Hanafi Rais, politisi dan Sekretaris Badan Pemenangan Nasional (BPN), mengatakan saluran perlawanan atas ketidakadilan yang hanya bisa digunakan sekarang hanyalah Agama, khususnya Islam. “Sekarang ini platform yang satu-satunya bisa memberikan saluran perlawanan adalah Islam atau agama,” ujarnya.
Pernyataan ini menarik untuk didiskusikan lebih dalam, sebab benarkah agama, terkhusus Islam, mampu menjadi medium perlawanan terhadap ketidakadilan.
Dalam pernyataan Hanafi ini terkesan mengkonfirmasi nilai progresif yang dikandung dalam agama Islam. Sebelumnya, hal ini sudah banyak dikupas oleh beberapa pemikir muslim di masa lalu, seperti Hassan Hanafi dan Asghar Ali. Menurut saya, omongan Hanafi Rais bahwa Islam bisa dijadikan medium perjuangan melawan ketidakadilan melalui jalan politik, hal sulit untuk diwujudkan jika menelisik kondisi sosial politik umat Islam saat ini.
Contoh paling dekat, bisa kita lihat sendiri dalam aksi 212 yang dianggap sebagai representasi keberhasilan umat Islam menjadi “arus besar” dalam politik Indonesia. Dalam sudut pandang saya, Islam masih gagal menunjukkan keberhasilan sebagai medium dalam melawan ketidakadilan dalam arti sesungguhnya.
Aksi 212 dengan semua narasi dan kontroversi yang mengiringinya, banyak disebut sebagai aksi politik umat Islam. Fakta yang memperkuat asumsi aksi 212 adalah aksi politik umat Islam. Yaitu, aksi 212 yang tercetus atas “ketidakpuasan” banyak dari masyarakat muslim atas proses hukum yang dijalani oleh Basuki Tjahja Purnama (BTP) atas kasus penistaan agama. Isu agama yang berkelindan dengan kasus hukum yang diperjuangkan melalui saluran demokrasi yakni demostrasi, yang mana ini adalah bagian dari aksi politik.
Sekarang gerakan 212 tersebut menjadi modal sosial, yang kemudian bisa dikapitalisasi sebagai dukungan politik yang menggiurkan bagi siapa saja yang ingin meraup dukungan militan. Terbentuknya organisasi yang (dianggap) mewadahi “alumni” gerakan ini seperti Persaudaraan Alumni 212 dan Presidium Alumni 212, adalah bukti paling sahih bahwa gerakan 212 telah berubah menjadi kapital politik. Terlepas dari perbedaan dan perseteruan diantara dua organisasi tersebut, kedua organisasi tersebut terlihat cukup lihai dalam bermanuver politik terutama di tengah kancah Pilpres 2019 ini.
Baca juga: Politik Islam itu Apa?
Islam atau keberagamaan yang digunakan oleh politisi, sebenarnya hal yang lumrah. Sebab, agama di Indonesia adalah isu yang sudah siap pakai dan punya daya penggerak yang baik. Analisis Vedi R. Hadiz dalam buku Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto, agama seakan tidak akan pernah kehabisan vitalitas untuk menggerakkan massa dan militansi yang tidak perlu diragukan.Inilah alasan utama mengapa agama tidak pernah absen dalam perbincangan politik Indonesia.
Satu pertanyaan terlintas dalam benak saya saat melihat fakta di atas, suara dari kalangan Islam yang mana paling lantang direpresentasi dalam perbincangan politik Indonesia saat ini? Sebab, Islam di Nusantara ini tidak akan terlepas dari sejarah panjang kehadirannya di tanah air ini, termasuk di dalam diskursus sosial politik. Dus, bisa saja ada suara dari salah satu kalangan Islam yang lebih mendominasi dalam diskursus politik di Indonesia.
Sejak Orde Baru berkuasa di pertengahan tahun 1960an, pasca tragedi G 30 S, posisi Islam mulai “dikandangkan” dan baru berakhir di awal tahun 1990an. Namun, kalangan muslim mendapatkan kesempatan mengecap bangku sekolah karena kebijakan Orde Baru saat itu membuka kesempatan bersekolah kepada seluruh anak bangsa. Sebab, sebelumnya kalangan muslim tidak mudah untuk masuk ke sekolah dikarenakan politik pendidikan sebelum kemerdekaan, hanya memberikannya kepada mereka yang memiliki strata sosial yang tinggi.
Sejak itu kelas menengah muslim mulai meramaikan berbagai perbincangan termasuk diskursus sosial politik di Indonesia. Kehadiran pemikiran Gus Dur (Abdurrahman Wahid) dan Cak Nur (Nucholish Madjid) di ranah sosial politik Islam, memberikan gairah baru pasca perdebatan soal pendirian negara Islam di Indonesia di masa lalu yang sudah ditinggalkan. Karena, selain kesempatan memiliki kedudukan di birokrasi akhirnya juga bisa dirasakan oleh kalangan muslim karena kualifikasi pendidikan, ranah pemikiran Islam juga menjadi ramai dengan hadirnya pemikir baru tersebut, yang juga memaksa mereka masuk dalam kalangan kelas menengah karena posisi sosialnya.
Di sisi lain, kelas menengah muslim, sebagaimana kelas menengah lainnya, juga dianggap sebagai penggerak roda ekonomi di Indonesia karena kemampuan belanja meraka di atas rata-rata masyarakat biasa. Keadaan ini terus meningkat seiring jumlah kelas menengah yang terus bertambah di saat runtuhnya Orde Baru, yang memberikan ruang ekonomi hanya pada keluarga dan kroni saja.
