Seyogianya kita semua memahami bahwa semua perintah dan larangan Allah Swt (syariat Islam) tidaklah berdiri pada satu tumpuan belaka, satu ayat, satu hadis, lalu dengan gebyah-uyah kita eksekusi. Bahkan jikapun hanya ada satu posisi bagi kita pada suatu keterangan dalil –sebutlah “ubahlah dengan hatinya dan itu adalah selemah-lemahnya iman”—ia pun seyogianya bisa diterima legawa dengan menimbang ragam aspek dan konteks yang bertujuan semata demi mendapatkan kemungkinan terbaik bagi ejawantah satu tujuan pokok syariat, yakni dar-ul mafasid dan jalbil mashalih (menghilangkan kerusakan dan menarik kemaslahatan).
Jika Anda memaksakan diri melesak ke luar batas kewenangan dan kompetensi, niscaya ia rawan madharat. Risiko ini lebih utama untuk dihindarkan daripada malah menakik perilaku yang bertentangan dengan tujuan pokok syariat itu. Clue-nya, mari ingat selalu, dar-ul mafasid harus lebih didahulukan daripada jalbul mashalih.
Bahwa karena keterbatasan kewenangan dan kompetensi lantas menjadikan kita bertengger di tingkatan ketiga itu (dengan hati), itu pun mesti kita pahami sebagai bagian dari Kemurahan Allah Swt yang tetap menyediakan ruang iman bagi kita, sekaligus cermin bagi betapa Allah Swt dan syariat Islam senantiasa lebih mendahulukan kemaslahatan hidup ketimbang kekacauannya walau di dalamnya mengandung kemungkinan praktik kemungkaran.
Lagi pula, bukankah tak ada seorang pun dari kita yang bisa menilai bagaimana dan seberapa sebenarnya yang dimaksudkan Allah Swt sebagai “selemah-lemahnya iman” itu? Dan, juga amat mungkin narasi demikian bagai cambuk bagi setiap kita untuk terus berusaha meningkatkan kualitas kita menuju tingkat pertama atau kedua, yang itu berarti harus dimulai dari diri sendiri masing-masing. Maksud saya, jika dulunya kita adalah kaum awam belaka, sehingga tingkatan kita dalam skema gerakan amar ma’ruf nahi munkar adalah dengan hati, seyogianya kita termotivasi untuk berusaha menaikkan level diri ke tingkat kedua, misal. Tentu, kita paham, dakwah dengan lisan (penceramah, pendakwah, guru, tokoh) mesti didasari oleh khazanah ilmu pengetahuan yang mumpuni. Itu artinya kita mesti belajar sungguh-sungguh, thalabul ilmi, hingga pantas memangku peran tingkat kedua itu.
Ini jika kita bersandar penuh pada matan hadis riwayat Abu Said al-Khudri.
Jika kita memasuki matan hadis riwayat Abdullah bin Mas’ud, kelindan kegembiraan bisa lebih rekah ruah di wajah dan hati kita. Hadis ini tidak menyertakan narasi “dan itulah selemah-lemahnya iman” bagi tiga tingkatan praktik amar ma’ruf nahi munkar. Semua tingkatan mendapat predikat yang sama, yakni fahuwa mu’min (maka dia mukmin) –bahkan walaupun pada tingkat paling bawah dan umum yang bisa kita jangkau, yakni dakwah (jihad) dengan hati, ia dijadikan pembatas antara kaum mukmin dan bukan mukmin. Bukankah adanya pengakuan Rasulullah Saw bagi kemukminan ini semestinya telah cukup bagi kita semua untuk tetap berbahagia dan bersyukur, daripada Anda justru membuat blunder akibat memaksakan diri merangsak ke tingkatan pertama atau kedua –yang bukan hak ulul amri Anda—hingga terjatuh pada ngarai pertikaian dan permusuhan yang terlarang.
Kunci finalnya, saya kira, adalah “tahu kapasitas diri” di hadapan skema praktik amar ma’ruf nahi munkar itu.
Kedua, gerakan amar ma’ruf nahi munkar harus dijalankan dengan asas kemakrufan, bukan kemungkaran.
