Ibn Rushdi dan Ibn Arabi adalah dua sarjana muslim yang memiliki pengaruh besar baik di dunia Arab maupun Barat. Dalam sejarah pemikiran Islam (terutama bagian Barat, baca: Andalusia atau Spanyol), disiplin ilmu tasawuf dan filsafat memiliki hubungan yang cukup unik. Hal tersebut bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Mengingat di daerah tersebut pernah muncul dua tokoh besar yang memiliki kapasitas keilmuan dalam dua bidang ilmu tersebut.
Ya, siapa yang tak mengenal sosok filsuf besar Ibnu Rushdi sebagai representasi dari ahli filsafat Islam. Dan Syeikhul Akbar Ibnu Arabi sebagai sufi agung bahkan konon terbesar dalam sepanjang sejarah di Andalusia.
Pemikiran serta karya-karya dari kedua tokoh besar umat Islam ini dari dahulu telah menarik perhatian para sarjana dan akademisi. Baik sarjana muslim sendiri maupun sarjana-sarjana Barat. Meskipun demikian, masih cukup jarang menemukan tulisan khusus yang membahas sejarah perjumpaan sekaligus “perdebatan” dua tokoh besar ini.
Justru yang banyak ditulis dan dikaji oleh para pemerhati pemikiran Islam adalah perdebatan antara Imam al-Ghazali dengan Ibn Rushdi. Padahal keduanya tidak pernah berjumpa. Hanya karena Imam al-Ghazali menulis kitab Tahafut al-Falasifah (kerancuan filsafat) yang kemudian ditanggapi oleh Ibn Rushdi dengan satu buku khusus berjudul Tahafut at-Tahafut (Kerancuan atas kerancuan)
Perlu dicatat di sini bahwa Ibn Rushdi lahir pada tahun 520 H dan wafat pada tahun 595 H. Sementara Ibn Arabi sendiri lahir pada tahun 560 H dan wafat tahun 638 H. Konon, perjumpaan antara keduanya terjadi sekitar tahun 576 H hingga 578 H. Artinya pada saat perjumpaan berlangsung, Ibn Arabi berusia sekitar 16 atau 17 tahun. Sedangkan Ibn Rushdi sendiri berumur 57 tahun (tiga tahun setelah Ibn Rushdi menulis karya al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillah).
Perjumpaan keduanya berawal dari kedekatan antara Ibn Rushdi dan ayahanda Ibn Arabi (W. 590 H). Pertemuan yang kemudian membuka dialog antara Ibn Rushdi dan Ibn Arabi ini terekam dalam magnum opus-nya “al-Futuhat al-Makkiyyah” dalam satu bab tersendiri yang diberi judul fi ma’rifat al-anfas wa ma’rifat aqthabiha al-muhaqqiqin biha wa asrarihim.
Dalam sebuah risalah pendek berjudul “Syarh al-Hiwar Bayna Ibn al-Arabi wa Ibn Rushdi aw Bayna Irfan al-Bashirah wa Ilm al-Aql”, Abd Baqi Miftah memberikan ulasan cukup jelas. Ia mengatakan bahwa dialog keduanya secara tidak langsung memberikan penegasan bahwa di antara kedua tokoh besar ini memiliki kesepakatan sekaligus perbedaan. Keduanya bersepakat bahwa akal dan hati (lebih tepatnya intuisi) merupakan saran mencapai pengetahuan terhadap Tuhan. Ia menuturkan ulang perjumpaan kedua tokoh besar ini yang termuat dalam karya Ibn Arabi, Futuhat al-Makkiyyah, berikut ini:
“Suatu hari di kota Cordoba, aku datang menemui seorang Qadhi; Ibn Rushdi. Ia telah lama memiliki keinginan untuk berjumpa denganku. Ia merasa kagum atas berita yang mengabarkan tentang pengetahuanku tentang ketuhanan yang aku dapat dari hasil khalwat-ku. Ayahandaku, yang kebetulan sahabat karib sang Qadhi memintaku berkunjung ke rumahnya agar dapat bersua dengan sang filsuf itu. Saat itu, aku masih cukup muda.
