Nadia Murad Basee Taha nama lengkapnya, perempuan dari etnik Yazidi, sebuah suku bangsa yang banyak mendiami Provinsi Nineveh, Irak Utara.
Membincang Nadia tak bisa dipisahkan dari membincang Bangsa Yazidi. Atribut sebagai perempuan Yazidi itulah yang membuat Nadia diculik, dijadikan obyek seksualitas, dan bahkan diperkosa ramai-ramai oleh sekumpulan laki-laki berwatak amoral yang menamakan diri al-Dawla al-Islamiyah Al Iraq Al Sham (Daesh) atau yang lebih dikenal d Indonesia dengan sebutan ISIS (Islamic State in Iraq and Syiria).
Yazidi adalah komunitas etnik-religius yang mewarisi sebuah tradisi sinkretisme Syiah-Sufi yang dipadu dengan kepercayaan lokal. Bangsa Yazidi percaya adanya Tuhan Yang Esa, yang Maha Segala Maha. Tuhan yang Esa ini mempercayakan keberlangsungan semesta pada 7 malaikat suci dengan Malek Taus sebagai ketua para malaikat itu.
Kisah Malek Taus dituduh oleh komunitas Islam dan Kristen sebagai metafora dari Iblis. Suatu ketika Tuhan meracik air dan debu, yang dengan nafas-Nya, Ia tiup racikan itu dan terciptalah Adam. Kemudian, semua malaikat Ia perintahkan sujud kepada Adam. Semua malaikat bersujud kecuali Malek Taus. Malek Taus menolak tunduk pada Adam dengan berseloroh :
“Bagaimana aku bisa tunduk kepada makhluk lain ? aku berasal dari iluminasi-Mu, sementara Adam berasal dari debu”
Dalam pandangan Yazidi, perintah tunduk pada Adam itu adalah sebentuk ujian dari Tuhan kepada Malek Taus, apakah Malek Taus sadari diri dengan kemuliaan-kemuliaannya atau tidak. Belakangan, setelah kejadian itu, Tuhan memuji Malek Taus dan menjadikannya pemimpin semua malaikat dan wakilnya di Bumi.
Cara pandang itulah yang dijadikan alasan ISIS melakukan genosida kepada Bangsa Yazidi. Kaum laki-lakinya dibunuh dan kaum perempuannya dijadikan budak seks, termasuk Nadia.
Atribut ka-Yazidi-an itu mengirim Nadia menjemput takdirnya sebagai perempuan. Ia disekap, dipaksa memakai baju seksi, dan sekaligus menjadi pemuas nafsu pasukan ISIS.
Suatu ketika, perempuan yang baru berusia 19 tahun itu melihat celah untuk melarikan diri. Namun, sayang, ia kepergok pasukan ISIS. Dan, malangnya, setelah itu, Nadia diperkosa ramai-ramai oleh pasukan yang jaga saat itu.
Nadia depresi, frustasi, dan nyaris putus asa. Namun, semesta tidak rela takdir Nadia berakhir getir dan tragis, tanpa ada kisah yang dapat disuarakan.
Nadia menjemput kebebasannya sebagai budak seks tatkala seorang milisi ISIS lengah. Nadia memberanikan diri keluar dari sekapan dan berhasil. Dibantu oleh sebuah keluarga Muslim, Nadia merdeka.
Kebebasannya ia rayakan dengan menjadi perempuan tangguh yang mengkampanyekan gerakan anti-perbudakan seks bagi perempuan. Nadia tidak membisu dia bicara lantang. Nadia menjawab dengan lugas pertanyaan Gayatri Spivak, “Can subaltern speak ?” “Yes, I Can”.
Bagi Nadia, memberi kabar pada dunia tentang pelecehan seksual dan pemerkosaan yang ia alami merupakan salah satu bentuk terapi traumatik sekaligus kampanye agar hal serupa tidak terulang.
Kepada dunia, Nadia berujar :”Saya diperkosa ramai-ramai. Memperkosa perempuan hasil rampasan perang adalah bagian dari perjuangan ISIS”. Di lain kesempatan, kepada jurnalis, Nadia berkomentar :”I was an ISIS sex slave. I tell my story because it is the best weapon I have”.
Nadia adalah puncak gunung es perempuan abad 21. Peradaban manusia telah memasuki kemajuan teknologi sedemikian rupa namun perempuan dan tubuhnya masih menjadi obyek seksualitas rezim patriarki.
Atas alasan itu, cukup beralasan bahwa Akademi Swedia menganugerahi Nadia Murad Basee Taha (bersama dr. ) sebagai peraih Nobel perdamaian. Pesan dari Nadia bukan hanya tentang menghentikan sebuah perang tetapi juga menghentikan segala bentuk pelecehan seksual, pemerkosaan, dan perbudakan seksual pada perempuan. Pesan dari Nadia adalah suara bawah sadar perempuan yang sering tidak sudi didengar oleh bagian terbesar laki-laki.
Lebih dari itu, bagi Akademi Swedia anugerah Nobel untuk Nadia menjadi semacam “pengakuan dosa”. November 2017, Akademi Swedia diguncang badai, Jean Claude Arnault seorang fotografer terkemuka , sekaligus suami dari Katarina Frostenson (Juri Nobel Sastra) digugat oleh 18 perempuan atas tuduhan kekerasan dan pelecehan seksual. Belakangan, posisi Katarina Frostenson dipecat sebagai anggota akademi Swedia, yang salah satu dampaknya tiada anugerah Nobel Sastra di tahun ini.
Pelecehan seksual yang dilakukan oleh Arnault merupakan tamparan keras bagi Akademi Swedia. Lebih lagi, Jean Claude Arnault bersama Katarina Frostenson mengelola pusat kebudayaan Stockholm yang secara berkala didanai oleh Yayasan Nobel.
Fakta ini menunjukkan bahwa pesan dari Nadia bersifat universal dan maha penting, bahkan pesan ini menghujam sangat keras kepada para pihak di balik Akademi Swedia itu sendiri.
Memuliakan perempuan adalah perjuangan penting abad 21. Nadia mengirim pesan untuk kita semua.