Pesan Ramadhan-Kebangsaan dari Brunei

Pesan Ramadhan-Kebangsaan dari Brunei

Pesan Ramadhan-Kebangsaan dari Brunei

Menjalani seminggu berpuasa di negeri jiran Brunei Darussalam bagai pulang ke kampung halamanku di Pekalongan.

Itulah yang kurasakan ketika pada hari pertama mendarat di Brunei, Rabu 14 Juni, malam harinya diajak Dr. Harapandi Dahri, seorang akademisi Indonesia yang menjadi pensyarah alias dosen di Brunei untuk bertarawih. Kami bertarawih di Masjid Jami Hasanal Bolkiah, sebuah bangunan megah dan permai berkubah emas di tengah kota Bandar Seri Begawan.

Mirip di kampung halamanku tarawih di sini sebanyak 20 rakaat disambung dengan sholat witir 3 rakaat. Lalu di penghujung sholat witir dibacakan doa qunut menutup rangkaian ibadah malam tersebut. Yang membedakan hanya di Masjid Jami Kauman Pekalongan, tempatku bertarawih semasa di kampung dulu, setiap 4 rakaat sholat lalu diselingi dengan bacaan (atau nyanyian) salawat indah yang agak panjang yang sekaligus berfungsi semacam ‘pause’

Kemiripan itu bisa difahami dengan membaca konstitusi Negara Brunei Darussalam. Di dalam dokumen dasar pembentukan Negara kerajaan tersebut disebutkan bahwa Negara Brunei Darussalam berdasarkan atas Ugama Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah, dengan rujukan khusus kepada Mazhab Syafii. Jadi, itulah yang menjadi dasar praktik keagamaan yang setali tiga uang dengan tradisi Nahdhatul Ulama (NU) di Indonesia.

Meski banyak kesamaan, antara lain banyaknya bangunan masjid dan surau di seantero wilayah, namun, uniknya, jarang sekali saya mendengar suara adzan. Berbeda dengan alunan adzan bersahut-sahutan melalui pengeras suara yang nyaris terdengar setiap datang waktu sholat di tanah air, di sini itu tak terjadi. Itu dikonfirmasi oleh seorang diplomat Indonesia yang rumahnya dekat masjid. Namun alunan adzan terdengar lembut saat waktu dhuhur tiba ketika saya sedang bekerja di dalam perpustakaan kampus Universitas Brunei Darussalam (UBD).

Perbedaan penting lain adalah tak ada ragam aliran kegamaan di negeri seribu masjid ini. Di negeri-kota yang berpenduduk sekitar 400 ribu orang ini, tak bakal bisa temui aktivis dan organisasi Islam transnasional semacam Hizbut Tahir (HT) dan Ikhwanul Muslimin (IM)—apalagi Front Pembela Islam alias FPIJ Penganut Ahmadiyah dan Syiah juga dilarang melakukan kegiatan keagamaan kolektif secara terbuka. Konon, sempat ada upaya mendirikan cabang organisasi Muhammadiyah dan NU di sini, namun tidak diberi ijin.

Gerakan keagamaan transnasional yang diperkenankan hadir dan beraktivitas luas adalah Jamaah Tabligh. Organisasi dakwah ini salah satu ‘menu utama’ kegiatannya adalah ‘khuruj’ alias keluar meninggalkan rumah selama periode waktu tertentu untuk berdakwah, biasanya dengan tinggal dan menginap di masjid-masjid. Salah satu ‘modus operandi’ dakwah mereka adalah mengetuk pintu dari rumah ke rumah untuk mengajak sholat berjamaah di masjid. Mereka bercorak apolitis dan nir-kekerasan sehingga diterima dengan tangan terbuka oleh rezim politik otoriter di Brunei.

Kebetulan salah satu mahasiswa yang menjadi ‘asisten’ selama saya meriset di Brunei adalah pengikut Jamaah Tabligh. Mahasiswa berwajah culun dan ganteng ini pernah ikut ‘khuruj’ dan tinggal selama sebulan di Indonesia, terutama di Bandung dan Jakarta. Itulah pengalaman pertamanya pergi ke luar negeri yang jauh, selain ke negara bagian Sabah dan Serawak yang berbatasan langsung dengan Brunei.

