Salah satu yang menarik diamati dalam kehidupan sosial-keagamaan adalah tren perempuan berjilbab. Ia tak hanya sebatas pakaian yang dianggap identitas muslimah, tapi kini menjelma sebagai komunitas hijabers. Khusus di kota-kota besar komunitas hijabers menjadi girah (semangat) keagamaan yang tumbuh pesat, bahkan kini sudah difestivalkan dengan wanita muslimah yang menggunakan jilbab untuk menampilkan berbagai model dan bentuknya.
Munculnya tren jilbab ini, setidaknya memberi dampak pada dua hal: pertama, jilbab membuka keran bisnis “berkedok” atas nama Islam. Sebut misalnya, entah sejak kapan istilah jibab syar’i menjadi familiar dimasyarakat. Tapi pengamatan saya, kemunculan istilah tersebut sejalan dengan perkembangan medsos, dengan kata lain medsos-lah yang paling berperan dalam mempromosikan istilah jilbab syar’i.
Dugaan saya itu terjawab pada dua alasan. [1] dari beberapa perempuan yang saya tanya (mereka yang awam masalah agama) apa yang mereka pahami dengan jilbab syar’i. Hampir dipastikan gambarannya adalah pakaian panjang yang menutupi bagian dada hingga bagian paha (semacam baju gamis). Pemahaman ini secara tak langsung jilbab yang umumnya dipakai perempuan hanya sampai leher itu tak disebut sebagai jilbab syar’i.
Tentu jawaban itu disebabkan efek medsos yang massif mengenalkan istilah jilbab syar’i. Bisa dibuktikan kalau kita melakukan pencarian di internet/medsos tentang jilbab syar’i, maka gambar yang muncul seperti yang dipahami perempuan tersebut. Maka pandangan ini sepenuhnya tak bisa dibenarkan, apa yang disebut jilbab syar’i tak dinilai pada bentuk, model dan panjangnya, tapi syar’inya gaungan jilbab jika ia telah menutupi aurat.
Problemnya, batasan aurat itu seperti apa? Di sinilah perbedaan pandangan ulama menyangkut batasan aurat (baca; tafsir QS: al Ahzab 59). Singkatnya, selama menutupi aurat dengan cara, bentuk jilbab dan keyakinan masing-masing itulah jilbab syar’i, dan kalau yang hanya disebut jilbab sya’ri gaung yang panjang itu bukanlah pandangan Islam, melainkan “akal akal” marketing pada bisnis jilbab.
Pada aspek yang lain [2] tren jilbab telah berhasil mempengaruhi pikiran masyarakat bahwa jilbab adalah bentuk kesalehan seseorang. Maka tak heran, mengapa muncul shock culture (budaya kaget) yaitu orang tetiba heran-kaget kalau ada perempuan yang memutuskan untuk berjilbab. Perasaan kaget itu seolah menandai bahwa seseorang sudah taubat atau baik. Atau misalnya banyak orang yang terjerat kasus korupsi saat keluar dari kejaksaan atau KPK tiba-tiba ia memakai jilbab dengan berbagai simbol keagamaan. Lantas apakah itu sinyal dengan gaung jilbabnya menutupi tindakan korupsinya? Sama sekali tidak.
Dalam sebuah kesempatan, seorang pendakwah pernah mengutarakan wanita berjilbab itu belum tentu shalehah, tapi wanita shalehah pasti berjilbab. Ungkapan ini memberi kesan jika ia wanita shalehah pasti berjilbab, itu artinya perempuan yang tak berjilbab ciri tak shalehah.
Apakah benar demikian? Saya tak meyakini karena seseorang menggunakan sehelai kain jilbab itu membuatnya ia akan shalehah, karena ia tak berpegaruh untuk memperbaiki dan menjadikan diri seseorang menjadi baik. Tapi sumber kesalehan muaranya dari kelapangan dan kejernihan hati. Itu sebabnya Nabi katakan tanyalah pada hatimu (istafti qalbaka).
Tapi yang lebih menarik, perempuan yang menggunakan jilbab masing-masing punya alasan tersendiri. Ada tiga motif. Pertama, kesadaran akan tuntunan agama. Ia merasa terpanggil untuk menggunakan jilbab sehari hari karena keyakinan dan pemahaman agama, apa yang biasa ia dengar dari ustad atau baca bahwa menutup aurat itu wajib (terlepas bagaimana cara ia berjilbab).
Kedua, karena kebiasaan atau lingkungan. Tak sedikit perempuan yang menggunakan jilbab ke mana-pun ia pergi sebab sejak kecil ia sudah terbiasa memakainya bukan atas dorongan agama. Alasan kebiasaan itu pula kerap kita temukan dalam acara acara keagamaan, syukuran atau acara takziyah umumnya perempuan menggunakan jilbab sebagai tuntutan kebiasaan yang berlaku.
Ketiga, jilbab sebagai fashion atau gaya hidup. Peran jilbab bukan disebabkan karena dorongan agama, tapi jilbab menjadi gaya hidup baginya yang mempercantik dan mengubah penampilan hidupnya. Maka tak heran, umumnya jilbab yang berkedok bisnis lebih prioritas pada model atau kepentingan fashion.
Alhasil, berjilbab itu baik dan bagus tapi ia bukanlah menjadi ukuran seseorang akan menjadi baik atau yang tak menggunakan jilbab itu kurang baik. Bagi yang berjilbab tetaplah menggunakan jilbabnya dengan tidak menyalahkan orang yang tak berjilbab, begitupun yang tak berjilbab mesti menghargai pilihan pemahaman keagamaan masing-masing.