Baca juga: Politik Identitas dalam Sejarah Islam
Seiring geliat ekonomi akhirnya terus bertambah, perbincangan keislaman juga semakin berkembang. Diskursus soal keislaman tidak lagi sekedar membicarakan soal posisi negara atau hubungan antar agama saja, tapi juga masuk ke berbagai ruang publik yang dimasuki oleh agama.
Di era pasca Orde Baru, geliat keislaman kelas menengah telah banyak berubah. Seperti, persentuhan mereka dengan kalangan Islamisme, membuat warna dari kapitalisme atau konsumerisme akhirnya juga “diterima” oleh kalangan pendukung Islamisme. Untuk menarik dukungan atau meraih jemaah dari kalangan kelas menengah, langkah tersebut harus diambil oleh para penggiat Islamisme. Dari kondisi inilah, muncul produk-produk yang sesuai dengan gaya hidup Islami yang selaras dengan nilai konsumerisme. Sekat ideologi dan mazhab kalangan Islamisme dan kelas menengah akhirnya semakin buram karena kondisi keterbukaan, suka atau tidak, membuat mereka harus bernegosiasi lagi dengan nilai-nilai yang selama mereka lawan, yaitu kapitalisme dan konsumerisme.
Di tengah kondisi keterbukaan ini, kelas menengah muslim menjadi sangat dominan dalam perbincangan keislaman termasuk dalam urusan politik. Keberhasilan kelas menengah dalam mendominasi perbincangan keislaman ditopang dari kemampuan mereka menjadi kelompok perekayasa sosial (social engineering), di mana warna sosial Islam akhirnya menjadi diwarnai keberislaman kelas menengah.
Selera keberislaman kelas menengah yang kemudian lebih banyak berkelindan dengan citra dan konsumerisme menjadi dominan terlihat di hampir seluruh lapisan kelas dalam masyarakat muslim. Selain kosmetik dan fashion beraroma islami juga menjadi menu wajib, ziarah, umrah dan haji yang menjadi bagian leisure dari kehidupan masyarakat muslim sekarang ini.
Haw Wei Weng, sosiolog asal Malaysia, menyebutkan hal ini adalah “Gentrifikasi Religius”, term ini merujuk perubahan budaya yang dihasilkan karena kehadiran kelas menengah dalam sebuah wilayah.
Selain televisi, perubahan budaya ini juga didorong faktor kehadiran media sosial dan internet yang terus menyebarkan Islam model kelas menengah ini. Intensitas menonton televisi dan aktifitas media sosial di kalangan umat Islam yang cukup tinggi, menjadikan medium paling dominan berpengaruh dalam proses dominasi diskursus keislaman.
Kondisi ini juga terjadi dalam diskursus politik umat Islam, di mana isu yang beredar dan diusung lebih banyak bermain pada citra dan gaya hidup, atau dalam kajian filsafat disebut tontonan. Di mana politik kita hanya memunculkan yang bersifat artifisial atau tontonan belaka, tidak lagi berbincang soal nilai kemanusiaan atau kebangsaan. Ini bisa kita lihat bersama, dari momen Pilkada DKI hingga Pilpres 2019 sekarang ini, saat Islam dimunculkan dalam isu politik lebih banyak berbincang soal ritual dan model keberislaman, seperti model berwudhu, posisi shalat jumat, bisa membaca al-Qur’an, gerakan shalat subuh berjamaah, dan lain-lain .
Dengan kondisi tersebut, sangat sulit untuk berharap Islam berjuang untuk nilai-nilai kemanusiaan yang lebih universal. Mengurusi kehidupan keberagamaan pribadi malah menjebak kaum muslimin untuk tidak lagi berpikir bagaimana Islam bisa memiliki kekuatan progresif yang pernah dicontohkan oleh Abu Dzar al-Ghifarri saat mengkritik Muawiyah, saat itu menjabat Gubernur Syam, yang menumpuk harta hanya segelintir kalangan terdekatnya. Bagi Abu Dzar, menyimpan kekayaan yang melebihi pada keperluan adalah haram.
Amien Rais menuliskan kalau agama tidak mampu menghadapi krisis kemanusiaan, seperti korupsi, kolusi, disparitas pendidikan dan pendapatan, degenerasi moral, dan masalah destruksi ekologi, maka tentu pelan-pelan agama menjadi out of date atau kadaluarsa. Namun, Amien juga menambahkan agama bisa digunakan sebagai topeng belaka, yakni mereka yang menjadikan agamanya sebagai rutinisme yang kosong melompong dari jiwa keagamaannya itu sendiri.
Saat Islam masuk dalam ranah politik seharusnya menjadi pendorong utama dalam memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, bukan terhenti pada persoalan ritual, sektarian, apalagi sekedar kesalehan pribadi. Sebab, politik adalah medium memperjuangkan kehidupan bersama yang lebih baik untuk seluruh elemen bangsa, bukan terbatas hanya penganut Islam saja apalagi kelas menengah.
Oleh sebab itu, politik Islam harus berhenti memperbincangkan hal-hal yang artifisial atau selera kelas menengah. Politik Islam harus mulai berbicara krisis kemanusiaan secara komprehensif, agar Islam itu sendiri tidak out of date atau hanya terjebak pada hal artifisial yang merupakan selera dari kelas menengah saat ini.