Pada suatu masa, seorang raja agung bertahta di Kerajaan Medayin. Namanya Raja Sarehas. Meski telah berkuasa menjadi raja, ia tetap tidak puas. Tak pernah puas. Ia selalu ingin lebih dan lebih. Untuk menggapai kesaktian dan kejayaan yang lebih tinggi lagi Raja Sarehas pergi bertapa di dasar samudera.
Setelah beberapa lama, seseorang mendatanginya. Dalam cerita itu disebutkan bahwa sosok yang datang itu adalah Nabi Kilir (Nabi Khidhir kalau dalam lidah Arab), seorang nabi mistis yang dipercaya masih hidup hingga kini dan hanya menemui orang-orang terpilih. Oleh nabi yang sangat sakti ini Raja Sarehas diberi sebuah pusaka berupa kayu yang jika ia makan akan mendatangkan kesaktian, kecerdesan tingkat dewa, serta bisa menguasai semua bahasa makhluk hidup sebagaimana kanjeng Nabi Sulaiman.
Setelah menerima kayu bertuah itu Sarehas pulang ke istananya. Ia kemudian memerintahkan Ki Nimhadu, juru masak istana, untuk mengolah kayu itu menjadi kue apem supaya bisa dimakan.
Ki Nimhadu segara memasak kue apem dengan bahan dari kayu ajaib tadi. Setelah kue apem siap terjadilah hal yang mengubah jalan sejarah dunia cerita ini. Lukmanakim, anak Ki Namhadu malah memakan kue apem dari kayu ajaib itu, sedangkan Raja Sarehas hanya memakan kue apem biasa. Dengan begitu kesaktian yang dijanjikan Nabi Kilir tadi jatuh ke tubuh Lukmanakim, bukan Sarehas. Begitulah, malangnya Sarehas dan betapa beruntungnya Lukmanakim.
Dengan bekal kemampuan multibahasa yang dimilikinya Lukmanakim kemudian berguru pada seorang Kaisar Jin. Ilmu yang didapatnya dari Kaisar Jin ditulisnya dalam sebuah kitab. Kitab yang berisi ilmu-ilmu sakti ini kemudian dikenal dengan nama Kitab Adam Makna. Kitab ini kemudian diwariskan pada cucunya, Betaljemur, yang pada simpangan petualangan hidupnya menjadi sekutu Amir Ambyah atau Wong Agung Jayengrana.
Anda yang akrab dengan budaya jawa tentu kenal dengan sebuah primbon yang bernama Betaljemur Adam Makna. Dalam primbon itu termaktub kisah-kisah dan khasiat-khasiat termasuk perhitungan hari baik dan hari buruk. Tidak pernah jelas sebenarnya apakah primbon itu bersumber pada kitab milik Lukmanakim tadi.
Lalu siapa Amir Ambyah itu? Lidah Jawa mengatakan Amir Ambyah tapi dia adalah Hamzah, putra Abdul Muthalib. Nama amir di depan nama Hamzah adalah gelar saja. Cerita tentang Sarehas dan Betaljemur tadi tidak ada dalam lembaran sejarah. Cerita tadi adalah secuil dari wiracarita Serat Menak yang ditulis ditulis Raden Ngabehi Yasadipura I dan Raden Ngabehi Yasadipura II.
Serat Menak merupakan saduran dari epos Qissai Emr Hamza yang berasal dari Persia. Konon, kisah panjang ini dibuat pada masa khalifah Harun Al Rasyid di abad 8 masehi. Sebagai sebuah dongeng cerita Hamzah di dalam kisah ini tentu saja sudah tidak sama lagi dengan sejarah Hamzah paman nabi itu. Dalam kisah panjang ini, petualangan Hamzah justru terjadi di negeri-negeri mistis melawan makhluk-makhluk gaib dan intrik-intrik istana lakasana serial Game of Thrones. Keluasan ceritanya berkembang melampaui kenyataan-kenyataan historis.
Di Nusantara kisah petualangan ajaib Hamzah ini mulai dikenal dalam sastra Melayu bernama Hikayat Amir Hamzah kemudian menyebar dan meluas ke Jawa, Sunda, Bugis, dan Lombok. Hikayat ini dikenal dengan nama berbeda-beda, dalam bahasa Jawa dikenal dengan judul Serat Menak, di Sunda dikenal dengan judul Wawacan Amir Hamzah, dalam bahasa Bugis Makasar seperti di Melayu dikenal dengan nama Hikayat Amir Hamzah, di Bali dikenal dengan Geguritan Amir Amsyah, sementara dalam bahasa Aceh dikenal dengan judul Hikayat Sayidina Amdah.
Tentu saja tidak hanya nama yang berubah dan berkembang, cerita-cerita dan subplotnya juga mengalami pengembangan dan penuh cerita tambahan sehingga cerita Amir Ambyah ini tentu saja tidak sama persis dengan wiracarita dari Persia tadi.
Epos dari Persia ini mengalami perjalanan panjang untuk sampai ke telinga masyarakat nusantara. Ia sudah diserap kemudian ditata lagi dalam satu bentuk cerita menjadi bentuk baru. Dalam menyalin dan menyadur masyarakat nusantara tentu sudah menyertakan gagasan sekaligus aspirasi ke dalam cerita yang disadurnya itu.
Di Jawa, nama-nama tokoh dan tempat tentu saja mengalami pelokalan, seperti Amir Hamzah yang menjadi Amir Ambyah, Qobat Shehriar menjadi Sarehas, Buzurjamir menjadi Betaljermur, Jabal Qaf menjadi Gunung Jabalakat, dan seterusnya. Cerita Hamzah ini juga dipentaskan dalam bentuk wayang, dikenal dengan nama wayang menak. Bentuk wayangnya juga mengambil bentuk lokal, Hamzah dan kawan-kawannya tidak digambarkan dengan pakaian berjubah ala Arab namun menggunakan pakaian kebansawanan Jawa.
Perjalanan kisah Hamzah dari Arab, Persia, India, kemudian Melayu hingga ke Jawa ini menceritakan betapa ide, narasi, gagasan dan cerita selalu mengalami pembentukan-pembentukan baru seiring dengan perjumpaan dengan lokalitas.
Apakah hal serupa juga terjadi pada agama? Di titik ini, ada satu pertanyaan yang tak habis diperdebatkan hingga kini yang akan selalu penting untuk direnungkan: Mengapa selama ini pengaruh agama pada orang begitu diperhatikan (hingga dilebih-lebihkan) sementara pengaruh orang pada agama justru diremehkan?