Sifat asali agama Islam adalah kerahmatan. Wama arsalkana illa rahmatan lil ‘alamin. Sifat asali mukmin adalah wuddan (kasih sayang) dan haunan (rendah hati).
Amar ma’ruf nahi munkar adalah perintahNya yang bertujuan untuk semakin meruahkan nilai-nilai kemakrufan (kerahmatan) seiring dengan semakin pudar tenggelamnya nilai-nilai kemungkaran.
Sifat rahmat mustahil bermesraan dengan kekasaran dan kekerasan. Sifat rahmat mustahil sepelaminan dengan antonim wuddan dan haunan. Sebab itulah, agar sifat esensial kerahmatan Islam bisa terus terpelihara –termasuk dalam gerakan amar ma’ruf nahi munkar—maka ia harus sepenuhnya mengutamakan dan mendahulukan asas kemakrufan. Ini prinsipnya.
Jika suatu kemungkaran diusahakan untuk dihilangkan, berganti kemakrufan, tetapi dijalankan dengan cara-cara yang tidak makruf, ia sejatinya malah sedang mengobarkan kemungkaran. Kerahmatannya tak berjalan, justru kemungkarannya (dalam bentuk-bentuk lainnya, misal kekerasan dan kekacauan sosial) yang merajalela. Ini jelas anomali, tak bisa diterima. Karenanya, kaidah dakwah yang harus selalu pula digenggam adalah la yuzalu al-dharar bi al-dharar, suatu kemadharatan (kemungkaran) tidak boleh dihilangkan dengan menjalankan kemadharatan (kemungkaran) lainnya.
Kita bisa menggali lebih jauh keterangan ini dari surat Ali Imran ayat 110:
“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan kepada manusia, mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran dan beriman kepada Allah Swt….”
Sifat dan perilaku “umat terbaik” pada dirinya sendiri tentulah sepengantin semata dengan nilai-nilai kebaikan (makruf) dan berberai dengan nilai-nilai keburukan (mungkar). Mustahil akal sehat bisa menerima julukan “umat terbaik” bagi orang-orang yang fasih memaki, menghina, membentak, atau melaknat orang lain. Pasti begitu! Akal sehat baru akan menerima bila julukan “umat terbaik” itu disematkan pada orang-orang yang welas asih (wuddan) dan rendah hati (haunan) –dan inilah penyifatan al-Qur’an kepada sang mukmin.
Sebab itulah, demi terus menjaga marwah “uamt terbaik” yang telah dihadiahkanNya kepada umat ini, semestinya segala gerakan amar ma’ruf nahi munkar juga harus disterilkan dari segala ungkapan dan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai kebaikan (kemakrufan) itu. Kiranya, di titik ini, tidak ada lahan kemungkinan bagi bertunasnya pemahaman-pemahaman yang mengasong sikap-sikap keras, kasar, hegemoni, intimidasi, agitasi, dan provokasi.
Ketiga, gerakan amar ma’ruf nahi munkar bisa disebut berhukum fardhu kifayah pada tingkatan pertama (dengan tangan) dan kedua (dengan lisan), dan berhukum fardhu ‘ain pada tingkatan ketiga (dengan hati).
Surat Ali Imran ayat 104 menyertakan kata “minkum” (sebagian dari kalian) atas perintah amar ma’ruf nahi munkar ini. Jika hanya berdiri dengan ayat tunggal ini, bisa saja kita menarik pemahaman bahwa amar ma’ruf nahi munkar adalah fardhu kifayah (asal sudah ada sebagian muslim yang mengerjakan, maka tunailah kewajiban itu). Karena ia dianggap fardhu kifayah, tentu ia tidak berlaku bagi semua orang Islam selayaknya fardhu ‘ain.
Tetapi, jika kita juga merujuk pada ayat-ayat lain yang tidak menyertakan kata “minkum”, serta dua hadis di atas, kita bisa mengail pemahaman bahwa amar ma’ruf nahi munkar berlaku bagi semua orang. Karenanya, ia bersifat fardhu ‘ain.
