Setelah menempuh perjalanan sepeda motor selama kurang lebih dua puluh menit dari stasiun Kota Bogor, saya sampai di sebuah perumahan di bilangan Bubulak, Bogor Barat. Suasana di sana sangat tenang, membuat suara jangkrik dan kodok cukup terdengar nyaring.
“Sudah benar di sini, A’?” tanya driver ojol. Ia menjelaskan bahwa titik yang saya tandai di aplikasi saat memesan sudah tepat. Barangkali ia khawatir karena kami berada di lokasi yang cukup sunyi.
Untuk memastikan saya menghubungi si empunya shareloc. Saya menyebutkan ciri-ciri tempat saya berdiri.
“Benar, Mas. Tunggu di sana, ya?” ujar seseorang di telefon. Saya pun memberi kode ke driver ojol yang kemudian undur diri. Tak berselang lama, sosok lelaki kurus berkacamata melambaikan tangan dari pintu rumah. Ia pun mempersilakan saya masuk.
Rumahnya cukup asri. Terdapat ratusan judul buku yang terpampang di beberapa rak buku dalam ruangan. Kami kemudian berbincang di lantai dua yang ruangannya cukup luas. Ada tiga tamu lain yang berasal dari beberapa latar belakang.
Lelaki kurus itu adalah Roy Murtadho yang akrab dipanggil Gus Roy.
Perjumpaan pertama saya dengan Gus Roy terjadi pada tahun 2014 ketika lembaga pers mahasiswa yang saya ikuti mengundangnya mengisi diskusi pemutaran sebuah film. Saat itu Gus Roy masih aktif sebagai pengurus Lembaga Sosial Pesantren Tebuireng (LSPT) Jombang. Di samping tentu saja aktivitasnya sebagai aktivis dan peneliti lingkungan.
Pada tahun 2017, ia bersama istrinya Siti Barokah yang kerap dipanggil Mbak Oka, memutuskan untuk hijrah ke Bogor, Jawa Barat. Di kota hujan ini Gus Roy bersama istrinya mendirikan sebuah pesantren untuk anak usia SMP dan SMA yang diberi nama Misykat Al-Anwar. Kompleks pesantrennya sendiri menyatu dengan kediaman mereka.
“Awal mula pendirian pesantren ini didorong oleh kondisi sosial banyaknya konflik sosial ekologis di Indonesia dan krisis iklim dalam skal, global.” jelas Gus Roy. Ia menceritakan bahwa sebenarnya tidak ada niatan untuk membuat pesantren saat pindah ke Bogor. Sebelumnya ia tergabung dalam kelompok studi yang membincangkan persoalan kebangsaan, Islam, ekologi, dan isu lainnya. Mengapa tidak sekalian mendirikan pesantren? Begitu tanya teman-temannya, setengah mendorong.
Pesantren yang dikelolanya merupakan model pendidikan alternatif. Ia menyusun kurikulumnya secara mandiri. Kurikulum tersebut disusun berdasar asas inklusif, berwawasan Islam ahlussunnah waljamaah, humanis, ekologis, berpikir kritis, berkeadilan gender, serta berjiwa sosial.
“Kami beranggapan membuat orang pintar itu mudah. Namun untuk membangun orang dengan karakter terbuka, toleran, berkeadilan gender, berpihak pada kaum marjinal, merawat bumi, dan siap bekerjasama itu tidak mudah, dan harus dipupuk sejak dini” ujar Gus Roy.
Nama Misykat Al-Anwar itu sendiri diinsrinspirasi oleh salah sebuah karya Imam Al-Ghazali yang membahas kehidupan spiritual. Secara kebahasaan, kata misykat al-anwar berarti cahaya di atas cahaya. Ia menilai bahwa cahaya spiritualitas dalam agama tidak boleh hanya berorientasi akhirat, tapi juga harus dihayati dalam rangka merawat kehidupan di bumi menjadi lebih adil dan berkelanjutan. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa dalam gerak menjaga lingkungan, dan membela yang lemah merupakan inti dari spiritualitas itu sendiri. Jadi, di dalam yang material ada yang spiritual yaitu refleksi iman pada Allah sebagai rabbul alamin dan manusia sebagai khalifah Allah di bumi bertanggung jawab untuk merawat kehidupan.
Falsafah ini dituangkan dalam bentuk dan proses belajar mengajar di pesantren. Pesantren ini menekankan pendidikan pada aspek bahasa, etika, estetika, logika, dan ekologi. Berbagai bidang keilmuan—yang dalam istilah Gus Dur disebut kitab kuning, kitab putih, dan kitab merah—dipelajari secara beriringan.
Sebagaimana pesantren pada umunya, Gus Roy dan mbak Oka tetap berdiri di atas fondasi keilmuan pesantren dengan mengajarkan kitab kuning pada para santri. Mereka bahkan menyarankan para santri untuk menghafal Al-Quran dan hadis. Namun bagi mereka, yang paling penting, agama bukan hanya tentang surga dan neraka, melainkan bagaimana umat beragama bisa menjadi agen rahmatan lil’alamin dengan merawat dan melestarikan lingkungan.
Oleh karenanya, untuk mendukung kapasitas anak-anak santri agar mampu memahami kodisi zaman yang tengah mereka hidupi, maka sajak awal para santri, selain kitab kuning, juga sudah dikenalkan dengan konsep-konsep dasar teori sosial seperti: ekologi politik, eco-feminism, filsafat ilmu, dan lain sebagainya. Hal yang belum tentu ditemukan di pesantren-pesantren lain.
