Hari-hari ini, pemerintah Prancis sedang mendapat banyak kritik atas inkonsistensinya menangani sekularisme ekstrem mereka. Laïcité, sebutan sistem sekularisme tersebut, sejauh ini bekerja dengan bimbang dan penuh dilema.
Di satu sisi, Prancis sangat ketat membatasi simbol dan aktivitas keagamaan di ruang publik, tapi di sisi lain eksesnya membawa momok terorisme dan dugaan separatisme di tubuh kelompok beragama. Bagaimana bisa?
Sejak tahun 1905 Prancis mulai tegas memisahkan negara dengan agama (dalam konteks ini otoritas gereja). Sejak itu pula laïcité lahir. Melalui konsep sekularisme ini, negara pada akhirnya tidak memfasilitasi lembaga agama apa pun atau mencampuri urusan mereka, sehingga komunitas agama yang ada harus bisa independen secara finansial atau sumber daya manusia.
Prancis sendiri menjadi negara dengan jumlah muslim terbesar di Eropa. Hal ini tidak terlepas dari imigrasi besar-besaran bangsa Afrika dan Arab yang terjadi pada akhir tahun 1960-an hingga 1970-an. Kini, dampak laïcité menyebabkan komunitas muslim di sana harus bertahan dengan bantuan negara-negara Islam di luar Prancis. Bantuan-bantuan ini bisa berupa dana untuk masjid, impor imam, atau pengiriman guru bahasa.
Dari sinilah filtrasi tidak terjadi maksimal akibat negara yang tebal telinga. Setelah Prancis menderita serangan besar-besaran oleh sekolompok islamis ekstrem dalam beberapa tahun terakhir, negara mulai membuka mata dan telinga. Terlebih, selama ini Emmanuel Macron selalu menjauhi isu-isu terkait komunitas muslim Prancis, dan lebih berfokus pada reformasi ekonomi.
Beberapa hari lalu, Presiden Macron baru saja mengeluarkan pernyataan untuk mengehentikan impor imam dan guru dari sembilan negara Islam (termasuk Aljazair, Maroko, Tunisia, dan Turki) yang sempat ia ajak kerjasama. Sang Presiden khawatir akan munculnya resiko separatisme, sebab guru-guru tersebut mengajarkan bahasa kepada siswa yang berasal dari negara-negara ini.
Kali ini Macron tidak akan membiarkan negara mana pun “memberi makan” separatisme. Atas nama kedaulatan republik, ia menyebut bahwa menghadirkan hukum Turki (atau negara mana pun) di atas hukum nasional Prancis yang berlaku adalah hal mustahil.
Di samping itu, secara bertahap Macron juga akan mengakhiri sistem pengiriman imam yang biasa berkhotbah di masjid-masjid Prancis. Ia mengatakan ada 300 imam yang dikirim ke Negara Mode tersebut setiap tahun oleh negara-negara Islam, dan mereka yang tiba pada 2020 akan menjadi yang terakhir tiba dalam jumlah tersebut.
Sebagai gantinya, pemerintahnya telah meminta badan yang mewakili Islam di Prancis untuk menemukan solusi untuk melatih para imam di tanah Prancis. Ia juga memastikan mereka dapat berbicara bahasa Prancis dan tidak menyebarkan pandangan Islam radikal.
Pada titik ini, laïcité memang terlihat mengendur akibat kompromi yang signifikan. Negara, sedikit banyak, mulai ikut campur urusan agama dan penganutnya. Meski begitu, kritik pada pemerintah supaya lebih melenturkan sekularismenya malah semakin berdatangan.
Abdallah Zekri, delegasi umum Conseil Français du Culte Musulman (CFCM), badan yang dipilih secara nasional untuk regulasi kegiatan keagamaan muslim, mengatakan bahwa kebijakan yang hendak diambil pemerintah belum bisa dipastikan layak diterapkan atau tidak. Baginya, yang paling jelas saat ini, jika menghentikan impor imam tanpa solusi terang maka akan ada masalah baru yang datang.
Pemerintah harus mulai berhenti memalingkan muka dari masjid jika tidak ingin mendapat belas kasihan dari para ekstrimis seperti yang mereka takutkan. “Si l’Etat veut avoir des imams français républicains, il faut qu’il mette la main à la poche,” kata Zekri. Ia mendesak pemerintah supaya sudi mengeluarkan uang dari kantongnya jika menginginkan para imam moderat yang pro-republik.
Saat ini, Prancis memiliki total 2.500-2.700 masjid dan tidak memiliki cukup imam. Doa-doa dan ritual ibadah seringkali dipimpin oleh jamaah yang lebih mengerti al-Qur’an dan dilakukan secara sukarela. Salah satu yang dikhawatirkan adalah regenerasi imam tidak akan berjalan baik jika impor imam dihentikan. Padahal kebutuhan pemuka agama Islam di Prancis cukup besar.
Untuk menghindarinya, sepertinya pemerintah memang perlu membanting stir untuk berkompromi lebih jauh lagi. Laïcité perlu sedikit sentuhan kepedulian pada agama dalam sektor-sektor tertentu. Mereka harus turun untuk melatih lebih banyak imam di Prancis yang mengetahui hukum republik dan berpandangan moderat. Negara juga perlu memfasilitasi dan menambah jumlah pusat pelatihan imam. Dan yang paling penting mereka harus merogoh kocek untuk, setidaknya, memberi dukungan finansial pada masjid.
Kritik yang datang sebenarnya tidak hanya muncul dari kelompok muslim saja. Macron terus menerus diserang oleh pemimpin sayap kanan Prancis, Marine Le Pen, tentang masalah bagaimana mengintegrasikan muslim Prancis.
Di tengah-tengah gelombang xenofobia dan islamofobia yang melanda Eropa, Prancis memiliki PR besar untuk menjaga ketertiban dan kedaulatan negaranya sekaligus. Dilema sekularisme ini terus bergulir, entah sampai kapan, hingga mereka menemukan bentuk dan strategi yang tepat dalam menangani persoalan impor agamawan yang rentan disusupi ideologi ekstrim tersebut. Tentu saja, tanpa mengubah banyak hal dalam konsep laïcité yang telah disepakati para founding father mereka.
Laiknya kita yang terus tumbuh dan berbenah diri (meski lambat) atas segala permasalahan yang kita hadapi di Indonesia, Prancis juga membutuhkan reinterpretasi yang lebih kontekstual atas sistem, hukum, dan undang-undang di negara mereka. Di atas semua itu, kita memiliki satu tujuan bersama untuk memperjuangkan nilai keadilan dan kemanusiaan dalam hidup berbangsa dan bernegara.