Satu hari di tahun enam hijriyah Rasulullah Saw. mengumumkan hendak bertolak menuju Makkah untuk melakukan umrah. Beliau berangkat bersama sekitar 1400 sahabatnya. Rencana ini tercium oleh kaum Quraisy yang kala itu sebagai pemegang otoritas di Makkah. Mereka mempersiapkan diri untuk menghalau jangan sampai Rasulullah Saw dan para sahabat memasuki Makkah. Pembiaran pelaksanaan umrah itu sama saja dengan tamparan keras karena memberi kesempatan musuh memasuki basis mereka dengan leluasa. Upaya diplomasi dan negosiasi dilakukan oleh kedua belah pihak hingga akhirnya Makkah mengirim Suhail bin ‘Amr untuk membicarakan poin-poin kesepakatan dan menandatangani gencatan senjata. Poin-poin perjanjian telah disepakati namun ketika tiba saat penulisan naskah terjadi peristiwa menegangkan.
Rasulullah Saw menyuruh Ali bin Abi Thalib yang menjadi sekretarisnya untuk menulis “Ini adalah perjanjian yang diputuskan oleh Muhammad Rasulullah.” Suhail sebagai duta kaum Makkah tidak terima. Ia mengatakan, “Andai kami mengetahui bahwa Engkau adalah utusan Allah tentu kami tidak akan menghalangimu dan tak akan memerangimu. Tulislah sesuai tradisi kita, namamu dan nama orang tuamu, bin Abdillah.”
Rasulullah Saw. memerintahkan Ali untuk menghapus kata Rasulullah dan menggantinya dengan Muhammad bin Abdillah. Ali tidak mau. Ia bersikukuh tak rela dan tak akan menghapus kata itu selamanya. Akhirnya Rasulullah Saw meminta Ali untuk menunjukkan letak kata itu kemudian beliau menghapusnya sendiri dan menyuruh untuk mengganti dengan bin Abdillah. Akhirnya kata tersebut diganti dan penandatanganan perdamaian dapat dilaksanakan.
Dalam peristiwa tersebut Ali bin Abi Thalib –dan kemungkinan besar diikuti para sahabat yang lain- tak rela untuk mengganti kata Rasululah yang sangat sakral. Bagi mereka, tertulisnya kata Rasulullah dalam perjanjian merupakan simbol eksistensi Islam ketika berhadapan dengan kaum Quraisy. Dalam kata Rasulullah terkandung keyakinan dan ajaran yang kuat sehingga bagaimanapun juga kata itu adalah sebuah kehormatan yang harus dibela dan harus ada sampai kapanpun. Menggantinya dengan bin Abdillah yang merupakan kebudayaan Arab berarti kekalahan Islam dalam diplomasi sehingga simbol yang paling sakralpun harus dihempaskan.
Apalagi ternyata poin-poin yang ada dalam perjanjian Hudaibiyah lebih banyak merugikan kaum muslimin dan seakan kemenangan mutlak pihak Makkah. Kekecewaan ini terbukti dengan sekelas Umar bin Khathab sebagai salah satu orang dekat Rasulullah sempat mempertanyakan diterimanya butir-butir kesepakatan itu.
Namun Rasulullah melihat hal lain yang saat itu belum bisa dipahami para sahabat. Pandangan beliau sudah tak hanya bersifat lokal namun telah mengglobal bagaimana Islam bisa tersebar hingga kemanapun. Selama ini tenaga dan pikiran Madinah terforsir untuk menghadapi gangguan Makkah. Mau tak mau ini tentu mengurangi pemusatan pikiran untuk mengembangkan islam hingga ke luar daerah. Satu langkah strategis harus ditempuh agar persoalan Makkah ini sementara dapat dikesampingkan dan itu menemukan momentum dalam perjanjian Hudaibiyah.
