Suatu siang Mas Dawam Rahardjo menelepon saya di kantor harian Republika. Ia bilang, ia sudah mendengar kontroversi yang melibatkan saya, dan bahwa saya akan diskors atau dipecat dari koran itu. Ia sudah bicara dengan Pak Habibie supaya terhadap saya tidak perlu ada tindakan disipliner dan sejenisnya.
Mas Dawam kemudian menyatakan maksudnya menelepon saya. Ia ingin minta penjelasan tentang tulisan saya yang menjadi sumber protes sejumlah ormas Islam itu. “Apa sih isinya? Saya belum baca,” katanya. “Tapi saya tidak setuju dengan tindakan apapun terhadap diri Anda! Saya perlu tahu detail kontroversi ini. Bisa nggak Anda ceritakan isi tulisan itu?”
Intinya, saya bilang, saya menyebut Nike Ardilla itu sebagai contoh anak muda yang kaki kirinya masih di wilayah tradisionalisme/religius, kaki kanannya mulai menapak di modernisme berkat popularitas yang tiba2 dinikmatinya sebagai penyanyi belia.
Ambiguitas itu terlihat dari fakta bahwa di mobil yang dikendarainya ia membawa mukena dan sajadah; dan malam itu ia pulang pukul 11 malam dari sebuah diskotik, dan mobil mengalami kecelakaan parah yang menyebabkan kematiannya.
Banyak sekali orang, mungkin kita semua termasuk di dalamnya, yang menghadapi ambiguitas seperti penyanyi Bandung itu dalam kadar masing2.
Menurut Mas Dawam, itu penjelasan sosiologis yang sangat baik. Lalu kenapa tulisan seperti itu diprotes keras? Sebab di akhir tulisan (editorial, jadi anonim; entah bagaimana banyak yang tahu bahwa saya penulisnya), dipanjatkan doa semoga Nike tidur tenteram di sisiNya.
Inti protes: tulisan itu seolah2 menyatakan bahwa Tuhan tidur; padahal Dia tak pernah tidur, dst. Lalu wakil2 dari 18 ormas Islam mendatangi kantor Republika.
Mereka diterima untuk berdialog dengan Dewan Redaksi, termasuk Adi Sasono, Dawam Rahardjo, Quraish Shihab, Soetjipto Wirosardjono dan beberapa orang lain. Dialog berlangsung cukup panas. Saya sendiri tidak boleh hadir.
Mereka juga memprotes Ihsan Ali-Fauzi, yang menurunkan tulisan bernada pujian kepada Ahmad Wahib dan catatan hariannya yang mashur, ‘Pergolakan Pemikiran Islam.”
Di akhir 1994 itu Mas Dawam juga berkata di telepon: “Saya mungkin tidak setuju dengan pendapat Anda, tapi hak Anda untuk mengungkapkan pendapat itu akan saya bela sampai mati.”
Dan ia bukan hanya mengutip maksim Voltaire itu, tapi sungguh-sungguh mengamalkannya. Saya dengar ia melobi beberapa orang dekat Pak Habibie, bahkan menyempatkan diri membahas kasus itu kepada BJH sewaktu ia ikut rombongan BJH ke Jerman.
Saya tidak jadi dipecat. Tidak perlu pula harus menulis surat pengunduran diri seperti salah satu opsi semula. Saya hanya diskors beberapa bulan; kalaupun menulis, nama saya tidak boleh muncul. Sebab urusannya sudah diambil alih Dirjen PPG Subrata, atas perintah Menteri Penerangan Harmoko.
Saya diselamatkan oleh Monsieur Voltaire, yang kali ini berbentuk seorang pemikir ekonomi besar yang tekun, jujur dan berkomitmen penuh terhadap apa saja yang baik bagi Indonesia.
Maksim Voltaire itu pula yang sepuluh tahun kemudian membuat kami bertengkar keras. Lia Aminuddin dan kelompoknya diserang oleh opini publik, bahkan ancaman kekerasan, karena ia mengancam ulama2 tertentu dengan sejumlah ayat Quran.
Mas Dawam membela posisi Lia dengan alasan Lia hanya mengutip ayat Quran. Saya bilang, itu pun merupakan ancaman. Lia yang mengklaim mendapat wahyu dari malaikat Jibril itu mengancam pemrotesnya dengan meminjam tangan Quran.
Tapi keberatan utama saya pada Lia adalah karena dia sendiri melakukan bentuk2 penindasan terhadap pengikutnya, termasuk yang masih kanak2. Saya tidak akan ikut2an menyerang, mengingat konteks suasana politik, tapi juga tidak akan membelanya, sebab itu bertentangan dengan prinsip2 yang saya yakini.
Mas Dawam menggebrak meja dan berdiri dari kursinya karena sangat keberatan dengan sikap saya. Semua peserta rapat terdiam. Dalam diam, saya bertekad di batin: Saya tidak akan melawan senior yang sangat saya hormati itu, sambil tak selamanya akan bersepakat dengannya.
Dia marah seperti apapun, saya hanya akan diam. Bukan semata karena ia pernah membela saya dalam kasus Republika. Tapi terutama karena ia berjasa besar untuk bangsa ini; untuk begitu banyak lembaga sosial yang ia dirikan dan ia bantu; untuk kesediaannya mendidik kawan-kawan saya dalam metode penelitian sosial dan sebagainya.
Tentu saja juga untuk kerja-kerasnya melakukan pendidikan publik, sejak ia masih aktifis HMI di Jogja tahun 1960an, melalui produktifitasnya dalam menulis isu2 ekonomi secara mendalam dan penuh kesungguhan — tanpa saya selalu setuju dengan perspektif dan nada umum esai2nya itu.
Dalam sepuluh tahun terakhir kesehatannya turun-naik. Kadang saya masih mewawancarainya untuk acara radio yang saya asuh.
Lalu saya dengar ia berobat ke Beijing. Berulang kali saya ingin membahas isu-isu favoritnya dengannya, tapi selalu saya batalkan karena kuatir kesehatannya makin memburuk.
Seperti semua pemikir serius, kadang ia kesepian. Tidak tahu dengan siapa suatu masalah perlu ia bicarakan. Beberapa kali ia menelepon saya pukul 5.30 pagi — selepas ia salat Subuh, tampaknya.
Dalam resepsi ultah LP3ES ke 45 dua tahun lalu, saya sempat mengobrol kecil dengannya, yang saya kenal sejak 1981 di Jogja. Dalam kekurusan tubuhnya yang makin mencolok, ia tampak bahagia dikelilingi para junior yang mengerti cara berterima kasih dan cara menghormati Pak Guru yang tak selalu sabar itu.
Baru saja muncul kabar: Mas Dawam Rahardjo telah pergi. Meski kami para rekan juniornya tahu bahwa kami hanya menanti harinya, kabar runcing itu tetap menusuk ulu hati saya. Perih, terasa.[]
*) Hamid Basyaib