Keimanan tidak selamanya diukur berdasarkan keyakinan seorang kepada Allah SWT. Meskipun ada orang yang bercaya kepada Tuhan dan dia rajin beribadah, baik ibadah wajib maupun sunnah, belum tentu apa yang dilakukannya itu menunjukan kesempurnaan iman. Sebab Islam tidak hanya menyuruh umatnya percaya kepada Tuhan, kemudian beribadah terus-menerus, tetapi juga meminta kita untuk peduli dengan lingkungan dan masyarakat sekitar.
Sesungguhnya keimanan berkait kelindan dengan kepekaan sosial. Semakin tinggi derajat keimanan seorang seharusnya tingkat sensitifnya terhadap problem keumatan juga semakin meninggi. Hal ini sebagaimana tercermin dalam diri Nabi Muhammad SAW: selain tekun beribadah, beliau juga terlibat aktif dalam menuntaskan problem keumatan yang terjadi di negerinya.
Iman kaum beriman perlu dipertanyakan bila hatinya tidak terpanggil sedikitpun untuk melakukan perubahan sosial. Keimananya disangsikan jika tidak mau membantu saudara, tetangga, dan masyarakat miskin. Sementara kondisi finansialnya melebihi kebutuhan hariannya dan tidak bakalan jatuh miskin bila disumbangkan separuhnya untuk fakir miskin.
Abdul Qadir al-Jilani dalam Fathul Rabbani wa al-Faydul Rahmani mengatakan:
إذا أحببت لنفسك أطايب الأطعمة واحسن الكسوة وأطيب المنازل واحسن الوجوه وكثرة الاموال واحببت لأخيك المسلم بالضد من ذلك فقد كذبت في دعواك كمال الإيمان، يا قليل التدبير لك جار فقير، ولك أهل الفقراء ولك مال عليه زكاة، ولك ربح كل يوم ربح فوق ربح، ومعك قدر يزيد على قدر حاجتك إليه، فمنعك لهم عن العطاء هو الرضاء بما هم فيه من الفقر…
“Jika kamu menyukai makanan enak, pakaian bagus, rumah mewah, wanita cantik, dan harta yang berlimpah, sementara pada saat yang sama kamu menginginkan agar saudara seimanmu mendapatkan kebalikannya, maka sungguh bohong bila kamu mengaku memiliki iman yang sempurna.
Wahai orang kurang akal! Kamu berdampingan dengan tetangga yang fakir dan mempunyai sanak-saudara miskin, sedangkan kamu memiliki harta yang sudah layak dizakati, keuntunganmu berlipat ganda setiap hari, dan kamu memiliki kekayaan lebih.
Jika kamu enggan memberi dan menolong mereka, berati kamu rela dengan kefakiran mereka.”
Nasihat yang disampaikan sulthan awliya’ ini tentu sangat menusuk batin kita. Sebagai seorang sufi agung, ternyata beliau juga tidak hanya sibuk beribadah, tetapi juga perhatian terhadap masalah sosial. Bahkan, beliau mengkritik keras umat Islam yang acuh tidak acuh dengan kondisi masyarakat sekitarnya.
Dengan merenungi petuah ini, semoga keimanan kita mampu membuat kita semakin peka dengan problem keumatan. []