Masjid Al-Aqsa, bagi kami umat Islam, bukan sekedar masjid biasa. Bukan pula sekedar bangunan kuno tanpa makna. Ia adalah simbol kekuatan dan kehormatan. Kiblat pertama umat Islam. Tempat nabi panutan kami larut dalam sujud, sesaat sebelum menghadap Allah di singgasana Arsy-Nya.
Menjaganya sama saja dengan menjaga kehormatan. Kehormatan diri kami. Kehormatan masa depan kami. Juga bahkan, kehormatan agama kami. Bukankah kita tidak ingin jika ada orang lain yang dengan kasarnya hendak merenggut kehormatan kita? Tentu saja tidak.
Konflik Tanah
Saya dapati satu gambar poster yang saya rasa punya pesan begitu luar biasa, berjudul ‘treasure’. Poster ini mengisahkan tentang keberanian seorang warga Palestina bernama Abu Ahmad dalam mempertahankan tanah yang ia punya agar tidak jatuh terjual ke tangan pemerintah Israel. Sebagaimana tertulis dalam ungkapan bahasa inggris: ‘everyone knows Abu Ahmad for his strength and hard work as a rural farmer. He was bribed many times to sell this land, so it could be used to expand the settlement but he refused. His land is a treasure that can’t be bought with money. Abu Ahmad found Israeli soldiers mocked him daily, in hopes that he would give and sell his land. But he keeps his chin up. Abu Ahmad starter telling his sons about the land and how must they keep it, he looked at his land, at the crops and trees that are grown now and said, ‘This land, my children, is like a mother, it is the soul, give to it and it will give you in return. This land is all you have; it’s for you and for your children after you.’
Kurang lebih, artinya adalah: ‘Semua orang (di sini) mengenal sosok Abu Ahmad atas kegigihan dan kerja kerasnya sebagai petani desa. Dia disuap berkali-kali untuk menjual tanahnya ini oleh tentara Israel untuk kepentingan mereka memperluas pemukiman, tapi dia menolak. Tanahnya adalah harta yang tidak bisa dibeli dengan uang. Abu Ahmad mendapati tentara Israel mengejeknya setiap hari, dengan harapan bahwa dia akan memberikan dan menjual tanahnya. Tapi dia tetap memegang teguh keyakinanya. Abu Ahmad mengatakan kepada anak-anaknya tentang tanah dan bagaimana mereka seharusnya menjaganya, sambil dia melihat tanah, tanaman dan pohon yang sekarang tumbuh didepanya sambil berkata, wahai anak-anakku’ Tanah ini seperti seorang ibu, ia adalah jiwa , Berikan (cinta kasihmu) padanya dan ia akan kembali memberimu imbalan balasan. Tanah ini adalah milikmu; untukmu dan untuk anak-anakmu nantinya.’
Hemat saya, poster ini begitu sarat makna, menegaskan betapa penting dan harusnya warga Palestina mempertahankan tanah yang mereka punya. Saya juga telah sampaikan ditulisan sebelumnya, bahwasanya muara dari konflik Israel-Palestina, sesungguhnya, adalah kepemilikan lahan dan tanah. Poster ini seakan menegaskan bahwa menjaga tanah Palestina sama saja dengan mempertahankan tanah air dan generasi Palestina di masa depan. Sehingga, menjual dan membiarkan tanah dimiliki pemerintah Israel begitu saja, sama saja dengan membiarkan masa depan tanah air dan generasi Palestina hilang tanpa bekas dan sisa.
Doa dan harapan
Poster lainya yang saya temukan berisikan pesan harapan warga Palestina yang ditulis oleh Christie dari Bethlehem. Isi poster ini mengatakan: ‘I’ve been through a lot in my life while still a teenager. I saw a man got shot right in front of me and I saw Israelis shooting at our house. But I never stopped smiling and hoping. I hope that Israelis and Palestinians will find a way to live in peace and that there be no wall’. Yang Artinya kurang lebih demikian: ‘Saya telah mengalami banyak hal dalam hidup saya saat masih remaja. Saya melihat seorang pria tertembak tepat di depan mata saya dan saya juga melihat orang-orang Israel menembaki rumah kami. Tapi saya tidak pernah berhenti tersenyum dan berharap. Agar orang-orang Israel dan Palestina menemukan cara untuk hidup dalam damai tanpa adalagi sekat penghalangnya.’
Melalui poster ini kita semakin mengerti bahwa apa yang mereka (orang Palestina) harapkan, sesungguhnya, adalah perdamaian, yang mereka dambakan adalah keadilan, yang mereka butuhkan adalah kebebasan. Terbebasnya mereka dari jeratan konflik dan sekat ‘dinding apartheid’ ini akan terus menjadi bagian dari untaian doa mereka sehari-hari.
Dito Alif Pratama, penulis adalah mahasiswa Vrije University Amsterdam.