Selama melakukan riset di Brunei, saya mencoba mengikuti sejumlah kegiatan masyarakat Brunei maupun masyarakat Indonesia yang tinggal di sini. Salah satu kegiatan menarik yang sempat saya ikuti adalah ‘ngabuburit’ alias berjalan-jalan sambil menunggu waktu berbuka di ‘Pasar Malam’ Gadong. Itu bangunan luas dan beratap tinggi, sekitar 40 x 100 meter, yang setiap sore menyajikan aneka makanan untuk berbuka. Ratusan orang beramai berkerumun menikmati aneka menu lezat khas Brunei. Saya sempat menyantap Nasi Katok, menu sederhana khas Brunei, yang berisi ayam goreng dengan sambal-cabe-ikan.

Di saat lain, saya juga ikut berbuka bersama di Masjid Ash-Shalihin yang berarsitektur unik mirip bangunan masjid di kawasan Afrika, Maroko. Sekitar seratusan orang, lelaki dan perempuan, duduk lesehan berhadap-hadapan di depan kain-plastik putih panjang yang dihamparkan nyaris melingkar di beranda tengah masjid. Di atasnya disediakan aneka minuman, buah, roti serta ‘kelupis’ (mirip lemper). Kotak nasi dengan lauk pauk disediakan seusai sholat maghrib berjamaah.

Kegiatan lain yang berkesan adalah saat mengikuti buka bersama dan shalat tarawih yang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Brunei. Acara yang dilakukan di kompleks bangunan baru KBRI tersebut dihadiri oleh ratusan warga Indonesia yang menetap di Brunei, termasuk Duta Besar RI di Brunei Darussalam Ibu Nurul Qomar. Puncak kegiatan adalah pada saat diadakan ceramah seusai tarawih yang disampaikan oleh Prof. Syamsul Bahri Andi Galigo, dosen asal Makasar yang sudah lama menetap dan mengajar di Kolej University Pengajaran Ugama (KUPU) Seri Begawan.

Salah satu topik bahasannya malam itu cukup menarik dan menyentuh: ihwal cinta tanah air. Dia menuturkan bahwa cinta kepada tanah air dan kampung halaman itu sesuatu yang baik dan bahkan dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Beliau pernah berkata bahwa “meski aku kini menetap di Madinah, namun hatiku tetap tertinggal di Makkah.” Makkah adalah kota kelahiran Nabi, sedang Madinah tempat beliau berhijrah dan kemudian menetap hingga wafat.

Dengan menggunakan contoh dari Nabi tersebut, Prof. Syam bertanya kepada hadirin: meskipun kita sudah bertahun-tahun tinggal di Brunei, bukankah hati kita masih tertambat di tanah air kita, Indonesia? Pertanyaan berikutnya: seberapa sering kita mendoakan Negara dan para pemimpin kita?

Di Brunei, hampir setiap kali doa dilantunkan dengan dipimpin oleh imam sholat, selalu dikirimkan doa kepada Sultan dan keluarganya. Karena itu ia mengakhiri ceramahnya dengan pesan kepada jamaah: marilah kita sering-sering mendoakan Negara dan para pemimpinnya. Meski mungkin kita tidak cocok dengan sebagian dari perilaku mereka, tapi bahwa mereka bisa terpilih menjadi pemimpin tidak lepas dari takdir Allah. Karena itu, marilah sering-sering kita doakan mereka agar mendapat petunjuk dari Allah SWT. Jika lebih dari 200 juta muslim berdoa bersama untuk kebaikan pemimpin dan negerinya, insya Allah akan terkabul.

Demikian pesan kebangsaan yang indah di bulan ramadhan dari Brunei Darussalam…

 

*) Muhammad Najib Azca Ph.D, santri asal Pekalongan, kini dosen Sosiologi UGM.