Uniknya, materi yang diajarkan di pesantren ini tidak melulu dari tokoh muslim. Misalnya dalam membahas eco-feminism, pesantren Misykat turut memperkenalkan tokoh lingkungan seperti Vandana Shiva dari India dan Mama Aleta Baun di Nusa Tenggara Timur.
Dapur dan Kebun
Misykat Al-Anwar tak bisa dipisahkan dengan kebun sebagai laboratorium para santri untuk belajar menanam. Mengelola sampah rumah tangga, diet plastik sekali pakai, dan berkebun menjadi praktik sehar-hari para santri. Bahkan, dua kali dalam seminggu para santri praktik menanam. Di kebun tersebut, mereka menanam umbi-umbian, beragam sayur, jagung, dan beberapa jenis lainnya. Hasil menanam itulah yang nanti diolah secara mandiri oleh santri sebagai menu makanan. Jadi, kebun dan dapur bagi para santri Misykat al Anwar menjadi satu bagian yang tak terpisahkan.
“Banyak orang melihat pesantren hanya sebatas mengaji kitab. Padahal, menanam pada hakikatnya ya mengaji juga,” kata Gus Roy.
Di Pesantren ini, laki-laki dan perempuan diperlakukan setara. Semua memiliki peran dan tanggung jawab yang sama. Ketika beraktivitas pun, pembatasan yang dilakukan bukan dengan cara menyekat ruang antara laki-laki dan perempuan. Namun dengan menanamkan prinsip-prinsip adil gender dan anti kekerasan seksual.
Gus Roy tidak menampik kemungkinan para santri memiliki ketertarikan dengan lawan jenis. “Karena itu kami selalu mengatakan, mereka boleh memiliki rasa suka, tetapi tidak boleh melakukan pelecehan seksual. Bertemanlah dengan cara wajar, membangun dan bermartabat,” terangnya. Hal ini kerap disampaikan berulang-ulang, bahkan setiap hari tiap bercengkerama dengan para santri.
Energi Bersih
Sejak awal pesantren Misykat Al-Anwar membekali para santrinya dengan wawasan ekologi. Salah satunya adalah pentingnya menanggulangi pemanasan global.
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memberi kesimpulan bahwa sebagain besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan efek rumah kaca. Efek ini banyak disumbang oleh kegiatan industrialisasi yang menggunakan batu bara sebagai bahan bakunya. Sebesar 46% hasil pembakaran batu bara berubah menjadi karbon dioksida (CO2) yang mengotori atmosfir bumi.
Salah satu cara yang bisa ditempuh umat manusia adalah mengurangi ketergantungan pada energi tak terbarukan seperti batu bara. Sayangnya, di Indonesia penggunaan batu bara masih sangat masif, terutama untuk kebutuhan pembangkit listrik. Padahal struktur alam dan cuaca memungkinkan Indonesia untuk mengembangkan pembangkit listrik ramah lingkungan.
Gus Roy berupaya menjadikan Pesantren Misykat sebagai pesantren yang ramah lingkungan. Upaya ini mulai dirintis dengan memasang panel surya pada saat Haul Gus Dur tahun 2020 silam. Selanjutnya, ia berencana menerapkan energi bersih mikrohidro sebagai sumber penerangan.
Hanya saja di lokasi pesantren saat ini harapan itu belum bisa diwujudkan. Untuk itulah ia berencana memindahkan lokasi pesantren ke tempat yang lebih luas.
“Di lokasi kami yang baru terdapat sungai yang bisa dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik mikrohidro,” ucap Gus Roy.
Mikrohidro mulai banyak dibahas setelah Tri Mumpuni Wiyanto, seorang pemberdaya listrik, berhasil menerangi puluhan desa terpencil dengan memanfaatkan aliran sungai yang ada. Atas kiprahnya, Tri Mumpuni masuk ke dalam daftar The World’s 500 Most Influential Muslims 2021.
Upaya Tri Mumpuni menginspirasi Gus Roy untuk memulai perubahan ini dari desa dengan pesantren sebagai episentrumnya. Artinya, pesantren juga aktif melakukan pemberdayaan masyarakat.
“Selama ini kami sudah melakukan pendampingan petani di beberapa tempat. Ke depan kami akan melakukan pendampingan juga di isu energi bersih ini,” jelas Gus Roy.
Gus Roy bersama koalisi keberagaman yang terdiri dari beberapa organisasi masyarakat sipil seperti Greenpeace Indonesia, Trend Asia, Enter Nusantara dll, berencana mengadakan sedekah dan arisan energi untuk masyarakat pedesaan di kawasan Bogor dan sekitarnya. Dengan berjejaring dan beraliansi, gerakan ini diharapkan bisa meluas ke berbagai daerah di Indonesia.
Saya langsung membayangkan jika desa-desa mulai sadar potensi alamnya, kemudian beralih ke energi bersih, bukan tidak mungkin Indonesia bisa menjadi percontohan negara ramah lingkungan di masa mendatang.
Tentu saja, langkah ini dilakukan secara perlahan. Bukankah sebuah perubahan besar dilakukan dari satu langkah kecil?
*) Artikel ini adalah hasil kerjasama islami.co dengan Greenpeace dan Ummah for Earth