Akan tetapi, demi melihat praktik amar ma’ruf nahi munkar dalam skema tingkatan-tingkatannya tadi, kita bisa mendapatkan pemahaman yang bersifat holistik dan hierarkis: pertama, amar ma’ruf nahi munkar dalam tingkatan ketiga (dengan hati) adalah fardhu ‘ain, wajib bagi semua muslim. Ini bisa mudah dipahami jika kita memegang keterangan bahwa seorang muslim hendaknya beriman dan beramal saleh (aminu wa ‘amilus shalihat) sebagai ejawantah kekafahan iman dan Islamnya. Kepada kemungkaran, sewajibnya kita menghindari, karena ia bertentangan dengan syariat Islam. Jika ada orang lain yang melakukan suatu kemungkaran, menjadi kewajiban bagi kita untuk menolaknya, menghindarinya, hingga menghilangkannya. Dan kewajiban ini bisa ditunaikan melalui sikap menolak praktik kemungkaran itu walau dalam hati belaka. Dalam skema begini, kita dapat dikatakan telah menunaikan ajaran amar ma’ruf nahi munkar.
Tetapi pada tingkatan pertama (dengan tangan) dan kedua (dengan lisan), jelas ada ulul amri-nya masing-masing, yang tidak mungkin didaku semua orang. Itu artinya sebagian orang (minkum). Tepat pada titik inilah kita bisa memahami status kedua, bahwa amar ma’ruf nahi munkar bersifat fardhu kifayah.
Keempat, amar ma’ruf nahi munkar dalam konteks taklif bagi semua orang Islam (fardhu ‘ain) kiranya akan sangat produktif bila ditakikkan pada berurusannya diri kita masing-masing dengan amal-amal kemakrufan (al-amru bil ma’ruf) dan tercegahnya diri kita masing-masing dari amal-amal kemungkaran (al-nahyu ‘anil munkar).
Kita bisa mendapatkan pemahaman ini dari kata “amrun” (urusan) yang berasal dari akar kata yang sama dengan amara. Jika kita menyebutkan “al-amru bil ma’ruf”, ia berarti “suatu urusan (berurusan) dengan kemakrufan”. Kita bisa menakik ayat-ayat “amilus shalihat” yang luar biasa banyak dalam al-Qur’an sebagai ejawantah bagi “al-amru bil ma’ruf” itu. Ia berarti adalah intimnya diri kita semua dengan amal-amal kesalehan, kemakrufan.
Bawaan otomatisnya dari individu-individu ‘amilus shalihat demikian tentulah “al-nahyu ‘anil munkar”, yang berarti “ketercegahan diri dari kemungkaran”. Ejawantahnya tentulah amat luas betul, baik dalam ranah relasi diri dengan Allah Swt (hablun minaLlah) ataupun ranah relasi diri dengan sesama (hablun minannas).
Dengan kata lain, gerakan amar ma’ruf nahi munkar memang seyogianya dimuasali dari dan pada diri masing-masing. Diri setiap kita ini adalah individu-individu yang akan mempertanggungjawabkan langsung segala amal perbuatan kita selama hidup di dunia. Ajaran raja’ (harapan, permohonan pada Allah Swt) dan khauf (takut kepada Allah Swt) semestinya selalu kita pupuk, tanamkan, ajarkan kepada diri kita masing-masing terlebih dahulu –hingga menjelma derajat amanu wa ‘amilus shalihat .
Jangan sampai kita gencar ber-amar ma’ruf nahi munkar ke luar, ke masyarakat, demi menegakkan syiar syariat Islam libtighai mardhatiLlah, tetapi justru kita alpa ke dalam diri sendiri. Tentu ini hierarki yang luput. Al-Qur’an telah mengingatkan: qu anfusakum wa ahlikum nara, jagalah dirimu (pertama) dan keluargamu (kedua) dari api neraka….
Sampai di gerbang ini, dengan terang lagi benderang kita telah mengerti bahwa ejawantah ajaran amar ma’ruf nahi munkar seyogianya semata dijalankan dengan penuh pertimbangan rasional, pemahaman yang saksama terhadap konteks-konteks yang melingkupi, khazanah ilmu yang luas dan mendalam, serta kearifan dan kebijaksaan hati yang cemerlang demi terus merawat pijar-pijar cahaya kerahmatan dan kemakrufan.
Semoga Allah Swt senantiasa membimbing kita semua di jalanNya. Amin ya Rabbal ‘alamin.
Wallahu a’lam bish shawab.