang berpijak pada bisnis pertambangan.
Bahkan tidak heran dalam berbagai peristiwa memunculkan bencana sosial maupun konflik yang mengorbankan warga berhadapan dengan aktivitas pertambangan yang dibentengi oleh negara.
Seperti tercatat oleh JATAM (Jaringan Tambang) bahwa selama tahun 2020 terjadi 45 konflik tambang yang mengakibatkan 69 orang dikriminalisasi dan 700 ribu hektar lebih lahan yang rusak. Seperti yang terjadi di Pulau Kodingareng, Makasar, Sulawesi Selatan. Dimana proyek reklamasi Makassar New Port (MNP) yang terhubung dengan penambangan pasir laut membuat warga sulit mendapatkan ikan tengiri yang biasanya mereka dapatkan 10 sekarang untuk dapat 1 per hari sangat sulit; demikian pula pertambangan nikel di Pulau Halmahera Timur, Maluku Utara yang membuat warga sekitar mengalami sesak nafas dan batuk darah, atau masih teringat di memori kita ekosida yang berlangsung akibat malpraktis eksplorasi tambang Lapindo di Porong Sidoarjo hampir dua puluh tahun lalu. ( https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-57346840)
Suatu pola aktivitas ekonomi dalam sistem kapitalisme yang diuraikan oleh David Harvey (2005) sebagai praktik akumulasi melalui proses penjarahan dimana konversi ruang sosial menjadi ruang ekonomi melalui proses perampasan tanah, aktivitas politik yang melibatkan negara dan berbagai macam bentuk praktik-praktik kekerasan kepada warga negara. Suatu mekanisme yang tidak berhenti pada fase awal pembukaan tatanan kapitalisme, tapi terus berulang seiring dengan tuntutan mengakumulasi kapital yang tidak henti yang membutuhkan penghancuran ruang-ruang sosial lainnya.
Uraian diatas bukan sekedar deklamasi getir sebagai bumbu artikel, tapi lihatlah data dari laporan OXFAM 2017 yang menegaskan bahwa ketimpangan sosial yang begitu tinggi dimana 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 50% kemakmuran dan 75% lahan berbanding dengan 90% persen mayoritas rakyat yang berebut 27% sisa kemakmuran di Indonesia.
Dimana sumber-sumber kekayaan tersebut berasal perjumpaan praktik neoliberalisme dan oligarki melalui sumber-sumber ekonomi dimana sektor ekstraktif khususnya pertambangan batubara, minyak kelapa sawit dan mineral menjadi sumber penghisapan kekayaan di negeri ini.
Kembali kepada dalil yang dikemukakan oleh Mas Ulil diatas bahwa ketika tambang dibedakan dengan pertambangan, sementara aktivitas pertambangan dalam corak tatanan kapitalisme secara menyejarah apakah masih yakin bisa dilakukan pengelolaan tambang yang membawa manfaat?
Lalu bagaimana status kemakmuran yang didapatkan dalam bisnis pertambangan ditinjau dalam fiqh lingkungan? Tanpa harus dijelaskan lebih panjang uraian dalil kedua mengenai maslahah mursalah, dimana dalam dalil yang dikemukakan bahwa dalam penentuan kemanfaatan, yakni Idza ta’aradlat mafsadatani ru’iya akhaffuhuma: jika ada dua tindakan yang sama-sama mengandung mafsadat (bahaya), dipilihlah tindakan yang paling kecil mafsadat-nya.
Mas Ulil menggunakan analogi ketika sebuah mobil yang remnya blong maka supir harus memilih untuk menubruk jurang yang akan menewaskan banyak orang atau membelokkan mobilnya kesamping dengan risiko menabrak seorang anak yang melintas.
Analogi tersebut juga berlebihan, mengingat apabila dianalogikan dalam kasus pertambangan, maka sudah jauh-jauh hari sang supir diingatkan oleh keluarganya agar membawa mobil ke bengkel untuk melakukan tune-up mobil sebelum mereka tamasya piknik agar mobil siap pakai menghadapi berbagai kemungkinan, sementara sang supir tidak mengindahkan peringatan tersebut.
Persis demikianlah yang terjadi dengan dunia kita dalam pusaran sistem kapitalisme dan problem anthorpocene. Sementara sudah demikian lama pula suara-suara untuk memperingatkan bahaya era anthropocene, dan hendaknya umat manusia bergegas menyiapkan diri untuk bergegas melakukan transisi energi dan mendorong perubahan atas bagaimana tatanan sosial-ekonomi bekerja bagi keberlangsungan bumi makhluk hidup dan ummat manusia harus berubah dalam corak yang lebih menekankan solidaritas dan melampaui tatanan untung-rugi, namun corak kekuasaan kita yang tersambung dengan aktivitas bisnis pertambangan enggan untuk mendengar dan berubah.
Tentu saya bependapat tidak ada yang salah dengan pendekatan fiqh terhadap persoalan-persoalan sosial termasuk tambang. Demikian pula saya berdoa semoga amal jariyah ilmu yang bermanfaat terus mengalir kepada KH Sahal Mahfudz Allahu Yarham yang membuka cakrawala lebih luas, bukan saja pada upaya membangun relevansi fiqh untuk menjawab problem sosial dan dialog antara figh dan khasanah ilmu modern.
Persoalannya terletak pada selubung ideologis yang muncul dalam argumen-argumen Mas Ulil ketika menguraikan fiqh lingkungan untuk membenarkan pengelolaan pertambangan, khususnya konsesi tambang kepada Ormas termasuk NU!
Pada bagian kedua akan saya jelaskan pertama soal argumen teologis liberatif yang pro ekologis untuk menjadi pembanding bagaimana teologi seharusnya membahas dan menempatkan posisi eprihal tambang, serta bagaimana bias ideologi dari kalangan climate denial maupun right wing climate realist membentuk konstruksi berpikir Mas Ulil ketika menguraikan fiqh tambang, dan penelusuran terhadap gagasan mainstream idelogis yang bertaut dengan kepentingan dan kekuasaan dari rezime-rezime kanan jauh di seluruh dunia.