Sebagaimana sudah saya sampaikan di tulisan sebelumnya tentang Israel dan Tembok Apartheidnya, pembangunan dinding pemisah (Apartheid Wall) oleh pemerintah Israel sungguh menambah beban derita warga Palestina. Akses dan mobilisasi mereka menjadi makin sulit dan terbatas. Lahan pekerjaan menjadi minim, sanitasi pengairan kian buruk, akses pendidikan jadi sulit, dan bahkan fasilitas kesehatan pun jadi kian carut-marut.
Untuk melewati tembok Apartheid, warga Palestina terlebih dahulu harus melewati check point terdekat dari daerah mereka. Sesampainya di sana, oleh petugas/tentara Israel, mereka akan diminta untuk menunjukan kartu tanda penduduk sambil menjelaskan alasan dan tujuan mereka masuk ke dalam ‘wilayah teritorial Israel’ tersebut. Banyak dari mereka yang dilarang masuk, bahkan tidak sedikit yang sudah di black list karena dirinya atau keluarga dan keturunanya telah dicap sebagai musuh/oposisi pemerintah Israel.
Saya sempat menyaksikan betapa menyedihkannya suasana check point di pagi hari. Tampak antrian panjang warga Palestina dengan raut wajah yang begitu lesu dan pasrah hendak melewati check point tersebut. Antrian mengular panjang seperti keramaian orang yang hendak mengantri beli sembako murah. Kondisi demikian terjadi karena memang tidak sedikit warga Palestina yang mempunyai ladang/sawah dan tempat bekerja di wilayah yang kini dibatasi tembok pemisah tersebut. Saya sempat bertanya kepada salah satu warga yang hendak menunggu antrian check point disana, apa alasan bapak mau mengantri sepanjang ini dan rela lakukan ini setiap hari? Dengan singkat ia jawab, ‘keluarga saya perlu makan, ladang usaha kami ada di seberang sana. Mau bagaimana lagi, ini hidup yang harus kami jalani.’ Sangat mengharukan.
Sejatinya, telah banyak cara dilakukan warga Palestina untuk mengungkapkan betapa pedihnya penderitaan yang mereka alami dalam kurun ‘penjajahan modern’ ini. Setidaknya, mereka berupaya untuk mengetuk hati dan rasa iba ‘kemanusiaan’ jutaan manusia di dunia tentang apa yang mereka alami dan rasakan saat ini. Salah satu caranya adalah dengan menempel poster dan membuat gambar (art street) di sepanjang dinding apartheid tersebut. Cara ini seakan menjadi satu-satunya senjata ampuh yang bisa mereka lakukan untuk menyampaikan pesan kepada turis yang berkunjung kesana. Dengan harapan, para turis tersebut bisa melihat, memahami makna pesan hingga menyebarkanya pada khalayak luas di seluruh penjuru dunia.
Ini adalah salah satu foto yang begitu sangat menyentuh hati saya. Saya ambil foto ini di tembok kokoh yang membentang di sepanjang jalan Banksy’s shop, tidak jauh dari check point, Bethlehem. Menurut saya, foto ini hendak menyampaikan dua pesan, pertama, dinding apartheid ini merupakan simbol pembeda kasta antar warga Israel dan Palestina. Singkat kata bisa dikatakan, warga Israel sebagai golongan kaya dan warga Palestina sebagai golongan miskin (baca: harta). Ini karena wilayah Israel, secara umum, sangatlah layak dihuni manusia, dilengkapi dengan fasilitas sarana dan pra sarana yang sangat modern dan istimewa. Sedangkan, wilayah Palestina justru jauh sebaliknya, airnya sering kering, daerahnya cukup gersang dan jauh dari kata modern.
Kedua, foto ini juga merupakan sebuah refleksi pesan rindu masyarakat muslim Palestina untuk berkunjung ke Masjid Al-Aqsa di Jerusalem. Sebelum adanya tembok pemisah, mengunjungi Masjid Al-Aqsa bukanlah hal yang sulit bagi mereka. Mereka bisa kapan saja mengunjungi masjid yang merupakan kiblat pertama umat Islam tersebut, walau di lapangan ada pengawasan khusus dari tentara Israel di sekitar wilayah Haram al-Sharief, tempat masjid Al-Aqsa berada. Kondisi jadi jauh berbeda manakala tembok kokoh apartheid tersebut dibangun pada tahun 2002, akses mereka kesana jadi kian tidak mudah. Untuk warga Palestina yang tinggal di luar kota Jerusalem, ada sedikitnya dua check point yang harus mereka lalui, check point pertama saat akan masuk kota Jerusalem dan check point kedua saat akan masuk wilayah kawasan Haram al-Sharief. Kedua check point tersebut dilengkapi dengan peralatan keamanan modern dan dijaga ketat para tentara Israel.
Baru-baru ini, baku hantam antara warga Palestina dan tentara Israel kembali terjadi di kawasan masjid Al-Aqsa. Fenomena inipun seakan menjadi luapan emosi masyarakat Muslim Palestina untuk menyampaikan suara hati mendamba tegaknya kebebasan beribadah di masjid Al-Aqsa sebagaimana dulu kala. Kondisi kian diperparah dengan adanya wacana yang berkembang di masyarakat tentang rencana pemerintah Israel menjadikan Jerusalem sebagai ibukota negara mereka. Kecaman demi kecaman, khususnya dari umat Islam Palestina dan di seluruh penjuru dunia pun terus digulirkan. Mengecam aksi tindakan kejahatan kemanusiaan dan penjajahan terstruktur di Palestina ini agar bisa segera diselesaikan.
Saya bisa merasakan alasan mengapa umat Islam di dunia begitu marah dan mengecam tindakan pemerintah Israel yang terus membatasi akses dan ruang gerak umat Islam, khususnya Muslim di Palestina untuk pergi ke Masjid Al-Aqsa.
Baca lanjutannya, di sini.
Dito Alif Pratama, penulis adalah Mahasiswa Vrije University Amsterdam.