Wajahku cukup bersih tanpa jenggot. Saat aku masuk ke rumahnya ia menyambutku dengan penuh cinta dan kehangatan. Ia begitu memuliakanku.
Lalu ia berkata kepadaku, “ya”. Dan aku menjawabnya, “ya”. Ia terlihat begitu bergembira atas jawabanku. Kemudian aku katakana kepadanya, “Tidak”.
Ia terkejut. Wajahnya berubah. Ia meragukan apa yang telah diyakininya sebelumnya. Lalu ia bertanya kepadaku, “Bagaimana anda dapat mengetahui penyingkapan ketuhanan dan pancaran Ilahiyyah? Apakah ia terberi dari akal?” Kemudian aku jawab, “Ya. Tidak”. Mendengar jawabanku wajah sang filsuf berubah. Penuh tanda tanya.”
Sementara kisah serupa dalam sebuah novel biografi Ibn Arabi bertajuk “The Traveller”, Sadik Yalsizucanzar, menceritakan perjumpaan kedua tokoh ini dan menceritakannya dengan indah:
Suatu hari Ibn Arabi (Sang Sufi) berkunjung ke rumah Ibn Rushdi (Sang Filsuf) dan disambut dengan hangat. Demi menunjukkan persahabatan dan kasih sayang, ia memeluk sang tamu, sufi agung. Seorang pemuda yang masih berusia tujuh belas tahun. “Selamat datang”, kata sang filsuf sambil memeluk sang sufi, hangat. Sang sufi membalas sapaan sang filsuf yang sudah cukup tua itu, lalu duduk di atas dipan.
Sang Filsuf duduk di seberang pemuda sufi ini, yang ketenarannya membayangi ketenarannya sendiri. Keheningan menarik esensi mereka, seakan ada tiga keberadaan dalam ruangan itu, sang filsuf (Tuan rumah), sang sufi dan keheningan.
Sang Filsuf merasakan Sang Sufi dan Keheningan seabagai keberadaan yang terpisah dan berbeda. Perlahan, perasaan tersebut luluh dan ia kemudian hanya bisa merasakan kehadiran Sang Sufi. Ia merasa dirinya juga telah menguap.
Di dalam ruangan itu, hanya ada sang sufi. Sementara tuan rumah, sang filsuf mengamati wajah pemuda itu dan mata hijaunya yang menyerupai lautan. Pupil sang sufi membesar dan kening lebarnya mulai bersinar. Dahi pemuda itu mencerap pandangan sang Filsuf. Kini, lelaki tua itu merasa bahwa sang Sufi hanya terdiri atas kening saja.
Sang Sufi menghela napas panjang, memecah keheningan. “Ya”, katanya. Sang Filsuf mendesah lega. “Ya”, ulangnya, sementara hatinya diliputi kegembiraan. Sudah bertahun-tahun ia menantikan kunjungan Sang Sufi dan ingin mendengar kata tersebut. Kini, dengan harapan yang terpenuhi, ia merasa puas dan bungah. Beban pengharapan telah terlepas dari bahunya dan ia merasa seringan burung.
Kata “ya” dari Sang Sufi menjadi pengabsahan atas segala yang pernah ditulis atau diucapkannya. Bagi Sang Filsuf, itu kata terindah di seantero dunia. Akan tetapi setelah mengatakan “ya” pemuda Sufi itu terbenam dalam pikirannya. Beberapa menit keheningan berlalu, kemudian Sang Sufi menyatakan dengan nada yang lebih tegas, tetapi misterius, “tidak”.
Lalu apa makna “ya” dan “tidak” yang disampaikan oleh Sang Sufi agung ini? Dan untuk tujuan apa ia mengatakan dua kata itu kepada Sang Filsuf? [bersambung]