Seorang teman sempat bercerita bahwa ia ingin untuk berubah, berhijrah. Ia sudah terlebih dahulu membeli beberapa pasang baju gamis beserta kerudungnya melalui salah satu e-commerce yang cukup terkenal di Indonesia. Saya tak seberapa kaget mendengar ceritanya, toh siapapun boleh berubah menjadi lebih baik, bukan?
Mendengar dukungan yang saya berikan, ia semakin semangat membeli beberapa aksesoris dan model pakaian. Ia menunjukkan kepada saya video beberapa artis menggunakan model pakaian tertentu. “Kalau gue pake gamis kayak artis ini kayaknya lebih anggun, ye?” celetuknya. Saya hanya ketawa-tawa sembari mendengarnya latar belakangnya bisa ingin berubah itu.
Saya jadi ingat salah satu bab dari buku al-Ghazali berjudul “Bidayatul Hidayah” yang membahas tentang “al-qaul fijtinaabil ma’ashi”, yaitu anjuran untuk menjauhi maksiat. Dalam penjelasannya, al-Ghazali mengutip salah satu hadis Rasulullah SAW yang berkaitan dengan hijrah, yaitu:
المهاجر من هجر السوء، والمجاهد من جاهد هواه
“Seorang muhajirin atau orang yang hijrah adalah orang yang mampu melepaskan diri dari segala keburukan. Sedangkan seorang mujahid (orang yang berjihad) adalah orang yang memerangi hawa nafsunya.”
Hadis ini sendiri, jika kita verifikasi dalam beberapa kitab hadis tidak ditemukan redaksi yang terhubung seperti redaksi di atas, yaitu membahas muhajir dan mujahid. Dalam banyak kitab hadis, nukilan muhajir dan mujahid lebih sering terpisah dan berbeda konteks atau periwayatan.
Dalam Musnad Ahmad misalnya, redaksi hadisnya hanya terbatas pada al-muhajir man hajara su’ dan tidak menyebutkan redaksi al-mujahid (dst.) sebagaimana redaksi hadis yang dikutip al-Ghazali. Sedangkan potongan al-mujahid dst., tidak ditemukan (sementara) dalam beberapa kitab hadis yang dianggap sebagai kitab hadis bisa dijadikan sebagai kitab ushul dalam mentakhrij hadis (menurut Mahmud at-Tahhan). Sehingga kesimpulan sementara, redaksi al-mujahid dst. dalam potongan hadis di atas adalah mudraj (sisipan) dari Imam al-Ghazali.
Jika demikian, apa motivasi al-Ghazali mengutip hadis di atas dan menambahkan redaksi al-mujahid dst.?
Pertama yang harus kita fahami adalah al-Ghazali ingin membahas tentang maksiat. Dalam pembahasannya tersebut al-Ghazali menekankan bahwa menjauhi keburukan lebih sulit dari pada mengerjakan ketaatan. Titik tekan al-Ghazali dalam Bidayatul Hidayah tersebut jelas, yaitu ia fokus pada menjauhi hal-hal buruk, bukan hanya melakukan perbuatan baik. Sehingga wajar jika ia menambahkan kata al-mujahid dengan diasosiasikan kepada orang yang memerangi hawa nafsu.
Al-Ghazali seperti ingin menggambarkan bahwa orang yang berhijrah,mungkin bisa dengan mudah mengerjakan kebaikan, tapi mereka tidak bisa meninggalkan keburukan-keburukan yang sudah menjadi kebiasaan dengan mudah. Salah satu contoh keburukan yang bisa jadi dimaksud al-Ghazali adalah berada pada potongan hadis yang ia kutip, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad, al-Hakim, al-Bazzar, dan beberapa ulama lain, yaitu:
والذى نفسى بيده لا يدخل الجنة عبد لا يأمن جاره بوائقه
“Demi Dzat yang nyawaku (Muhammad) ada pada kekuasaan-Nya, tidak akan masuk surga orang yang tetangganya tidak aman dari keburukannya.”
Maksud dari tetangganya tidak aman dari keburukannya adalah bisa jadi ia dengan mudah menyakiti tetangganya, menggunjingnya, menjelek-jelekkannya dan lain sebagainya. Perbuatan ini adalah salah satu perbuatan jelek yang menjadikan hijrah kita tidak sempurna, karena hanya fokus mengerjakan kebaikan, bukan meninggalkan keburukan-keburukan yang lama.
Bisa jadi juga dalam kasus yang lain, keburukan itu awalnya tidak ada dalam diri kita saat sebelum hijrah, namun setelah hijrah keburukan itu mulai muncul bahkan merubah sifat dan tabiat kita, seperti merasa diri paling baik dari orang lain yang tidak hijrah. Disadari atau tidak, hal ini adalah salah satu perbuatan buruk yang sangat dan harus dihindari saat hijrah, sebagaimana kata al-Ghazali.
Lebih parah lagi al-Ghazali mengatakan, melakukan hal-hal yang buruk dengan nikmat yang telah diberikan Allah kepada kita adalah kekufuran (nikmat) yang nyata.
فاستعانتك بنعمة الله على معصيته غاية الكفران
“Menggunakan nikmat Allah SWT untuk bermaksiat adalah puncak kekufuran”
Keinginan untuk hijrah adalah merupakan salah satu nikmat Allah SWT yang harus kita syukuri. Tapi jika kita menggunakan nikmat Allah SWT berupa keadaan hijrah tersebut untuk bermaksiat kepada Allah, seperti merasa diri paling baik atau menjelekkan orang lain, maka itu adalah bukti kekufuran nikmat yang paling tinggi.
Oleh karena itu, kaul al-Ghazali ini perlu kita renungkan, pelajari, dan amalkan, terlebih bagi kita yang sudah sampai pada taraf hijrah.
Mendengar kabar teman yang ingin berhijrah, kita tentu harus mengapresiasinya, namun kita juga harus mampu mengarahkan mereka agar tidak salah juga dalam berhijrah, terlebih jangan sampai berseberangan dengan pesan al-Ghazali di atas.
Wallahu a’lam.