Drama kerusuhan dan penyanderaan 36 jam itu akhirnya berakhir juga. Lima polisi tewas dengan beragam luka menganga. Sementara seorang narapidana kasus terorisme mati tertembus peluru.
Seketika, beragam suara riuh rendah di sosial media. Sebagian memberikan dukungan untuk polisi yang menjalankan tugasnya, sebagian menyebut para teroris sebagai syuhada, bahkan ada juga yang menyalahkan presiden.
Dan, seperti yang sudah-sudah, salah satu yang menyedihkan dari kasus teror yang melibatkan gerakan Islam garis keras semacam ini, adalah keberadaan umat Islam yang memiliki bakat berlebih dalam hal penyangkalan dan gemar mengatakan bahwa “teroris itu bukan Islam”.
Kalau bukan Islam, lalu apa agamanya? Mereka itu jelas-jelas Islam. Itu fakta yang harus diterima. Mereka melakukan pembunuhan dan beragam aksi kekerasan, karena mereka mengimani bahwa cara berislam yang baik dan benar adalah seperti itu.
Persoalannya bukanlah mereka itu Islam atau bukan, karena jawabannya sudah pasti. Tapi, persoalannya adalah, kenapa mereka bisa sampai memahami ajaran Islam dengan cara seperti itu?
Percayalah, bahwa mereka yang mengaku mencintai agamanya, tapi menutup mata ketika kalimat suci untuk Tuhannya diteriakkan mulut-mulut busuk saat mencabut hak hidup orang lain, sesungguhnya tak lebih dari sebentuk cinta yang dungu.
Beriman itu baik. Tapi, beriman dan pura-pura buta terhadap fakta yang ada, itu menyedihkan.
Bahwa Islam mengajarkan kebaikan dan tidak merestui kekerasan, mungkin memang benar. Tapi, kebenaran itu tak bisa menutupi kebenaran yang lain, bahwa memang ada gerakan radikal di tubuh Islam yang mengamini jalan kekerasan untuk menegakkan kebaikan.
Tragedi di Mako Brimob ini seharusnya bisa menjadi momen penggugah kesadaran bagi umat Islam yang masih bisa dan mau berpikir.
Kenyataan bahwa organisasi teroris semacam Al Qaeda, ISIS, atau yang lainnya itu tak lebih dari bagian konspirasi global untuk menciptakan sosok musuh bersama yang bisa melegitimasi kekuatan negara adikuasa, itu adalah satu perkara.
Namun, banyaknya umat Islam yang bisa dengan mudah tercuci otaknya untuk kemudian meyakini jalan kekerasan sebagai sebuah kebenaran, adalah perkara yang sama sekali berbeda.
Hal ini adalah PR bersama yang mau tak mau harus segera diselesaikan. Kita harus berusaha untuk secepatnya menemukan jawaban dari sejumlah pertanyaan: Apa yang salah dari cara kita beragama? Kenapa bisa ada begitu banyak umat Islam yang beriman secara membabi buta? Kenapa umat Islam (yang sebenarnya mayoritas di negara ini) selalu merasa dizalimi? Kenapa liyan harus selalu dianggap sebagai ancaman? Dan sebagainya, dan sebagainya.
Duduk santai di beranda rumah sembari menikmati secangkir kopi untuk kemudian berkata pelan bahwa “agamaku tidak mengajarkan tindakan semacam itu dan mereka yang berbuat seperti itu bukanlah bagian dari agamaku” tak akan pernah mengubah apa-apa (selain membuat kehidupan terlihat baik-baik saja).
Kenapa? Karena, sementara kita dengan santainya menyangkal apa yang jelas-jelas ada di depan mata, mereka tak henti melakukan propaganda ke anak-anak muda tentang cara-cara keji dan menjijikkan untuk mendapatkan sepetak tanah di surga.
Jika sikap egois dan masa bodoh semacam itu tak henti dipelihara, tak usah pura-pura kaget ketika kelak, berpuluh tahun dari hari ini, kita akan terbangun di pagi hari dan menemukan sebuah fakta yang menyakitkan. Agama yang konon kita cintai sepenuh hati ini, sudah berubah menjadi sebuah institusi fasisme yang baru, sementara saudara-saudara seagama kita akan menjelma menjadi sekumpulan amarah yang haus darah.