Simbol-simbol agama dewasa ini bak jamur yang tumbuh di musim hujan. Ia hadir di jalan-jalan, koran-koran, atau di layar kaca yang kita tonton.
Sepertinya orang akan bangga jika simbol-simbol itu diperlihatkan dan dipertontonkan di depan publik. Bahkan dalam agama, penggunaannya adalah pahala.
Beberapa tahun lalu, seorang politisi kawakan juga terlihat lekat dengan simbol agama tersebut. Di tengah proses pengusutan keterlibatan dirinya dalam kasus penyelewengan dana Bulog, ia pergi melaksanakan ibadah haji, dan meninggalkan sejuta tanda tanya. Belakangan, saat menjalani masa tahanannya di Kejaksaan Agung Jakarta Selatan, ia pun tampak terlihat agamis dengan mengenakan peci dan baju takwa.
Perayaan Tahun Baru 1 Muharram (15/3/02) juga menampilkan nuansa yang sama. Atas prakarsa beberapa kelompok, ritual keagamaan itu dirayakan dengan menggelar konser Hijriah yang menonjolkan citra islaminya. Konsep yang digelar di Parkir Timur Senayan, Jakarta, Kamis malam (14/3/02) itu menampilkan kolaborasi dua grup musik populer, Slank dan Hadad Alwi. Tak hanya di Jakarta, perayaan 1 Muharram pun disambut meriah masyarakat Purwokerto dengan menggelar konser lagu-lagu nasyid dan kasidah, diselingi atraksi iring-iringan unta dan lantunan shalawat.
Mengapa, simbol-simbol agama tiba-tiba laris dipertontonkan? Sebagian orang menganggapnya sebagai fenomena kebangkitan Islam di Indonesia. Anehnya, jika ini kebangkitan Islam mengapa tak berbanding lurus dengan peningkatan moral masyarakatnya? Toh, praktik korupsi tak dapat diminimalisir, bahkan terkesan kian meningkat. Pada saat yang sama, peperangan lokal antar etnis atau kelompok preman pun berlangsung seru.
Roland Barthes (1915-1980), salah seorang ahli semiotika asal Prancis, sepertinya mengingatkan kita untuk lebih jeli mengurai sejumlah pesan di balik simbol-simbol itu. “Cara kita berpakaian, apa yang kita makan, dan cara kita bersosialisasi juga mengkomunikasikan hal-hal yang mengenai diri kita, dapat dipelajari melalui tanda,” ungkapnya.
Dalam tradisi semiotika (ilmu tentang tanda), tanda memiliki tiga karakteristik utama. Pertama, memiliki bentuk konkrit, kedua, merujuk pada sesuatu yang bukan dirinya, dan ketiga, dapat dikenali orang kebanyakan orang sebagai tanda. Setiap tanda selalu mengandung dua hal: penanda (signifier) atau bentuk fisik tanda, dan petanda (signified), sebagai sesuatu yang dirujuk tanda dalam bentuk asosiasi mentalnya. Dan tanda dibentuk dan ditentukan oleh aturan-aturan baik secara samar maupun jelas oleh suatu kelompok sosial. Bisa jadi membawa pesan dan makna-makna tertentu.
Di Indonesia, konon di kenal dengan semangat religius yang tinggi, simbol-simbol agama tentu masih menjadi faktor penting, menentukan, sekaligus sebagai alat perekat ikatan emosional keagamaan. Tanda agama yang dibentuk oleh budaya masyarakat itu selanjutnya menjadi standar yang membedakan antara satu kelompok dengan kelompok lain.
Jadi, jika aspek “penanda” yang hadir konkret dalam bentuk peci, baju takwa, sorban, jilbab, shalawat, kasidah, nasyid dan seterusnya, maka aspek “petanda”-nya selalu merujuk pada aspek identitas keislaman dan tingkat keberagamaan seseorang. Bagi mereka yang tak menggunakan tanda-tanda itu, seringkali dipahami sebagai kelompok di luar mereka, bahkan menunjukkan kualitas keagamaan yang rendah.
Kalau begitu, apakah mungkin seorang politisi hanya gara-gara memakai simbol-simbol agama seperti ibadah haji, berpeci, dan berbaju takwa misalnya, dianggap seorang yang punya kualitas keislaman yang tinggi? Dimaafkan tanpa proses hukum, bahkan harus dibela mati-matian? Padahal seberapa tinggi tingkat kualitas keislamannya, hanya dirinya sendiri yang mampu menilainya.
Pertanyaan yang sama juga bisa diajukan untuk fenomena musik nasyid, jilbab, atau sorban. Apakah karena simbol-simbol tersebut berbau Arab lalu dianggap sebagai yang islami? Sebab, dan mungkin ini aneh, dalam logika “budaya massa”, sadar atau tidak, batas-batas agama, status sosial dan ekonomi menjadi semakin pudar.
Melalui proses produksi, simbol-simbol itu dapat sebanyak mungkin dimiliki, dan akhirnya menjadi selera masyarakat secara luas. Contohnya dalam kasus peci atau baju takwa. Saat ini, rasanya tak sulit menemukan dan memilikinya. Kita bisa membelinya di tepi-tepi jalan. Dan siapapun orangnya, entah kyai, ustadz, tukang becak, preman, politisi bahkan orang non-muslim pun dapat memiliki dan memakainya.
Suatu ketika pernah saya melihat seorang romo yang saya kenal, pernah mengenakan baju takwa itu itu di sebuah acara berbuka puasa tahun lalu. Jadi, simbol-simbol itu tidak selalu merujuk dan dimiliki hanya untuk orang Islam. Apalagi pada tinggi dan rendahnya kualitas keberagamaan seseorang.
Demikian halnya dengan kenyataan musik nasyid yang dianggap musik islami ini. Ternyata, tak selamanya simbol-simbol itu menegaskan, baik kualitas maupun idntitas agama seseorang. Sebab, jika yang islami adalah yang kearab-araban, ternyata belakangan nasyid tak hanya dilantunkan dengan syair Arab, melainkan juga dengan syair berbahasa Indonesia, bahkan bahasa Inggris, yang oleh sebagian orang dianggap sebagai bahasanya orang-orang kafir.
Jika yang islami adalah musik yang tak menggunakan alat-alat musik yang diharamkan, ternyata nasyid yang ada menggunakan alat-alat musik modern seperti piano, atau seruling dalam setiap penampilannya. Jika nasyid dipandang sebagai musiknya orang-orang yang kuat memegang kemurnian Islam, ternyata nasyid juga bisa menjadi milik dan selera kelompok yang dianggap “bengal” dan tidak religius seperti pada “slanker” itu.
Jadi, ketika tanda-tanda itu diproduksi dan disosialisasikan secara luas melalui media massa, baik cetak maupun elektronik, maka simbol-simbol agama itu tidak lagi bersifat eksklusif. Ia menyeberang lintas batas. Petanda kemurnian keberagamaannya menjadi pudar. Termasuk batasan-batasan yang islami dan tak islami yang semakin hilang. Yang tinggal hanyalah penilaian individu-individu tentang dirinya sendiri. Itulah kehebatan budaya massa, tempat bertemunya selera dan cita rasa gerombolan orang-orang yang dianggap pasif, luas, sekaligus obyek dari kepentingan ekonomi dan politik.[]
April 2002
*) Tulisan ini pertama kali dimuat di majalah Syir’ah