Debat Pilpres ketiga (7/1/2024) tampaknya menjadi tontonan paling epik dari dua rangkaian debat sebelumnya. Ini bukan saja tentang dinamika yang terjadi sepanjang acara debat, tetapi juga mengenai dampak digital yang ditimbulkannya.
Di media sosial, algoritma percakapan konten penuh dengan narasi Capres Anies Baswedan yang dianggap melakukan serangan personal terhadap Capres Prabowo Subianto. Juga, Capres Ganjar Pranowo dianggap melakukan finishing dengan paripurna ketika ikutan mendebat sejumlah kebijakan Prabowo selama menjadi Menhan.
Tangis pun pecah. Di platform Tiktok, puluhan atau mungkin ratusan akun mengunggah gambar bergerak dengan tumpahan air mata Gen Z sebagai diskurusus utamanya.
Pesan yang ingin disampaikan melalui konten itu adalah mereka turut berbelas kasihan kepada Prabowo yang malam itu babak belur secara argumen dan performa dalam debat Pilpres.
Barangkali situasi ini terlampau absurd bagi generasi 90an–atau yang lebih sepuh–yang masih bisa kritis kepada siapa simpati dan empati itu secara akurat dialamatkan.
Generasi Z agaknya punya kecenderungan yang unik. Tanpa bermaksud mengesampingkan potensi mereka di masa depan, tetapi beginilah realitas (maya) yang terjadi.
Validasi adalah salah satu kata kunci penting untuk memahami generasi hari ini. Nalar kritis pada gilirannya berada di titik kritisnya. Agaknya orang kini lebih suka dipahami perasaannya ketimbang diuji atau dievaluasi.
Maka tak heran jika sejumlah atau mungkin kebanyakan Gen Z bisa dengan mudah menangisi orang yang punya kendaraan super mahal bernama Partai Gerindra, daripada membelas-kasihani diri sendiri yang kalau beli barang di marketplace masih mengandalkan layanan promo, baik yang bersifat live, flash sale, pre-loved, atau apapun itu.
Tapi begitulah algoritma media sosial, terutama Tiktok, bekerja. Konten-konten edukatif bisa begitu saja terkubur oleh jogat-joget warganet.
Konsumsi berlebih terhadap konten-konten nir-substansi itu telah mengkonstruk cara berpikir kebanyakan orang. Persona Prabowo yang tempramental dan emosional telah dimediasi (mediation) melalui Tiktok sedemikian rupa sehingga lahirlah citra baru Parbowo Subianto yang gemoy dan suka joget. Juga, terhadap Gibran yang direpresentasikan sebagai ideal anak muda sukses, lepas dari fakta bahwa dia anak Presiden dengan segala privilisnya.
Paslon Prabowo-Gibran dengan tim kreatif digitalnya tampaknya paham betul bahwa kita berada di era yang oleh Jose van Dijk sebut sebagai platform society, dengan Tiktok sebagai medan tempurnya utamanya.
Pasal “Asam Sulfat”, misalnya, bagi sebagian warga Facebook, Instagram, dan Twiiter, itu mungkin adalah blunder besar karena Gibran tampak tidak sensitif terhadap kelompok perempuan dan anak. Kok bisa ada Cawapres yang melalui (dua kali) pernyataannya justru ingin meracuni anak-anak bangsa.
Sebaliknya, bagi pendukung Paslon Prabowo-Gibran yang nalar kreatifnya di atas rata-rata, peristiwa “asam sulfat” adalah peluang yang bisa dipoles sedemikian rupa sehingga menjadi personal branding untuk mendapat simpati publik. Maka muncullah “Samsul” dengan segenap meme dan kelucuannya.
Dengan logika yang sama, kita harusnya tidak perlu terkaget-kaget jika kekalahan telak Prabowo dalam debat Pilpres ronde ketiga dirayakan dengan penuh duka cita oleh pengguna Tiktok.
Alih-alih berfikir realistis, tak berkutiknya Prabowo justru dituding sebagai dampak dari serangan personal. Mereka kayaknya telah (dibuat) amnesia dengan apa yang dilakukan Gibran kepada Muhaimin pada debat sebelumnya.
Kalau mau jujur sebetulnya Gibran jauh lebih brutal karena merendahkan lawannya dengan memberi singkatan yang tidak populer, kemudian menutup sesi itu dengan klaim bahwa pertanyaan yang diajukannya terlalu sulit untuk Cawapres seperti Muhaimin.
Yang lebih bikin geleng-geleng adalah program atau janji kampanye makan siang dan susu gratis. Sekilas ini memang tampak renyah bagi kelompok remaja. Promosi terhadap program makan siang dan susu gratis bahkan dilakukan dengan sangat masif di berbagai media, serta melibatkan public figure papan atas.
Orang lalu dibuat tergiur dengan dua hal primordial, tanpa memedulikan atau setidaknya sedikit peduli terhadap dampak ekonomi-politik dan enviromental berkepanjangan yang ditimbulkannya.
Di media sosial, terutama Tiktok, program makan siang dan susu gratis diselebrasikan dalam produk marketing yang dapat menarik minat Gen Z. Dalam balutan Artificial Intelligence (AI), Prabowo dan Gibran (di)tampil(kan) dengan karakter animasi dan narasi gemoy-nya.
Tidak ada sama sekali logika bahwa susu gratis berarti populasi sapi (jenis) perah akan meningkat. Parahnya lagi, peningkatan populasi itu rupanya diwacanakan dengan mengimpor jutaan sapi dari Brasil dan India.
Padahal, selain tidak ramah (baca: merugikan) peternak lokal, surplus populasi Sapi berisiko memperparah dampak lingkungan sektor peternakan berupa peningkatan emisi gas rumah kaca. Ini belum termasuk ongkos penyakit yang dibawa oleh pengelolaan Sapi (impor) jika tidak benar.
Si Paling Korban
Kini, publik Tiktok seolah dibuat lupa oleh dosa sosial Paslon 02, baik dalam kasus penghilang-culikkan aktivis maupun dinasti politik. Diakui maupun tidak, setrategi pencucian karakter melalui platform Tiktok ini sangat signifikan.
Orang lalu bisa sangat nothing to lose memilih Prabowo-Gibran karena citra gemoy-nya. Karena itu, segala peristiwa atau perilaku yang dapat meruntuhkan imej ke-gemoy-an akan dianggap sebagai tindakan tidak tahu rasa kasihan, dengan Prabowo sebagai korban yang dirugikan.
Orang juga menormalisasi respons emosional Prabowo pasca debat. Apalagi Prabowo-nya sendiri tampak susah move on dari kejadian malam itu di Istora Senayan.
Puncaknya adalah kata “gobl*k”, yang dalam konstruksi sosial punya konotasi negatif, kini memiliki makna heroisme baru. Dan, sekali lagi, ini kebanyakan terjadi di semesta Tiktok dengan populasi Gen Z yang preferensi saintifiknya adalah platform society.