Perdebatan teologis seputar Al-Quran apakah ia adalah kalam Allah yang qadim atau makhluk, memunculkan sentimen-sentimen antar dua kubu yang saling bertikai. Nampaknya, sebagian besar dari kita yang pernah ngaji akidah atau tauhid, seringkali menjumpai informasi perdebatan teologis seputar Al-Quran ini.
Masyhur diketahui bahwa perdebatan ini muncul dalam upaya merepresentasikan jati diri masing-masing kubu, yakni anggapan bahwa Al-Quran adalah makhluk dibawa oleh kubu Muktazilah, dan adapun Ahlussunnah menganggap bahwa Al-Quran adalah kalam qadim.
Bagi Ahlussunnah, anggapan bahwa Al-Qur’an adalah kalam qadim merupakan sebuah kesepakatan.
Lantas, sejauh mana kita yang ittiba’ dengan pendapat Ahlussunah dalam memahami Al-Qur’an sebagai kalam qadim? Apakah hanya dengan sekadar ungkapan: “saya Ahlussunah yang percaya bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah yang qadim, bukan yang hadis (datang belakangan/baru) atau makhluk.”
Tentunya umat Muslim menginginkan adanya peningkatan kualitas diri, dari yang awam menjadi ‘alim. Setidaknya dengan mengetahui bagaimana perdebatan yang terjadi pada saat itu kita bisa mengerti bagaimana argumen yang dibangun untuk mempertahankan kesakralan Al-Qur’an yang qadim.
Perdebatan ini dimulai dari argumen kubu yang menganggap Al-Qur’an adalah makhluk atau hadis, kurang lebih argumen yang disampaikan salah satu tokoh Muktazili adalah sebagai berikut: “Di dalam Al-Qur’an terdapat penjelasan tentang Abu Lahab di mana ia merupakan salah seorang yang menentang dakwah Nabi Muhammad, sedangkan penentangan Abu Lahab sendiri merupakan suatu hal atau peristiwa yang baru, maka komentar Allah terhadap Abu Lahab ini harus baru karena komentar tersebut muncul setelah peristiwa itu terjadi. Jika Al-Qur’an itu qadim, maka seharusnya komentar Allah ini datang atau diturunkan sebelum adanya penentangan Abu Lahab kepada Nabi Muhammmad.”
Argumen tersebut kemudian disanggah oleh salah satu tokoh hadis yang terkenal, Imam Ahmad ibn Hanbal. Dalam sanggahannya ia sebutkan: “Lalu ilmunya Allah kamu letakkan di mana? Padahal Allah sudah tahu jika Abu Lahab nantinya akan menjadi orang kafir, pun Allah sudah tahu bahwa akan ada peristiwa Abu Lahab menentang Nabi Muhammad sehingga turun surat Al-Lahab. Ilmunya Allah ini qadim, sudah ada sejak zaman azali yang kemudian difirmankan-Nya dalam Al-Qur’an.”
Perdebatan tersebut pada akhirnya memunculkan peristiwa kelam dalam sejarah Islam atas kekesalan Muktazili terhadap argumen yang dibangun dan dipertahankan oleh Imam Ahmad.
Peristiwa yang dikenal sebagai mihnah tersebut menjadi catatan sejarah yang tidak pernah dilupakan bagi umat Islam. Tragedi mihnah sendiri tidak hanya menimpa Imam Ahmad, tetapi juga terjadi kepada ulama lain yang tidak setuju dengan sikap politik-ideologis yang diusung pada pemerintahan saat itu.
Terlepas dari itu semua, tentunya tragedi kelam ini tidak diinginkan untuk muncul kembali dalam sejarah Islam degan pola yang sama. Peristiwa yang terjadi di masa lalu dapat dijadikan sebagai ibrah untuk kehidupan di masa yang akan datang. Sebagaimana Al-Quran memberikan banyak contoh dan perumpamaan berupa ayat kisah terdahulu yang dimaksudkan untuk diambil ibrah-nya untuk umat Nabi Muhammad.
Wallahu A‘lam bisshawab.