Butir kesepakatan dalam perjanjian tersebut lebih terfokus pada persoalan ekstradisi antar Makkah dan Madinah. Sedangkan mengenai suku lain di luar Quraisy justru pihak Madinah mendapat kemenangan besar. Makkah berjanji tak akan menghalangi hubungan Madinah dengan suku dan bangsa apapun di luar Makkah. Mereka mendapat kebebasan untuk bersekutu dengan pihak Madinah atau Makkah. Inilah kemenangan hakiki dari Perjanjian itu. Gangguan dari Makkah bisa dikesampingkan dan Madinah bisa konsentrasi untuk konsolidasi ke dalam serta mengembangkan dakwah Islam hingga lain daerah.
Setelah peristiwa ini Rasulullah mengirim surat ke kerajaan-kerajaan besar sekitar Arabia. Suku-suku Arab yang sebenarnya simpati dengan Madinah namun dulu tak berani terang-terangan karena takut dengan Makkah kini bisa tegas menyatakan sikap. Akibatnya Makkah yang di awal pelaksanaan hasil gencatan senjata merasa mendapat kemenangan kini menyadari mereka telah melakukan bunder besar dan bunuh diri. Dalam peristiwa ini Rasulullah telah mengorbankan simbol demi perjuangan dan perdamaian. Bayangkan apa yang akan terjadi andai ketika itu Rasulullah bersikukuh dengan kata “Rasulullah”?
Menurut satu riwayat, peristiwa dalam perjanjian Hudaibiyah ini menjadi salah satu pijakan penting para ulama Nusantara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Penerimaan asas tunggal Pancasila sebagai ganti dari asas Islam adalah sebagian yang terilhami oleh peristiwa Hudaibiyah ini. Simbol dan tulisan Islam dalam administrasi organisasi dihapuskan sebagai langkah untuk menjamin keberangsungan umat dalam bernegara dan melakukan ajaran agamanya dengan tenang.
Apalagi dalam kasus ini digantikan Pancasila sebagai falsafah bernegara yang kandungannya sesuai dengan nilai-nilai dalam Islam meski tanpa menyebut kata Islam.
Beberapa waktu sebelumnya langkah ini juga ditempuh ketika penghapusan tujuh kata dari Pancasila demi menjamin keutuhan dan kedamaian bangsa. Memang menurut Al-Juwaini dalam kitab Al-Ghiyatsi, keamanan dan kedamaian negeri merupakan hal yang harus menjadi salah satu prioritas kebijakan negeri. Dengan adanya jaminan keamanan dan stabilitas negara maka roda ekonomi rakyat, pendidikan, pembangunan bisa dilaksanakan. Ini lebih penting daripada sekedar memperjuangkan kalimat karena isi lebih penting daripada simbol. Di kemudian hari ini semakin disadari oleh para ulama sehingga menjadi sikap resmi dari NU untuk menegaskan NKRI dan Pancasila adalah final.
Di masa lalu pola seperti ini juga ditempuh oleh para ulama ketika membawa Islam ke Indonesia. Mereka tak segan untuk mengganti istilah shalat dengan sembahyang (kemungkinan berasal dari sembah Hyang), syahadat dengan jimat kalimosodo, Ilâh dengan Pengeran atau Gusti. Mereka juga mengadopsi budaya wayang, gaelan, tembang, gapura, arsitektur lokal dalam pembangunan masjid. Bagi mereka berbondong-bondongnya orang ke masjid, pengenalan makna syahadat, dan pelaksanaan sholat di tengah masyarakat lebih penting daripada “sekedar’ nama sahalat, syahadat atau lainnya.
Ajaran yang dirasakan sebagai sesuatu yang dekat, milik sendiri, kebudayaan sendiri tentu akan lebih mudah diterima daripada yang tetap bercitarasa lain. Dengan pola pikir ini langkah para ulama dalam merespon kehidupan masyarakat dan kehidupan berbangsa bernegara menjadi selalu luwes. Pola ini terbukti telah berhasil mengubah wajah negeri dari yang semula mayoritas Hindu Budha kapitayan menjandi negara muslim terbesar sedunia sekaligus telah mampu mengawal perjalanan bangsa melewati berbagai tantangan. Kalau sudah begitu, masihkah tergiur dengan yang lain?
*) Penulis adalah Pegiat Komunitas Literasi Pesantren (KLP), tinggal di Magelang